Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKLUMAT itu dia sampaikan dalam suatu rapat akbar yang riuh pada 18 Mei silam: Sonia Gandhi menampik kursi perdana menteri yang telah dimahkotai oleh Partai Kongres untuknya. Maka meraung-raunglah sebagian anggota partai dalam tangis, teriakan, amarah. Sonia bergeming: "Saya tidak menginginkan kekuasaan," ujarnya. Sesuai dengan tradisi lama, dia diminta memberikan pilihan. Dan inilah pilihan Sonia: agar Partai Kongres dan Presiden India, A.P.J. Abdul Kalam, merestui Manmohan Singh, seorang pemeluk Sikh dan arsitek reformasi ekonomi India, menggantikannya. Mereka mengangguk dan Sonia menepi.
Pada akhir pekan silam, Manmohan Singh ditabalkan menjadi perdana menteri menggantikan Atal Behari Vajpayee dari Partai Bharatiya Janata (BJP). Singh mendapat kuasa, tapi Soniaistri Rajiv Gandhi, Perdana Menteri India yang dibunuh oleh teroris pada 1991layak mendapat bintang. Hampir semua media massa di India memujanya setinggi langit.
Para lawan politiknya yang militan, umpamanya Menteri Negara Bagian Madhya Pradesh, Uma Bharti, atau anggota Majelis Tinggi India, Sushma Swaraj, dan suaminya, sampai diolok-olok media karena dianggap terlalu mencerca Sonia. Tadinya ketiga orang ini mengundurkan diri dari jabatan mereka dengan alasan tak mampu menanggung "aib nasional" karena dipimpin oleh orang asing.
Belakangan, mereka mendapat malu saat Sonia memberikan jalan kepada Manmohan Singh, 71 tahun. "Sonia tetap menjadi pemenang kendati tidak tampil sebagai pemimpin resmi," ujar Brahma Chellaney dari Center for Policy Research. Sebagian warga di pedesaan Negara Bagian Uttar Pradesh (basis tradisional Partai Kongres dan pendukung setia dinasti Gandhi) percaya bahwa mundurnya Sonia telah diatur oleh garis takdirnya demi memulihkan luka lama antara minoritas Sikh dan Partai Kongres setelah pembunuhan Perdana Menteri Indira Gandhi.
Pagi hari itu, 31 Oktober 1984, Indira Gandhi, mertua Sonia, baru saja meninggalkan gedung tempat dia biasa melaksanakan darshanaudiensi khusus dengan rakyat jelata. Di tengah jalan menuju rumahnya, tiga pengawal pribadinyamereka orang Sikhmenghampirinya. Indira menangkupkan kedua tangan, mengucapkan "namaste", salam hormat bagi sesama warga India.
Tapi tiba-tiba tiga pengawal Sikh itu memberondong dirinya. Indira jatuh bersimbah darah. Dokter mengeluarkan 16 butir pelurujumlah ini sama banyak dengan peluru tentara India yang menewaskan pemimpin Sikh militan Bhindranwale di Kuil Emas, tempat suci orang Sikh, pada Juni tahun yang sama.
Sonia sedang berada di dalam kamar mandi ketika tragedi itu terjadi. Dia menjerit sejadi-jadinya lalu berlari ke depan rumah setelah Indira Gandhi rebah ke tanah. Mertuanya meninggal. Permusuhan pendukung Partai Kongres dan kaum Sikh pun berkobar. Nyawa berganti ribuan nyawa. Sekitar 3.000 warga Sikh terbunuh dalam kerusuhan menyusul kematian Indira.
Maka trauma kepada politik yang sudah terpatri sejak awal dalam dirinya kian menyubur. Tariq Ali dalam bukunya, The Nehrus and the Gandhis: An Indian Dynasty, menulis bahwa Sonia pernah berkata kepada temannya, lebih baik anak-anaknya mengemis di jalanan ketimbang Rajiv masuk ke dunia politik. Apa daya, setelah Indira meninggal, Partai Kongres mulai mendesak Rajiv agar tampil menggantikan ibunya. "Untuk pertama kalinya dalam 15 tahun, saya berkelahi seperti singa untuk membela perkawinan kami dan anak-anak kami." Sonia tahu, begitu Rajiv memegang kekuasaan, kehidupan mereka akan berubah total. Maka dia menentangnya mati-matian.
Tapi India dan dunia menyaksikan betapa kematian itu jua yang melahirkan metamorforsis bagi Rajiv dan Sonia: Rajivdengan restu Sonia, akhirnyadilantik sebagai Perdana Menteri India. Tujuh tahun kemudian, seperti menyaksikan sebuah kaleidoskop berdarah, Sonia menerima Rajiv yang pulang ke rumah dalam rupa jenazah. Ketika Rajiv turne ke Sriperumbudur, sekitar 40 kilometer dari Madras, Negara Bagian Tamil Nadu, sebuah bom bunuh diri menewaskan Perdana Menteri India tersebut.
Kematian demi kematian meliliti dinasti itu seperti takdir buruk. Toh, Sonia, yang bersumpah berkali-kali tak sudi menginjak dunia politik, akhirnya "termakan" sumpah sendiri. Dia meneruskan peran keluarga Gandhi-Nehru dengan gagah. Memimpin Partai Kongres, dia berhasil mengumpulkan suara mayoritas dan menumbangkan BJP dalam pemilu tiga pekan silam. Kursi perdana menteri pun menjadi miliknya.
Tapi Sonia memilih finale, adegan penutup, yang bahkan mengejutkan musuh-musuhnya dari BJP dan kaum Hindu militan. Dia mundur sebelum naik takhta. Priyanka dan Rahul (lihat Dari Gandhi Turun ke Gandhi) konon berada di balik keputusan tersebut. Rahul, 34 tahun, hanya berkata, "Saya menghormati keputusan Ibu." Beredar cerita, kedua anaknya meyakinkan sang ibu bahwa mundurnya Sonia akan membawa kemaslahatan bagi keluarga mereka dan Partai Kongres. Maklumlah, kaum Hindu militan masih amat sulit menerima darah asing untuk memimpin India.
Entah disengaja, entah kebetulan (orang-orang Uttar Pradesh menyebutkan ini bagian dari takdir Sonia), saat memilih Singh, Sonia seakan mempraktekkan kebajikan semua agama: "membalas tuba dengan susu." Dia meminta Singh, seorang Sikhkaum yang telah membunuh mertuanyaagar menerima kursi miliknya. "Waktu telah menyembuhkan semua luka lama antara Partai Kongres dan kaum Sikh. Penunjukan Singh (oleh Sonia) akan mempercepat rekonsiliasi tersebut," ujar P.S. Verma, profesor ilmu politik di Punjab.
Sonia memecahkan pula rekor lain: menjadikan seorang Sikhuntuk pertama kalinya dalam sejarah India modernperdana menteri. Sejatinya, Sonia dan Singh dipertautkan oleh utas benang yang kuat: mereka sama-sama minoritas. Sonia adalah Katolik Italia, sedangkan Singh pemeluk Sikh di negeri dengan 80 persen pemeluk Hindu dari 1,1 miliar penduduk. Keduanya pun dipandang bisa saling melengkapi karena latar belakang yang amat berbeda. Sonia datang dari keluarga ningrat politik yang telah melahirkan tiga perdana menteri.
Sedangkan Manmohan Singh? Dia "cuma" anak tukang buah kering yang miskin di Amritsar. Lahir di Desa Gah (kini masuk wilayah Pakistan) pada 26 September 1932, Singh mengikuti ayahnya ke Amritsarkota suci kaum Sikhpada usia 14 tahun. Dia dikenal sebagai murid yang tekun dan cerdas. Singh muda kemudian berhasil menyabet beasiswa ke Oxford dan Cambridge setelah menamatkan pendidikan sarjana mudanya di Universitas Punjab.
Selepas Oxford, dia menempuh sejumlah karier di bidang akademi sebelum mulai memasuki dunia pemerintahan. Pada 1991, Manmohan Singh menerima tawaran (mantan) Perdana Menteri P.V. Narasimha Rao untuk menjadi menteri keuangan. Dia juga pernah menjabat Gubernur Bank Sentral India. Namun yang membikin namanya bersinar adalah prestasinya memulihkan ekonomi India.
Saat menjabat menteri keuangan di bawah Narasimha Rao, Singh menemukan India yang hampir bangkrut: defisit amat parah hingga minus 8,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Cadangan devisa nasional mengering sampai US$ 1 miliar (untuk nilai sekarang, sekitar Rp 8,6 triliun). Angka ini cuma peanut, sebiji kacang, setara dengan dua pekan nilai impor India di masa itu. Bandingkan dengan nilai cadangan devisa pada The Economist yang mencatat US$ 67,6 miliar pada tahun 2002.
Tapi, di tangan Singh, kebangkrutan di atas dapat dipulihkan dengan gemilang.
Angka pertumbuhan naik hingga tujuh persen per tahun. Orang masih terkenang saat dia mengucapkan pidato pertamanya sebagai menteri keuangan. Mengutip sastrawan Prancis, Victor Hugo, Singh berkata, "Tak ada kekuatan di atas bumi yang mampu menyetop kelahiran sebuah ide." India dapat dipikatnya bukan semata-mata karena ide-idenya memulihkan hajat ekonomi rakyat. Singh diterimakendati banyak orang meragukan pengalamannya dalam politikkarena dia dikenal luas sebagai politisi paling bersih di negerinya.
Korupsi dan kemiskinan adalah pekerjaan rumah yang harus dipikulnya. Juga konflik antar-etnis dan antar-agama yang masih rawan mengancam India. Singh menjanjikan, di bawah pemerintahannya, tak akan ada pertumpahan darahsementara di perbatasan Kashmir-India darah terus mengalir bahkan pada hari pelantikannya, Sabtu pekan silam.
Untuk memenuhi janji-janjinya, Singh memerlukan dukungan kuat di parlemen. Tapi tak semua mau menyokongnya. Partai Komunis India, misalnya, pagi-pagi sudah menolak. Mereka memilih "menyokong Singh dari luar." Sonia sendiri dan Partai Kongres sudah pasti berada di belakang Singh. Begitu pula koalisi partai pendukung Kongres yang tergabung dalam United Progressive Alliance (UPA). Total kursi UPA di parlemen adalah 220. Angka ini membalap perolehan lawan UPA, yakni National Democratic Alliance (NDA), dengan saka gurunya Partai Bharatiya Janata, yang menyetor 138 kursi dari total perolehan NDA sebesar 185 kursi.
Singh dan Partai Kongres barangkali dapat lebih percaya diri bila kekuatan mereka di parlemen bisa diperteguh oleh sokongan aliansi Left Front (59 kursi). Ini persekutuan partai-partai kiri yang didominasi oleh Partai Komunis India (43 kursi)yang justru menolak Singh. Toh, sejauh ini, pasar bereaksi positif. Lebih-lebih setelah Singh menyatakan perlunya India menerapkan reformasi ekonomi yang mementingkan elemen kemanusiaan. "Menghalau kemiskinan," ujar Singh, adalah prioritas utamanya dalam memandu India (lihat tabel indikator ekonomi: Empat Tahun Memacu India).
Bagi dunia usaha bisnis dan ekonomi India, naiknya Singh adalah kabar baik. Ketika kemenangan Sonia diumumkan, pasar anjlok 11 persen, jatuh ke tingkat terendah dalam 129 tahun terakhir. Namun para pialang kembali bertempik-sorak ketika Sonia mundur dan Singh naik panggung. Harga-harga saham menggeliat bangun. Bahkan saham-saham itu tak melupakan jasa Singh menyelamatkan India dari ambang kebangkrutan.
Namun negeri yang telah mengalirkan darah beberapa perdana menteri itu agaknya tak bisa dipimpin dengan senjata ekonomi semata-mata. Diperlukan pula karisma politik untuk menundukkan masyarakat yang masih begitu lekat pada kasta dan kelas. Maka Singh pun menoleh kepada Sonia. Dan Sonia mengulurkan tangan dari balik layar. "Bagi saya, yang terpenting adalah masa depan India," ujarnya. Singh menjura kepada si pemenang yang asli: "Dia pemimpin saya, sosok yang tidak tergantikan," ujarnya tentang Sonia.
Indira Gandhi, ketika menerima Sonia sebagai pengantin di dalam rumahnya pada 25 Februari 1968, mengajarkan petuah lama ini kepada gadis muda itu: "Manusia pada dasarnya setara. Kulit dan kasta hanyalah pelamis." Tapi India, negara demokrasi terbesar di dunia, belum mampu menelan kebijaksanaan tersebut. Mereka menolak Sonia karena darahnya yang asing. Sonia membalasnya dengan patut: dia memaksa India menerima seorang pria dari kasta rendahan, seorang pria yang ditempa oleh kemiskinan, untuk memandu negeri itu selama lima tahun ke depan.
Hermien Y. Kleden (BBC, The Economist, The Independent)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo