Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah sebuah adegan dramatis sekaligus ironis. Rabu lalu, penduduk Bagdad, Irak, menyaksikan seorang prajurit AS minta maaf. "Saya minta maaf kepada rakyat Irak dan para tahanan," kata Jeremy Sivits sambil menangis. Dan palu hakim pengadilan Bagdad pun diketukkan: Sivits divonis setahun penjara dan dipecat dari dinas militer. Lelaki asal Hyndman, Pennsylvania, AS itulah yang memotret praktek penyiksaan terhadap para tahanan Irak oleh tentara AS di bui Ghuraib beberapa waktu lalu?yang sempat mengguncang pemerintahan Presiden AS, George W. Bush.
Namun, di kampung halamannya di Hyndman, orang memandang Sivits sebagai kambing hitam. "Dia hanyalah kambing hitam untuk para pejabat penting," ujar Tom Cunningham, Wali Kota Hyndman. Cunningham benar, terutama setelah Seymour Hersh mengungkap borok Washington di majalah The New Yorker. Menurut dia, akar skandal Abu Ghuraib adalah kebijakan yang disetujui Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld. Dia mengizinkan perluasan operasi rahasia yang awalnya untuk memburu anggota militan Al-Qaidah. Namun setahun lalu operasi itu merembet ke Bagdad.
Tak ayal, investigasi Hersh bikin Pentagon kebakaran jenggot dan membuat gusar para pejabatnya. "Ini malpraktek jurnalisme yang paling histeris. Hersh adalah salah seorang ahli teori persekongkolan besar di dunia," kata juru bicara Menteri Pertahanan, Lawrence DiRita, ketus. Tapi Hersh tak sendirian. Hasil investigasi Newsweek bahkan menemukan bukti bahwa Presiden George Bush pun terlibat!
Cerita bermula ketika AS, didukung pasukan multinasional, menginvasi Afganistan. Ketika itu, karena meragukan legalitas penyerbuan ke Afganistan, pasukan AS ragu-ragu menangkap pentolan Taliban dan Al-Qaidah. Begitu pula ketika sempat mendeteksi konvoi mobil yang membawa pemimpin Taliban, Mullah Muhammad Omar, pesawat tak berawak Predator sama sekali tak bereaksi.
Maka para ahli hukum Gedung Putih pun geram. Alberto Gonzales, counsel Gedung Putih, menulis memo kepada Bush, agar dalam melawan terorisme tak perlu mengindahkan peraturan perang, traktat internasional, ataupun konvensi Jenewa tentang hak tahanan dan tawanan perang. Memo itu jatuh ke tangan Menteri Luar Negeri Colin Powell, yang segera membujuk Bush agar tidak melaksanakannya. Tapi Bush justru menetapkan kebijakan kontroversial yang disahkan Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld dan Jaksa Agung John Ashcroft: sebuah program rahasia yang menghalalkan segala cara dalam menginterogasi target "bernilai tinggi". Kalau perlu boleh membunuh. Doktrin pre-emption dalam interogasi ini dikenal dengan program akses khusus, special access program (SAP).
Program yang merekrut personel khusus itu memiliki perlengkapan dan pesawat sendiri. Untuk itu Rumsfeld menugasi orang kepercayaannya, Stephen Combone?pejabat militer yang tak populer di kalangan intelijen?untuk menanganinya. Singkat cerita, operasi super-rahasia itu berhasil. Pada saat yang sama, invasi ke Irak dimulai. Secepat kilat, pasukan AS dan sekutunya menyapu pasukan Saddam Hussein, meski Saddam sendiri tak segera ditemukan?apalagi senjata pemusnah massal yang jadi alasan utama invasi, entah di mana.
Tentu saja para pejabat militer dan CIA mulai gatal, terutama ketika belakangan perlawanan rakyat Irak semakin gencar: korban di kalangan tentara AS dan sekutunya jauh lebih buruk ketimbang dalam Perang Vietnam. Apa boleh buat, lewat Combone, Rumsfeld memutuskan bertindak lebih keras agar para tahanan Irak memberikan informasi mengenai gerakan perlawanan. Maka komandan penjara Teluk Guantanamo, Mayjen Geoffrey Miller, pun pada akhir Agustus lalu dipanggil ke Bagdad. Dia menggantikan Brigjen Rick Baccus yang dinilai terlalu lembek di Guantanamo.
Sementara itu, dalam laporannya Februari lalu, Mayjen Antonio Taquba menulis, Miller telah mendesak para komandan di Bagdad untuk mempraktekkan cara interogasi di bui Guantanamo yang disebut "Gitmoize" di penjara Irak. Antara lain, pencabutan hak tidur, menempatkan tahanan dalam sebuah tempat yang sangat dingin atau sangat panas, hingga tahanan stres berat. Miller juga menyarankan agar intelijen militer jadi penanggung jawab penjara menggantikan polisi militer. Tak ayal, ketegangan pun terjadi di kalangan militer gara-gara banyaknya orang tak dikenal dan tak berseragam yang wira-wiri di Abu Ghuraib dan penjara lainnya. Bisa dimaklumi jika para pejabat CIA bingung. Buntutnya, mereka menarik diri dari program SAP karena khawatir program rahasia ini ketahuan.
Benar. Beberapa waktu lalu, terbukalah insiden tak beradab ini. Tapi belasan orang dikambinghitamkan, sementara Komandan Komando Sentral, Jenderal John Abizaid, dan Komandan Pasukan AS di Irak, Letjen Ricardo Sanchez, mengaku bertanggung jawab. Namun laporan investigasi The New Yorker dan Newsweek mengungkapkan bahwa mereka hanyalah kambing hitam. Dan hari-hari ini, di Washington, para pejabat AS masih berdebat, apakah Rumsfeld dan Bush merupakan dua titik terakhir dalam garis komando penyiksaan yang biadab ini.
Purwani Diyah Prabandari (The New Yorker, Newsweek, Independent)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo