SEHARI menjelang konperensi internasional untuk mencari penyelesaian masalah Kamboja di Paris dibuka kembali, Ahad pekan ini muncul kejutan: Pangeran Norodom Sihanouk menyatakan mundur dari kedudukannya sebagai sekjen organisasinya, yang dikenal dengan nama akronimnya dalam bahasa Prancis, Funsinpec. Ia menunjuk putranya, Norodom Ranariddh, presiden organisasi itu, sebagai penggantinya. Dan menunjuk istrinya, Putri Monique, sebagai pendamping presiden. Belum jelas benar kaitan antara pengunduran diri Sihanouk dan konperensi di Paris yang disponsori oleh Indonesia, Prancis, dan 17 negeri lain itu. Seperti diketahui, ganjalan utama upaya mendirikan pemerintahan koalisi di Kamboja dan penarikan tentara Vietnam dari negeri itu -- yang dijadwalkan di pekan terakhir September ini -- tak beranjak dari soal status yang diberikan kepada Khmer Merah, dan kehadiran tentara perdamaian PBB. Vietnam dan rezim Hun Sen yang didukungnya bersikeras agar Khmer Merah, yang telah membantai jutaan rakyat Kamboja pada 1970-an dulu, tidak diikutsertakan dalam pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh Hun Sen. Vietnam dan Hun Sen pun tak setuju kalau pasukan PBB bertindak sebagai pengawas dalam penarikan mundur pasukan Vietnam. Menurut keduanya, itu didasarkan pada kenyataan bahwa konperensi Paris diselenggarakan bukan atas sponsor PBB. Sementara itu, Sihanouk mengusulkan justru kelompok Hun Sen yang menjadi peserta dalam pemerintahan 4 koalisi di bawah pimpinannya. Ia berkeras Khmer Merah tak bisa ditinggalkan, karena di antara dua kelompok yang lain - kelompok Sihanouk dan Son Sann -- kenyataannya tentara Khmer Merah paling kuat. Tak begitu susah untuk mengatakan bahwa kedua usul itu tak bakal bertemu. Sementara itu, dalam perkembangan terakhir, keempat kelompok mulai duduk semeja dalam satu perundingan internasional. Secara tidak langsung ini merupakan pengakuan dunia internasional terhadap kehadiran Hun Sen. Secara resmi rezim Hun Sen tak diakui keberadaannya, karena di PBB Kamboja diwakili oleh koalisi Sihanouk-Khmer Merah-Son Sann. Dengan kata lain, kedudukan Hun Sen semakin kuat. Bisa jadi Sihanouk sudah melihat itu, dan ia tak mau kehilangan muka bila nanti ia gagal mempertahankan usulannya. Bila memang demikian, tampaknya mundurnya bekas Pangeran Kamboja ini memberi peluang terpecahkannya masalah pemerintahan koalisi. Yang belum jelas, berubahkah sikap Cina. Sebab, Menlu Cina Qian Qichen pernah mengatakan, keliru kalau mengesampingkan Khmer Merah dari setiap pencarian jalan keluar di Kamboja. Tampaknya Cina masih ingin "memberi pelajaran" kepada Vietnam lewat Khmer Merah. Tapi bisa jadi penarikan diri Pangeran Sihanouk itu karena ia sudah bosan mem pertahankan kesatuan koalisinya yang selalu diancam perpecahan. Bukan rahasia lagi bahwa tentara tiga kelompok ini sering baku hantam sendiri. Itu sebabnya dalam suatu sidang Konperensi Internasional untuk Kamboja ia pernah agak condong pada tuntutan Hun Sen buat tak mengikutsertakan Khmer Merah. Ia mengusulkan agar faksi tukang bantai itu hanya duduk dalam pemerintahan sementara sebagai "peserta kehormatan". Dengan begitu, pengunduran diri Sihanouk boleh jadi sebagai suatu taktik agar ia bisa memisahkan diri dari Khmer Merah. Dan dengan demikian ia akan bisa lebih bebas untuk bekerja sama dengan Hun Sen dan Vietnam secara pribadi. Dan apakah kemungkinan pertama atau kedua yang terjadi, tetap saja Khmer Merah yang didukung Cina jadi faktor sulit. Kembali kesimpulan lama muncul: hanya Cina yang mungkin menekan Khmer Merah agar menerima apa pun keputusan konperensi. Atau, mundurnya Sihanouk merupakan isyarat agar semuanya saja menghantam Khmer Merah?A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini