Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LONDON – Angkatan Laut Inggris kemarin mulai mengawal kapal-kapal tanker yang melintasi Selat Hormuz. Tindakan ini dilakukan setelah sebuah kapal tanker berbendera Inggris disita oleh Garda Revolusi Iran (IRGC) beberapa waktu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Angkatan Laut Kerajaan telah ditugasi untuk menemani kapal-kapal berbendera Inggris melalui Selat Hormuz, baik secara individu maupun dalam kelompok, bila ada pemberitahuan yang cukup tentang perjalanan mereka," demikian pernyataan Kementerian Pertahanan Inggris, seperti dikutip The Washington Post, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kebebasan navigasi sangat penting untuk sistem perdagangan global dan ekonomi dunia, dan kami akan melakukan semua hal yang kami bisa untuk mempertahankannya."
Mengutip sumber-sumber industri pelayaran, kantor berita Inggris, Sky News, melaporkan kapal fregat tipe 23 HMS Montrose menjadi kapal Angkatan Laut Inggris pertama yang menawarkan pengawalan di jalur sempit.
Sejak insiden penyitaan kapal terjadi, Inggris berusaha memperketat perlindungan maritim bagi kapal-kapal komersial yang berlayar melalui Selat Hormuz, salah satu jalur pengiriman minyak dan gas utama global dari kawasan Timur Tengah.
London bahkan mengimbau kapal-kapal berbendera Inggris agar sebisa mungkin menghindari perairan itu untuk sementara waktu. Sebelum pengerahan HMS Montrose, Inggris sempat menyatakan tidak dapat mengawal seluruh kapal Inggris yang berlayar di perairan itu.
Asosiasi Pelayaran Perdagangan Inggris menyambut baik perubahan kebijakan ini. "Langkah ini akan memberikan peningkatan pengamanan terhadap komunitas pelayaran kami di tengah situasi dan kondisi yang tidak menentu ini. Bagaimanapun, kami akan terus mendorong agar semua pihak meminimalkan ketegangan di kawasan," kata Bob Sanguinetti, kepala eksekutif asosiasi tersebut.
Selama ini, 15-30 kapal komersial besar berbendera Inggris berlalu-lalang di kawasan Teluk setiap harinya. Dari belasan kapal tersebut, tiga di antaranya melewati Selat Hormuz, antara Iran dan Oman.
Pada 19 Juli lalu, sebuah kapal tanker berbendera Inggris, Stena Impero, disita oleh IRGC saat melewati Selat Hormuz. Iran mengklaim Stena Impero menggunakan jalur yang salah dan telah mematikan sinyalnya lebih lama dari yang diizinkan.
Namun, penyitaan itu secara luas ditafsirkan sebagai tanggapan terhadap aksi marinir Inggris yang ambil bagian dalam penyitaan sebuah kapal tanker berbendera Iran di dekat Gibraltar, wilayah luar Inggris.
Inggris mengatakan mengirim Marinir Kerajaan untuk naik dan mengambil kendali kapal tanker Grace 1 karena diduga mengangkut minyak ke Suriah. Tindakan ini dianggap telah melanggar sanksi Uni Eropa yang menargetkan pemerintah Suriah.
Sementara itu, pemerintah Jerman membantah laporan yang menyatakan negaranya tertarik untuk ambil bagian dalam upaya Eropa melindungi pengiriman komersial di Selat Hormuz. Usul ihwal misi perlindungan ini muncul di tengah ketegangan yang terus meningkat di Teluk Persia karena insiden penahanan kapal tanker berbendera Inggris oleh Iran.
"Masih terlalu dini untuk membicarakan kemungkinan bentuk partisipasi Jerman," ujar juru bicara pemerintah Jerman, seperti dikutip RT dan Reuters, kemarin. "Permintaan untuk partisipasi militer Jerman sejauh ini bukan subyek pembicaraan dengan Inggris dan Prancis."
Sebelumnya dilaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, menyatakan negara itu berminat untuk bergabung dengan misi tersebut. Namun, Kementerian Luar Negeri Jerman menyatakan bahwa terlalu dini untuk berbicara soal keterlibatan pasukan Jerman, yang masih membutuhkan pemungutan suara di parlemen untuk otorisasi.
Bantahan juga dikeluarkan Menteri Pertahanan Jerman yang baru, Annegret Kramp-Karrenbauer. Menurut dia, keterlibatan Jerman dalam misi itu bukanlah sesuatu yang sudah pasti. "Sekaranglah saatnya untuk diplomasi," ujar Kramp-Karrenbauer kepada wartawan, Kamis lalu. "Tidak ada persyaratan konkret untuk partisipasi dalam misi."
Rencana operasi pertahanan yang awalnya diusulkan oleh Inggris, yang telah mulai melaksanakan misi, mengikuti sejumlah konfrontasi antara Teheran, Washington, dan London di wilayah tersebut.
Sebelumnya, proposal untuk melindungi Selat Hormuz juga datang dari Amerika Serikat pada Juni lalu. Namun saat itu negara-negara Eropa tidak tertarik dengan ide tersebut. Selain Inggris, negara lainnya, seperti Prancis, Italia, Belanda, dan Denmark, sejauh ini menunjukkan minat untuk bergabung dengan misi tersebut.
Belum diketahui misi Eropa ini akan dikelola di bawah lingkup Uni Eropa atau sebagai usaha bersama di antara masing-masing negara. REUTERS | RT | THE WASHINGTON POST | SKY NEWS | SITA PLANASARI AQUADINI
Uji Coba Rudal di Tengah Pekan
Iran dilaporkan melakukan uji coba rudal balistik jarak menengah pada tengah pekan ini. Uji coba ini dilakukan di tengah ketegangan yang terjadi antara negara Teluk dan Barat. Seorang pejabat Amerika Serikat mengatakan Iran berhasil menembakkan rudal balistik jarak menengah, Shahab-3, yang terbang lebih dari 600 mil. Rudal tersebut diluncurkan dari bagian selatan negara itu ke daerah di luar ibu kota, Teheran, di utara.
"Kami mengetahui laporan tentang proyektil yang diluncurkan dari Iran, dan tidak memiliki komentar lebih lanjut saat ini," kata seorang pejabat senior pemerintah, seperti disitir dari Fox News, kemarin.
Tidak diketahui uji coba pada Rabu lalu melanggar sanksi terhadap Iran atau tidak. Kesepakatan nuklir 2015 tidak membahas program rudal konvensional Iran.
Ketegangan meningkat di Teluk dalam beberapa waktu terakhir. Panasnya situasi di Teluk dipicu oleh penarikan Amerika dari kesepakatan nuklir 2015 oleh Presiden Donald Trump. Langkah itu diikuti dengan penjatuhan sanksi terhadap Iran.
Insiden dalam beberapa pekan terakhir telah mengancam keamanan di selat itu, di mana seperlima dari seluruh minyak mentah yang diperdagangkan secara global melaluinya. Yang paling menonjol, pasukan Iran menembak jatuh drone pengintai milik Amerika di Selat Hormuz pada bulan lalu, yang diklaim telah melanggar wilayah udaranya.
Amerika Serikat juga meningkatkan kehadiran militernya di Timur Tengah dengan mengirimkan kelompok tempur kapal induk USS Abraham Lincoln, skuadron bomber B-52, ribuan personel pasukan, dan menyebar rudal Patriot. Hal itu dilakukan dengan alasan untuk menangkal serangan Iran terhadap fasilitas milik Amerika dan sekutunya di Timur Tengah. FOX NEWS | SITA PLANASARI AQUADINI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo