Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kisah Menyesakkan dari Rakhine

Puluhan ribu orang dari etnis Rohingya mengungsi setelah kerusuhan rasial. Pasukan keamanan tak mencoba mencegah, Myanmar dinilai gagal melindungi kelompok minoritas.

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Noor Mohammed masih mengingat dengan jelas tragedi yang menimpa keluarganya dua bulan silam. Di kampungnya di Buthidaung, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, mula-mula api yang disulut penduduk setempat menelan rumah-rumah, kemudian terdengar jerit ketakutan perempuan, bersahutan dengan tangisan bocah.

Dalam kerusuhan antara etnis muslim Rohingya dan etnis Arakan itu, ayahnya tewas dibantai kelompok penyerang, keluarganya tercerai-berai. Ia bersama istri dan putranya, yang baru berumur satu setengah tahun, lari dari negara bagian yang dulu bernama Arakan itu dan berlindung di hutan. Tanpa bekal apa-apa, pria 22 tahun ini terus menembus hutan belantara hingga memasuki wilayah India beberapa pekan kemudian.

"Saya mencapai Kolkata. Di sana saya bekerja sebagai buruh selama beberapa hari, kemudian pergi ke Hyderabad," ujarnya terbata-bata, seperti dikutip The Hindu, Rabu pekan lalu.

Tak kurang dari 80 ribu orang Rohingya terpaksa meninggalkan kampung halamannya setelah kerusuhan yang menewaskan sedikitnya 80 orang itu. Mereka tersebar di berbagai negara. Di Hyderabad saja ada sekitar 30 keluarga. Mereka ditampung di beberapa wilayah di kota tua itu: Balapur, Kishanbagh, dan Hafeezbaba Nagar.

Kerusuhan antara etnis Arakan yang beragama Buddha dan etnis Rohingya menyisakan ketakutan di antara para pengungsi. Kafiathullah, 25 tahun, menuturkan kisah keluarganya bertahan hidup di hutan. "Kami bertahan di hutan dengan makan buah-buahan dan dedaunan," ujarnya lirih.

Para pengungsi Rohingya di Hyderabad lebih beruntung ketimbang rekan-rekannya yang berusaha masuk Bangladesh. Di perairan Sungai Naf, Bangladesh, ratusan perempuan dan anak-anak Rohingya terkatung-katung di atas perahu. Garda Penjaga Perbatasan Bangladesh menolak kedatangan 16 perahu yang membawa lebih dari 660 pengungsi Rohingya melalui Sungai Naf. Mayor Shafiqur Rahman, wakil komandan Garda Penjaga Perbatasan di Teknaf, mengatakan kondisi sebagian besar pengungsi mengenaskan. Bahkan sebagian terserang diare.

Direktur Program Pengungsi Human Rights Watch Bill Frelick mengatakan Bangladesh harus tunduk kepada hukum internasional untuk membuka perbatasannya bagi orang-orang yang terancam hidupnya. Bangladesh juga harus melindungi para pengungsi. Rabu pekan lalu, Human Rights Watch melaporkan pasukan keamanan Myanmar gagal menghentikan pembunuhan, pemerkosaan, dan penahanan warga Rohingya dalam kerusuhan itu.

Dalam laporan berjudul "Pemerintah Harus Menghentikan Ini", para saksi dari kedua belah pihak menyatakan pasukan pemerintah hanya menonton ketika mereka saling menyerang, kampung-kampung membara, dan sejumlah orang tewas.

Direktur Asia Human Rights Watch Brad Adams mengatakan pasukan keamanan Myanmar justru mengobarkan perlawanan terhadap etnis Rohingya. "Kejadian terakhir di Arakan menunjukkan adanya penganiayaan yang didukung negara," ujarnya. Lembaga yang berbasis di New York, Amerika Serikat, ini mendesak pemerintah Myanmar menghentikan perlakuan kejam oleh pasukan keamanannya terhadap etnis Rohingya. Myanmar juga diminta mengizinkan pengawas internasional independen meninjau tempat kejadian dan menyelidiki bentrokan tersebut.

Laporan itu disusun berdasarkan data dari hasil wawancara dengan 57 korban dan saksi dari kedua belah pihak di Myanmar dan Bangladesh pada Juni-Juli 2012.

Para saksi menyatakan kerusuhan itu pecah pada awal Juni lalu, setelah berembus kabar bahwa seorang perempuan Buddha diperkosa tiga lelaki muslim Rohingya di Kota Ramri pada 28 Mei 2012. Detail kejadian dimuat dalam pamflet provokatif yang beredar di kota itu.

Pada 3 Juni 2012, sekelompok besar penduduk Toungop, Rakhine, menghentikan sebuah bus dan secara brutal membunuh sepuluh penumpangnya, yang semuanya dari etnis Rohingya. Menurut para saksi, polisi dan tentara hanya berdiri menonton aksi biadab itu. Etnis Rohingya tak tinggal diam. Menurut laporan Human Rights Watch, lima hari kemudian ribuan orang dari etnis Rohingya membuat huru-hara di Kota Muangdaw setelah salat Jumat. Mereka membunuh beberapa orang dan merusak sejumlah properti. Kerusuhan kemudian menyebar hingga ibu kota Negara Bagian Rakhine, Sittwe.

Mereka saling menyerang, mempersenjatai diri dengan pedang, tombak, pentungan, batang besi, dan pisau. "Pemerintah dapat menghentikan ini," ujar sejumlah orang dari kedua pihak kepada Human Rights Watch.

Amnesty International juga menyatakan Rohingya menjadi sasaran kekerasan di Rakhine, baik oleh pasukan keamanan maupun etnis Arakan. Peneliti Amnesty, Benjamin Zawacki, mengatakan, "Sebagian dari tindak kekerasan itu dilakukan oleh pasukan keamanan, beberapa oleh Arakan Buddha."

Menurut Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin, ada pihak yang sengaja mempolitisasi kerusuhan itu. "Myanmar menolak keras tuduhan dari sejumlah pihak bahwa pasukan keamanan menggunakan kekerasan dalam mengendalikan situasi," ujarnya.

Seperti dilansir situs Kepresidenan Myanmar pada 12 Juli lalu, Presiden Thein Sein mengatakan pemerintah tak akan mengakui etnis Rohingya. Ia menyerahkan masalah itu kepada Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi (UNHCR). Kepada delegasi UNHCR yang dipimpin Antonio Guterres sehari sebelumnya, ia mengatakan Rohingya mengancam keamanan nasional.

Ia menegaskan, sesuai dengan hukum negara itu, pemerintah hanya mengakui generasi ketiga Rohingya, yang keluarganya datang sebelum kemerdekaan pada 1948. Myanmar tidak mengakui pelintas perbatasan yang masuk secara ilegal. Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 memang menolak mengakui Rohingya sebagai warga negara. Akibatnya, etnis Rohingya yang berjumlah sekitar satu juta jiwa itu tak punya akses ke pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Rohingya menjadi satu-satunya komunitas di dunia yang tak punya negara.

Human Rights Watch mendesak pemerintah Myanmar segera mengubah undang-undang itu. Menurut Adams, Thein Sein tak dapat mengklaim mempromosikan hak asasi manusia sementara menyerukan pengusiran orang karena etnis dan agamanya. Menurut salah seorang etnis Rohingya pendiri Partai Demokratik Nasional untuk Pembangunan (NDPD), Abu Tahay, sejumlah pejabat Myanmar yang rasis tak menginginkan Rohingya diakui sebagai warga negara. "Karena keyakinan Islam dan rasisme."

Tahay mengatakan ada dua masalah penting yang harus dipecahkan menyangkut Rohingya: suku dan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran. Untuk menyelesaikan masalah berkepanjangan ini, kata dia, tim PBB harus memasukkan orang-orang yang terlibat langsung, orang-orang berpengaruh, dan orang-orang yang punya niat untuk menyelesaikannya.

"Semuanya harus ditetapkan dengan undang-undang," ujarnya kepada Tempo melalui surat elektronik pada Senin pekan lalu. Ia gagal maju dalam pemilihan anggota parlemen pada 1990 dan 2010 karena tidak diakui sebagai warga negara.

Tahay mengatakan kerusuhan di Rakhine merupakan pembasmian etnis yang di­sponsori negara karena alasan agama. "Itulah mengapa hanya orang-orang Rohingya yang ditahan, diperkosa," ujarnya. Penguasa, kata dia, juga melarang warga menjual apa saja, bahkan hewan ternak, kepada orang Rohingya.

Sejak 2011, pihaknya juga sudah tiga kali berkirim surat beserta dokumen-dokumen kepada presiden, parlemen, dan menteri untuk mengingatkan bahwa Rohingya diakui sebagai kelompok etnis dan warga negara atas dasar kelahiran. Namun hasilnya nihil.

"Pengawas internasional dan ASEAN harus terlibat untuk menjamin kehidupan warga Rohingya," ujarnya. Ia mengatakan Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 harus diubah karena bertentangan dengan Konstitusi 2008 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia.

Etnis Rohingya sudah mendiami Provinsi Arakan sejak abad kedelapan. Nenek moyang mereka diyakini adalah para saudagar dari Jazirah Arab. Pada abad ke-14, sejumlah besar muslim Bengali, India, bermigrasi ke Arakan ketika negaranya diduduki Inggris.

Sapto Yunus, Maria Rita (Ap, Reuters, Bangkok Post, The Hindu, Abc Online, Express Tribune)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus