Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kado Untuk Warga Hindu Menjelang Pemilu

Pemerintah menyetujui pelaksanaan Undang-Undang Pernikahan bagi masyarakat Hindu Bangladesh. Perempuan bisa minta cerai, dukungan finansial, dan hak waris.

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah Tarulata Rani, 22 tahun, tampak ceria. Ia merasa masa depannya tak lagi kelam. Setelah dua tahun menikah, ada harapan pernikahannya bisa segera diresmikan, sehingga dia memiliki hak hukum dalam pernikahan dan tak gampang ditelantarkan.

Di Bangladesh, perempuan Hindu tidak memiliki hak atas pernikahan sejak sebelum merdeka, 57 tahun silam. Perempuan Hindu minoritas ini harus menerima nasib diperlakukan semaunya oleh suaminya, dari mengalami kekerasan dalam rumah tangga hingga tak memperoleh hak waris bila si suami meninggal. Ia juga tak bisa melakukan apa pun ketika suaminya menikah lagi dengan perempuan lain. "Selama ini, saya tak bisa meminta cerai dan hak waris dari suami," katanya akhir bulan lalu.

Ia menuturkan hampir setiap hari dianiaya suami. Bahkan suaminya berencana menikah lagi. Praktek poligami umum terjadi dalam masyarakat Hindu. Bahkan laki-laki Hindu dengan mudah meninggalkan istri pertamanya tanpa kepastian status pernikahan. Ada pemahaman, perceraian merupakan hal asing bagi budaya mereka, bahkan dianggap haram. Hukum Hindu memang tidak mengatur perkawinan secara spesifik. Sedangkan Islam memiliki hukum syariah yang secara jelas mengatur pernikahan. Pemerintah Bangladesh, yang sekuler, menyerahkan pengaturan pernikahan kepada agama masing-masing.

Para aktivis sebenarnya sudah memperjuangkan hak-hak warga Hindu, terutama hak perempuan. Melalui lembaga swadaya masyarakat, mereka mendesak agar ada aturan tentang pernikahan dan hak waris. Perjuangan itu dijalani selama tak kurang dari 11 tahun. Namun pemerintah yang berkuasa saat itu, Partai Nasional Bangladesh (BNP), memiliki hubungan yang erat dengan kelompok Islam fundamental. Kelompok Islam garis keras ini menentang adanya penyetaraan hak-hak warga Hindu.

Beberapa kali mereka menemui parlemen, tapi tak ada kepastian. Mereka juga mendekati Partai Liga Awami. Direktur eksekutif lembaga hak asasi manusia Ain O Salish Kendra, Nina Goswami, mengatakan sudah hampir putus asa. Menurut dia, penderitaan perempuan Hindu sudah pada titik nadir. "Puluhan ribu laki-laki Hindu hidup dengan banyak istri, tapi mereka tak bisa dituntut. Sulit membuktikan mereka telah menikah," katanya.

Perempuan Hindu menderita kemiskinan ekstrem setelah ditinggalkan suami. Mereka juga kesulitan mendapatkan pekerjaan formal akibat diskriminasi. Apalagi rata-rata perempuan berpendidikan rendah, bahkan sebagian besar tak bersekolah. Mereka hanya mengandalkan uang dari orang tua. Jika tidak, paling-paling hanya menjadi pembantu rumah tangga. Padahal para perempuan itu harus menghidupi anak-anak mereka.

Akhirnya, Perdana Menteri Bangladesh Syekh Hasina menyetujui undang-undang baru yang mengatur pendaftaran pernikahan untuk warga Hindu seperti yang diterapkan pada muslim. Pemerintah ingin menyelamatkan perempuan Hindu seperti Rani. Partai Liga Awami, partai pendukung Hasina, ikut memperjuangkan undang-undang itu sejak dua tahun lalu. Perubahan sikap itu juga didorong adanya laporan dari berbagai lembaga hak asasi manusia internasional yang menyatakan Bangladesh sebagai negara yang melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya.

Dalam kampanye pemilihan parlemen, Partai Liga Awami berjanji memperjuangkan hak warga Hindu. Sebagian besar pemilih beragama Hindu memang memberikan suara untuk partai penguasa itu dalam pemilihan umum 2008. Liga Awami berniat mempertahankan dukungan penduduk Hindu pada pemilihan umum 2014. Populasi Hindu mencapai 10 persen dari 152 juta penduduk Bangladesh, yang mayoritas muslim.

Melalui aturan itu, Bangladesh ingin mencontoh pelaksanaan pengaturan pernikahan Hindu seperti yang dilakukan di India. Negara tetangganya itu menerapkan aturan pernikahan dan hak waris sejak 1955 setelah berpisah dengan India muslim, yang mendirikan negara Islam, Pakistan. Dalam undang-undang ini, pernikahan laki-laki Hindu di bawah 21 tahun atau perempuan di bawah 18 tidak memenuhi syarat untuk didaftarkan. Poligami juga diatur ketat, setelah jaminan semua istri terpenuhi. Soal hak waris, perempuan yang diceraikan dan anaknya wajib mendapatkan nafkah dari si ayah.

Menurut Menteri Hukum Shafique Ahmed, sebenarnya pemerintah telah berinisiatif membuat undang-undang ini tahun lalu. Hanya, parlemen, yang sebagian besar dikuasai Partai Nasional Bangladesh, menentang usul ini. Tak hanya itu, tentangan juga muncul dari kelompok Hindu radikal, yang secara terang-terangan menolak perubahan aturan yang bertentangan dengan kitab suci dan tradisi. Mereka berdalih aturan perceraian itu bisa mengancam fondasi dasar keluarga Hindu. "Kami tidak bisa mengubah hukum Hindu karena ada penentangan dari kelompok Hindu sendiri, termasuk beberapa orang yang terpelajar. Kelompok garis keras bahkan tidak ingin ada pendaftaran pernikahan," ujar Ahmed.

Salah satu kelompok Hindu radikal, Samaj Sangskar Parishad, tidak keberatan dengan pendaftaran pernikahan. Namun kelompok ini mendesak aturan itu tidak menjadi kewajiban. Surat nikah memang masih dibutuhkan untuk mengurus paspor dan dokumen keimigrasian. "Kami tidak keberatan pendaftaran pernikahan yang sifatnya hanya opsional karena pasangan Hindu kadang perlu surat nikah ketika mereka melakukan perjalanan," kata Hiren Biswas, Presiden Samaj Sangskar Parishad.

Eko Ari Wibowo (Daily News, BDNews24.com, Dawn.com, OHCHR.org)


Daftar Panjang Penindasan

Bukan hanya diskriminasi aturan perkawinan yang mesti diterima penduduk Hindu di Bangladesh. Dalam kehidupan sehari-hari pun, mereka harus menghadapi sejumlah aturan formal dan informal yang menindas. Memiliki rumah yang layak dipastikan sangat sulit bagi warga Hindu. Mereka harus mengeluarkan ongkos yang lebih mahal dibandingkan dengan warga muslim.

Taposh Nandi, guru bahasa Inggris di Dohar, dekat Dhaka, harus menguras celengannya demi memiliki rumah. Selisih pajak yang dibayarkan warga Hindu dan muslim bisa mencapai seribu kali lipat. Ia merogoh kocek US$ 1.882 atau sekitar Rp 17,7 juta untuk mendaftarkan tanah warisan orang tuanya di Manikganj. "Kalau saja saya ini muslim, hanya cukup mengeluarkan US$ 1,22 (sekitar Rp 11 ribu)," katanya.

Sebagian besar warga Hindu, yang tak mampu, memilih hidup seadanya di pinggiran kali atau di wilayah kumuh. Seorang petugas badan pertanahan setempat, Panchananda Mondol, mengatakan hanya tiga-empat orang Hindu yang mendaftarkan tanah warisan setiap hari. Namun, kata dia, banyak di antara mereka yang gagal mendaftarkannya karena tak punya uang. "Banyak kasus tanah itu tak bisa diwariskan," ujarnya.

Tanah yang tidak bisa diwariskan itu akan menjadi milik negara. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Pertanahan yang dibuat pada 1965. Sekitar 43 persen tanah dan rumah milik warga Hindu kini telah beralih kepemilikan kepada negara. "Kematian dan perpindahan dijadikan alasan mengambil alih tanah," katanya. Persentase warga Hindu menyusut dari tahun ke tahun. Pada sensus pertama, 1947, penduduk Hindu mencapai 30 persen, sedangkan kini tinggal 10 persen.

Mereka juga sulit mendapat pekerjaan formal, seperti pegawai negeri dan tentara. Dalam aturan, tak ada yang memuat hal itu, tapi kenyataannya pegawai pemerintah rata-rata muslim, terutama di jabatan tinggi. Warga Hindu juga akan kesulitan jika mengajukan permohonan pinjaman ke bank. Pihak bank biasanya akan mempertimbangkan agama konsumen.

Dalam pendidikan pun, secara informal, ada pembatasan untuk kaum Hindu. Mereka juga sering mengalami kekerasan fisik, seperti penyiksaan dan pemerkosaan. Bahkan Badan Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) mencatat, warga Hindu di Bangladesh diusir di sejumlah desa.

Eko Ari (Khabar South Asia, UNHCR.org)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus