Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abubacarr M. Tambadou berkarier sebagai pengacara sekitar 13 tahun di Mahkamah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Fokus tugas pria kelahiran 12 Desember 1972 ini adalah menangani kasus pemusnahan etnis (genosida) selama 7 April-15 Juli 1994 dalam perang saudara di Rwanda pada 1994 yang menewaskan lebih dari 800 ribu orang.
Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman Gambia itu teringat kembali pada horor Rwanda saat membaca laporan PBB tahun lalu tentang dugaan genosida terhadap orang Rohingya. Penyelidik PBB menggambarkan kekerasan oleh tentara Myanmar pada 2017 itu telah menewaskan ribuan orang dan memaksa lebih dari 740 ribu orang lari ke negara tetangganya, Bangladesh.
“Ketika saya mendengarkan kisah-kisah mengerikan—pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pembakaran orang hidup-hidup di rumah mereka—itu membawa kembali ingatan pada genosida Rwanda,” kata Tambadou, seperti dilansir Washington Post. Keprihatinan atas penderitaan orang Rohingya itulah yang menjadi alasan Gambia menggugat Myanmar ke Mahkamah Keadilan Internasional (ICJ).
Selain dibayangi kasus Rwanda, Gambia masih punya pekerjaan menyelesaikan kasus kekerasan masa lalunya. Komisi Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Reparasi memulai sidang tahun ini atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh Yahya Jammeh, diktator yang memerintah negara itu selama 22 tahun sebelum ia kabur ke Guinea Ekuatorial pada 2017. “Sebagian alasan kami termotivasi untuk terlibat kasus (Rohingya) ini adalah karena pengalaman kami sendiri,” ujar Tambadou.
Gambia, negeri berpenduduk 2,1 juta jiwa yang letaknya 11.500 kilometer ke arah barat Myanmar, mendaftarkan gugatan ke ICJ yang berkantor pusat di Den Haag, Belanda, Senin, 11 November lalu. Didukung 57 negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), negeri di Afrika barat itu juga meminta Mahkamah memerintahkan Myanmar menghentikan kekejaman dan genosida terhadap orang-orang Rohingya.
Bukan hanya Gambia yang harus dihadapi pemerintah Myanmar. Dua hari kemudian, tepatnya pada Rabu, 13 November, ada gugatan perkara genosida yang dilayangkan oleh Organisasi Rohingya Burma Inggris (BROUK), yang bermarkas di London, terhadap para petinggi Myanmar di pengadilan federal dengan yurisdiksi internasional di Buenos Aires, Argentina.
Tun Khin, Presiden BROUK, mengatakan yang dimasukkan ke daftar tergugatnya antara lain Panglima Militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi. “Semua yang bertanggung jawab atas genosida, apakah mereka berseragam atau tidak, harus dibawa ke pengadilan,” katanya.
Dalam sidang di pengadilan yang terletak di ibu kota Argentina itu, BROUK diwakili Tomas Ojea Quintana, utusan PBB untuk Myanmar pada 2008 dan 2014. Dua kelompok hak asasi manusia Argentina, Nenek-nenek Plaza de Mayo serta Yayasan Perdamaian dan Keadilan, mendukung gugatan ini. “Saya melihat langsung penderitaan orang-orang Rohingya,” ujar Ojea. “Sudah waktunya keadilan ditegakkan.”
Keesokan harinya, 14 November, giliran Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memberi persetujuan adanya penyelidikan penuh atas dugaan kejahatan Myanmar terhadap orang Rohingya. Dalam pengumumannya, ICC memberikan wewenang kepada jaksa penuntut melanjutkan penyelidikan atas dugaan kejahatan di dalam yurisdiksi ICC.
Abubacarr M. Tambadou/ REUTERS/Luc Gnago
Menurut Ketua Tim Pencari Fakta soal Myanmar dari Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Marzuki Darusman, ICC akan melakukan penyelidikan penuh dan mengarah pada penuntutan dalam kasus “pemindahan secara paksa”, bukan soal genosida warga Rohingya. “Kami dari tim pencari fakta akan memberikan bantuan data dan informasi soal itu,” ucap Marzuki di Jakarta, 20 November lalu.
ICC, kata Marzuki, tidak bisa menyelidiki dugaan genosida karena Myanmar tidak masuk daftar negara yang meratifikasi Statuta Roma 2012, yang menjadi dasar pendirian ICC. Namun kasus pemindahan paksa masuk yurisdiksinya. “(Myanmar) tidak bisa mengelak karena ini adalah kejahatan lanjutan yang diselidiki dari sisi Bangladesh,” ujarnya. Berbeda dengan Myanmar, Bangladesh adalah anggota ICC.
Soal dugaan genosida terhadap warga Rohingya, kata Marzuki, akan ditangani organ baru yang dibentuk PBB, yaitu Mekanisme Independen Internasional untuk Myanmar (IIMM). Bahan awal dugaan genosida itu dihasilkan Tim Pencari Fakta soal Myanmar yang dipimpin Marzuki. Tim melakukan investigasi sejak 2018 dan hasilnya diumumkan pada 5 Agustus 2019. Mereka merekomendasikan enam pelaku diadili dengan kejahatan genosida, termasuk Min Aung Hlaing.
IIMM inilah yang nantinya mempersiapkan penyusunan berkas penuntutan kasus genosida orang Rohingya. Soal bentuk pengadilannya seperti apa akan diserahkan sepenuhnya kepada keputusan sidang Dewan Keamanan PBB. “Keputusannya bisa diadili di ICC, pengadilan ad hoc seperti kasus Rwanda, dan bisa juga peradilan campuran seperti Kamboja,” Marzuki menambahkan.
Dari tiga perkembangan baru dalam kasus Rohingya itu, gugatan Gambia yang terlihat paling menarik perhatian, termasuk bagi Myanmar, yang selama ini banyak bungkam menghadapi kritik dan tekanan internasional. Pengadilan ICJ, yang didirikan pada 1946, selama ini hanya dapat memeriksa perselisihan antarnegara.
Dalam gugatannya ke ICJ, Gambia menuduh kekerasan oleh Myanmar terhadap warga Rohingya sama dengan genosida karena hal itu termasuk “membunuh, menyebabkan kerusakan fisik dan mental yang serius, menimbulkan kondisi yang diperkirakan menyebabkan kehancuran fisik, memaksakan tindakan untuk mencegah kelahiran, serta pemindahan paksa”. Myanmar dinilai melanggar Konvensi Genosida PBB 1948. Seperti halnya Gambia, Myanmar meratifikasi konvensi ini.
Menurut Md. Rizwanul Islam, dalam The Diplomat edisi 19 November 2019, tak adanya tekanan domestik dan dukungan diam-diam dari beberapa negara besar, seperti Cina, India, dan Rusia, membuat para pejabat Myanmar berani meneruskan penganiayaan mereka terhadap orang Rohingya. “Langkah Gambia ini menguji impunitas itu,” tuturnya.
Walaupun tidak secara langsung terkena dampak kekejaman pasukan keamanan Myanmar terhadap warga Rohingya, sikap Gambia membawa kasus ini bukanlah masalah. Genosida, di bawah hukum internasional kontemporer, yurisdiksi wilayahnya universal. Ada kemungkinan Myanmar akan mempersoalkannya. Tapi, kata Rizwanul, tantangan soal yurisdiksi itu tampaknya tidak meyakinkan.
Rizwanul juga mengutip putusan ICJ dalam kasus Bosnia melawan Serbia pada 2007. Meskipun mayoritas hakim ICJ tidak menuntut Serbia dan Bosnia bertanggung jawab atas kejahatan genosida (kecuali untuk pembantaian lebih dari 7.000 pria dan anak lelaki di Srebrenika pada Juli 1995), diakui bahwa suatu negara bisa melakukan kejahatan genosida.
Dalam kasus Serbia, ICJ berpendapat setiap negara penanda tangan Konvensi Genosida PBB wajib mencegah kejahatan genosida, yang pada situasi tertentu memiliki kekuatan berperan dalam mengendalikan terjadinya genosida. “Dalam kasus saat ini, sulit untuk melihat Myanmar telah memenuhi kewajiban sesuai dengan konvensi tersebut,” ujar Rizwanul.
Pemerintah Myanmar bereaksi keras melihat perkembangan baru ini, terutama soal gugatan di ICJ. Myo Nyunt, juru bicara partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi, menyebutkan gugatan itu bagian dari konspirasi internasional yang “terorganisasi dan didanai dengan baik” untuk membangun daerah otonom bagi orang Rohingya di Myanmar. “Itu pelanggaran kedaulatan Myanmar sehingga kami tidak boleh menyerah,” katanya.
Militer Myanmar, yang juga didukung pemerintah, dengan keras menolak kesimpulan penyelidik PBB bahwa mereka melakukan genosida. Militer menilai operasi yang mereka lakukan terhadap kelompok Rohingya bersenjata di Negara Bagian Rakhine pada 2017 itu sah.
Dalam gugatan di ICJ, menurut Marzuki Darusman, hasil akhirnya berbeda dengan ICC dan pengadilan federal Buenos Aires. “ICJ lebih banyak terbatas pada ganti rugi bagi korban,” ujarnya. Namun, kata mantan Jaksa Agung Indonesia ini, putusan atas kasus yang diajukan Gambia di Den Haag bisa memberi dampak penting bagi proses hukum perkara Rohingya lainnya.
ABDUL MANAN (REUTERS, WASHINGTON POST, AL JAZEERA)
Ke Den Haag dan Buenos Aires
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo