Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sher Muhammad Febry Awan bersujud. Berkali-kali dia mencium lantai di depannya, tak peduli dengan belasan corong kamera yang terus merekam aksinya. Selama beberapa waktu, ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan gegap-gempita dengan teriakan takbir puluhan rekan dan kerabatnya.
Selasa siang pekan lalu, majelis hakim yang diketuai M. Razad membebaskan Febry dari semua tuduhan. "Terdakwa tidak terbukti telah membunuh dan menganiaya," kata Razad saat membacakan putusÂannya. Setelah itu, dia mengetukkan palu sebanyak tiga kali pertanda sidang ditutup. Beberapa saat setelah Febry selesai bersujud, pengunjung sidang berhamburan memeluknya. Mereka berfoto-foto di depan meja majelis hakim. Termasuk yang mendekap Febry, Abi Japto, putra aktivis Pemuda Pancasila, Japto Soerjosoemarno, yang bersama-sama Febry memimpin komunitas anak muda 234 SC.
Febry, 42 tahun, didakwa membunuh Raafi Aga Winasya Benjamin pada 5 November tahun lalu. Jaksa menuntut Febry hukuman 12 tahun penjara. Selain dijerat pasal pembunuhan, Febry dijerat pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian dan pasal pengeroyokan. Selain Febry, ada enam terdakwa yang diduga ikut mengeroyok Raafi dan teman-temannya.
Mereka ditangkap sebulan setelah Raafi terbunuh. Enam terdakwa itu adalah Violetha Caecilia Maria Constanza alias Connie, istri Febry, serta teman-temannya, yakni Maratoga, Robby Syarif, Ali Abel, Helmi, dan Fajar Edy Putra. Mereka saat ini tengah bersidang dan dituntut pasal penganiayaan dengan ancaman tujuh bulan hingga satu tahun penjara.
Raafi tewas akibat kehabisan darah karena tusukan senjata tajam. Senjata itu merobek bagian kanan perutnya. Saat itu, pelajar kelas XII Sekolah Menengah Atas Pangudi Luhur, Jakarta Selatan, ini tengah merayakan ulang tahun teman sekolahnya di kafe Shy Rooftop, Kemang, Jakarta Selatan. Di sana ia kongko bersama belasan teman sekolahnya. Saat ajojing di tengah lantai dansa kafe, Raafi dan teman-temannya bersenggolan dengan teman-teman Febry, yang juga tengah merayakan ulang tahun temannya.
Dari berbagai keterangan saksi, suasana saat itu memanas dan sempat terjadi perkelahian di antara kedua kubu. Pertikaian itu sempat dilerai dan mereda, tapi panas kembali setelah Raafi menimpuk Ali Abel dengan puntung rokok yang baranya masih menyala. Febry saat itu masih berada di meja nomor 48, meja tempat perayaan ulang tahun yang berada di sudut kafe. "Saya tahu ada ribut-ribut karena Connie balik ke meja setelah jatuh dari lantai dansa," kata Febry saat ditemui Tempo di tahanan Cipinang, Jumat dua pekan lalu.
Keributan ini tak memancing Febry mendatangi lantai dansa. Ia justru kerepotan karena harus membantu salah seorang temannya, Teddy Koentjoro, yang mabuk hingga muntah. Febry menarik Teddy ke balkon kafe. Seorang anggota satuan pengamanan kafe bernama Jamaluddin saat di pengadilan bersaksi melihat Febry jauh dari lokasi Raafi terbunuh. "Jamaluddin melihat Febry tengah membantu Teddy yang muntah di balkon," kata Endi Martono, pengacara Febry.
Lalu siapa yang membunuh Raafi? Febry punya cerita sendiri. Di malam pembunuhan itu, Robby bersama Sanuri Adrian beserta dua temannya yang lain turut hadir di Shy Rooftop. Kedatangan mereka, kata Febry, memang atas undangannya. Sanuri Adrian dan kedua temannya mengaku anggota Pasukan Pengamanan Kepresidenan. Robby, kata dia, saat itu mengenakan kaus berwarna putih. Keterangan teman-teman Raafi mengatakan si pria kaus putihlah yang paling bertanggung jawab atas pembunuhan ini.
Ada pula cerita lain. Dinihari seusai pertengkaran itu, Febry bersama Connie pulang ke rumah mereka di perumahan Pesona Depok II. Robby dan Sanuri ikut ke rumah Febry, tapi dengan mobil berbeda. Sesampai di rumah, Febry mengatakan Robby dan Sanuri meracau telah menghajar anak-anak SMA Pangudi Luhur. Sanuri juga menunjukkan sebilah pisau belati berwarna hitam yang ia simpan di pinggang kanannya.
Di sana Sanuri mengaku telah menyabet pisau belati itu ke arah anak-anak SMA tersebut. Robby pun ikut memperagakan gaya menyabet pisau. "Saya tak terlalu mempedulikan omongan mereka karena sudah sangat capek dan pusing dengan pekerjaan saya yang tertunda," kata Febry.
Robby dan Sanuri memberikan keterangan berbeda kepada polisi. Sanuri bersaksi menerima pisau yang dititipkan Febry. Di pisau itu, kata dia, bahkan masih terdapat noda darah. Keterangan ini diperkuat oleh cerita Robby. "Robby melihat pisau itu berpindah dari Febry ke Sanuri," kata Raidar Sitorus, pengacara Robby. Pisau itu kini raib. Penyidik tak bisa menemukannya karena Sanuri sudah membuangnya.
Pengacara keluarga Raafi sekaligus koordinator Tim Pencari Fakta yang dibentuk alumnus SMA Pangudi Luhur, Mahendradatta, mengatakan cerita ini tidak akan simpang-siur bila polisi serius menangani kasus itu. Jejak pembunuh yang sebenarnya kini kembali gelap. Mahendradatta setuju pertimbangan hakim memvonis bebas Febry karena sejak awal penyidikan ini lemah. "Masih banyak keterangan dan bukti yang belum digali," katanya.
Dengan dibebaskannya Febry, kata dia, pembunuhan Raafi merupakan "kasus tanpa pelaku utama". "Polisi dan kejaksaan harus proaktif mencari bukti baru," ujar Mahendratta. Ia meminta polisi dan penyidik tidak diskriminatif terhadap kasus Raafi. "Ini bukan kasus berat, tapi juga bukan kasus ringan," ujarnya. Caranya, kata dia, polisi dan jaksa berkolaborasi menemukan pembunuh Raafi di tengah pencarian novum (bukti baru) saat kasasi nanti. "Pengadilan baru bisa dibuka kembali tanpa mengganggu sidang yang kini tengah berjalan," tuturnya.
Jaksa yang menangani kasus Raafi di pengadilan, Dedi Sukarno, mengatakan akan mengajukan permohonan kasasi terhadap kasus ini. "Seharusnya hakim mempertimbangkan keterangan Sanuri," ujarnya. Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Hermawan mengatakan pihaknya akan mengikuti yang diminta jaksa. "Kami akan berkoordinasi dengan jaksa dan siap kalau harus bekerja kembali untuk mencari novum," ujarnya kepada Tempo.
Mustafa Silalahi
Sher Muhammad Febry Awan:
Saya Korban Rekayasa
Setelah sembilan bulan meringkuk di tahanan, Selasa pekan lalu Sher Muhammad Febry Awan kembali menghirup udara bebas. Hakim menyatakan pria 42 tahun itu tak terbukti membunuh Raafi Aga Winasya Benjamin. Febry menyambut putusan itu dengan penuh syukur. "Ternyata masih ada hukum yang adil di negeri ini," kata bapak dua anak yang dua lengannya bertato dan kini—setelah berbulan-bulan di tahanan—tubuhnya terlihat kurus itu. Wartawan Tempo Mustafa Silalahi dan Febriana Firdaus sempat mewawancarai Febry dua kali, di tahanan dan beberapa saat setelah ia diputus bebas.
Jadi, siapa sebenarnya yang membunuh ÂRaafi?
Begini, sebelumnya saya sebenarnya tidak tahu-menahu ada yang berkelahi di dance floor dan penusukan Raafi. Saya saat itu tengah berada di balkon membantu teman yang sedang mabuk. Namun, setelah pulang dari Shy Rooftop, Kemang, pada dinihari itu, Robby Syarif dan Sanuri ikut bersama saya pulang ke Depok.
Lalu apa yang terjadi di rumah Anda?
Saat kami tiba, di ruang tamu, Sanuri sempat berujar, "Gua sabet aja, Bang," dan menunjukkan sebilah pisau belati hitam kepada saya. Robby juga ikut memeragakan gaya menusukkan pisau. Tapi saya acuhkan karena saya terlalu capek dan mengantuk. Saya cuma bilang, "Ya udah, skut aja." Skut adalah bahasa prokem kami, artinya santai saja. Di sana Robby sempat berpesan kepada saya, nanti bila ada apa-apa, jangan libatkan dia.
Kepada penyidik, Sanuri dan Robby sama-sama menyebutkan pisau itu telah dititipkan kepada Anda. Benar?
Kesaksian Robby ini yang membuat saya tidak habis pikir. Dia itu sudah saya anggap adik sendiri, tapi kok tega memutarbalikkan fakta. Semua keterangan dia dan Sanuri kepada polisi itu bohong. Jaksa dan polisi juga seolah-olah melindungi dia selama pemeriksaan dan di pengadilan.
Jadi, apa peran Anda dalam kasus ini?
Saya juga bingung mengapa saya yang menjadi korban rekayasa kasus ini. Saat saya diperiksa, penyidik menunjukkan rekaman cctv kepada saya. Di sana terlihat saya dan teman-teman berjalan biasa saja, bahkan sempat duduk-duduk sambil merokok di area parkir basement, karena memang tak mengetahui ada pembunuhan itu. Namun mengapa cctv ini tak diungkap ke pengadilan? Karena di sana juga pasti memperlihatkan Robby kabur bersama tiga temannya, salah satunya Sanuri.
Kini apa yang akan Anda lakukan?
Saya akan menata keluarga saya kembali karena kami sempat goyang akibat fitnah ini. Kami juga akan memulihkan nama baik kami kembali. Banyak rekan bisnis saya yang enggan berbisnis kembali karena khawatir usaha mereka terganggu oleh status saya sebagai mantan tersangka pembunuhan. Intinya, saya dan keluarga akan melanjutkan hidup kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo