Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Retaknya Penyokong Mursi

Kelompok liberal dan sekuler memilih keluar dari kabinet. Mereka kesal tak ada representasi dan jaminan nasib kaum minoritas.

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Afaf Ibrahim Fanous, warga Kristen Koptik, berjalan lesu melewati bekas rumah kakaknya, Rabu pekan lalu. Dinding menghitam bekas kebakaran, sisa pintu hangus, dan lubang besar menganga di kamar mandi. Debu tebal dan sarang laba-laba menghiasi rumah yang sebulan lalu dilanda kebakaran dan penjarahan—saat bentrokan muslim-Kristen di pedesaan lembah Sungai Nil—itu. Tangisnya pecah ketika ia naik ke balkon di lantai tiga, menyaksikan ratusan rumah lain juga porak-poranda.

Polisi telah menangkap 20 orang—12 warga Kristen dan 8 warga muslim—yang dianggap pelaku utama kerusuhan. Konflik berawal dari perbedaan pendapat. Puluhan penduduk muslim menyerang serta membakar puluhan rumah dan toko. Dua orang tewas dalam kekerasan ini, yang merupakan kakak Fanous. "Semua pelaku penyerangan bebas, tak dihukum. Tapi warga yang ingin mempertahankan rumahnya berada di penjara," kata Fanous.

Dari periode jatuhnya Presiden Husni Mubarak hingga pemilihan presiden sipil, setidaknya ada 12 insiden kekerasan sektarian yang serius, termasuk penyerangan dan pembakaran gereja. Pada malam Tahun Baru 2012, sebuah bom menghantam sebuah gereja di Alexandria, menewaskan 24 orang. Pada Oktober tahun lalu, tentara melepaskan tembakan ke arah sekumpulan orang—mayoritas Kristen—yang sedang melancarkan protes di Kairo. Sebanyak 27 orang tewas.

Beberapa tahun terakhir, pemeluk Kristen di Mesir menghadapi tekanan yang luar biasa. Pemerintah mempersulit mereka mendapatkan izin membangun atau merenovasi gereja, sementara masjid mudah dibangun. Sejarah Koptik diabaikan di sekolah. Selain itu, perwakilan orang Kristen di posisi tinggi pemerintah hanya segelintir. Fanous semakin kecewa ketika perdana menteri dan kabinet baru akan diisi tanpa perwakilan kelompok sekuler. Ditambah munculnya isu soal penerapan syariat Islam. "Mursi tidak bisa melakukan apa pun yang lebih baik. Janjinya selama ini tak ditepati," kata Yunan Khalil, pendeta Gereja Katolik di Abu Qurqas.

Rabu dua pekan lalu, Presiden Muhammad Mursi menunjuk Hesham Qandil, bekas menteri irigasi, menduduki kursi perdana menteri. Penunjukan Qandil ini mengagetkan koalisi pendukung Mursi saat meraih kursi presiden melawan Ahmed Shafiq, perdana menteri era Mubarak dan anggota kelompok independen pengawas kinerja presiden. Front Nasional, salah satu kelompok independen, kecewa terhadap keputusan itu. Mursi dianggap telah melanggar janjinya. "Kami meminta Presiden memegang enam janjinya yang dibuat sebelum pemilihan presiden," kata anggota Front Nasional, Wael Ghonim.

Koalisi bertemu dengan Mursi di Istana Kepresidenan pada 27 Juni lalu. Mereka menyepakati tiga wakil presiden dari se­orang Kristen Koptik, wanita, dan kelompok muda. Perdana menteri akan dijabat orang dari kalangan independen sebagai pemimpin kabinet koalisi yang mewakili semua kelompok, termasuk menteri yang memiliki kompetensi. Keputusan lainnya, mencabut keputusan konstitusional yang membubarkan Majelis Rakyat dan merestrukturisasi Dewan Konstituante agar lebih transparan.

Heba Ezzat Raouf, anggota Front Nasional, mengatakan kelompoknya telah mengusulkan beberapa nama untuk menduduki jabatan perdana menteri dan kabinet, tapi diabaikan. Ia menilai Qandil tidak memiliki kriteria yang diharapkan, seperti kemampuan mengatasi perekonomian. Ia menilai teknokrat yang dipilih memiliki partisan pada kelompok politik tertentu. Apalagi proses rekrutmen yang dilakukan kurang transparan. "Jika memang teknokrat, seharusnya dia memiliki pengalaman dan prestasi yang memadai," katanya.

Partai Al-Nour, kelompok Islam ­Salafi, menyatakan tak setuju terhadap peng­angkatan Qandil. Partai yang menguasai 25 kursi di parlemen ini menuding dia tak murni dari kalangan independen. Qandil memperoleh gelar master dari Utah State University pada 1988 dan gelar doktor bidang irigasi dari North Carolina State University pada 1993. Ia menjabat birokrat senior di kementerian sumber daya air dan irigasi serta kepala insinyur irigasi di Bank Pembangunan Afrika. Juli lalu, Qandil ditunjuk menjadi menteri pelayanan irigasi dalam pemerintahan militer Mesir. "Ada kemungkinan Qandil memiliki hubungan sebagai simpatisan Ikhwan sebelum berangkat belajar ke Amerika Serikat," kata seorang pejabat Al-Nour.

Kekecewaan Salafi bertambah ketika perwakilan kadernya tak ikut hadir dalam penyusunan kabinet. Qandil memilih anggota kabinet mayoritas dari teknokrat, militer, dan kelompok Islam yang didominasi Al-Ikhwan al-Muslimun. Media pemerintah Mesir telah merilis sejumlah calon yang masuk kabinet.

Rabu pekan lalu, Qandil memastikan 20 nama menteri dari 34 kementerian. Ikhwan akan menduduki tiga pos kementerian: pendidikan tinggi, kepemudaan, dan perumahan. Sedangkan pos penting, seperti kementerian keuangan, kementerian dalam negeri, kementerian luar negeri, dan kementerian kehakiman, akan diisi oleh birokrat yang berpengalaman. Marsekal Hussein Tantawi, Kepala Dewan Tertinggi Militer (SCAF), tetap menduduki jabatan menteri pertahanan. Tapi masih ada kemungkinan berubah.

Nader Bakkar, juru bicara Partai Al-Nour, mengatakan tidak akan masuk kabinet. Qandil telah mengabaikan permintaan Al-Nour menyangkut sejumlah pos: kementerian komunikasi, kementerian pembangunan daerah, dan kementerian pada sektor bisnis. Ketika Qandil menawarkan kementerian lingkungan kepada Khaled Alim Eddin, "Kami menolaknya. Partai memutuskan tak masuk pemerintahan dan bebas tanggung jawab," katanya.

Partai Al-Wafd, bagian dari koalisi pendukung Mursi, juga kecewa terhadap kabinet baru. Partai sekuler terbesar di Mesir ini merasa tidak pernah dilibatkan dalam pembentukan pemerintahan baru. Padahal mereka merasa memberi kontribusi bagi kemenangan Mursi ke tampuk pemimpin tertinggi. Kader Al-Wafd yang berada di kementerian akan ditarik kembali ke partai. Salah satunya Menteri Kebudayaan Mounir Fakhri Abdel-Nour, penganut agama Kristen. "Saya akan menolak jika ditawari kembali jabatan menteri di kabinet," ujarnya.

Hal yang sama dirasakan Partai Sosial Demokrat Mesir. Menurut mereka, pemerintahan baru kurang merepresentasikan kelompok liberal dan sekuler. Justru militer tetap mendapat tempat yang memadai. Partai Adl, yang beraliran liberal, menilai kabinet ini bias terhadap satu kekuatan politik tertentu. Mereka khawatir kuatnya Al-Ikhwan al-Muslimun akan berperan besar dalam pemerintahan. Partai Adl menuntut menteri-menteri baru diangkat atas dasar prestasi, bukan nepotisme. Mereka mengancam akan keluar dari dukungan kepada Mursi.

Setelah ditunjuk sebagai perdana menteri, Hesham Qandil menjanjikan kabinet yang bisa menjalankan semua janji dari presiden, terutama mengatasi keterpurukan perekonomian. Ia mengatakan akan merekrut calon menteri yang memiliki kompetensi. Qandil meminta dukungan semua kekuatan politik dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah bangsa yang kompleks. "Kami akan membentuk pemerintahan yang efektif dan efisien," katanya Rabu dua pekan lalu.

Eko Ari Wibowo (Al-Ahram, The Christian Science Monitor, Egypt Independent, New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus