Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SHIV Kumari Yadav hampir saja kehilangan nyawa setelah menjalani operasi sterilisasi yang menjadi salah satu program keluarga berencana pemerintah India. Perempuan 27 tahun ini mendatangi salah satu klinik kesehatan di Desa Pendari, Distrik Bilaspur, Chhattisgarh, India timur, Sabtu tiga pekan lalu, untuk mengikuti operasi sterilisasi.
"Kami memutuskan tidak ingin punya anak lagi setelah si bungsu lahir," kata Yadav, menyebut alasan kesediaannya menjalani operasi sterilisasi, seperti dilansir The Guardian, Sabtu dua pekan lalu.
Setelah menjalani operasi, Yadav meminum pil antibiotik yang diberikan petugas klinik untuk mencegah infeksi. Bukannya segera pulih, Yadav justru mengalami kram perut dan muntah-muntah. Ia langsung dibawa ke rumah sakit Institute of Medical Science di Chhattisgarh dan beruntung nyawanya terselamatkan karena ditangani dengan cepat.
Yadav dan keluarganya tinggal di Desa Ghutgu, 16 kilometer dari Desa Pendari, tempatnya menjalani sterilisasi. Demi mendapatkan 1.400 rupee (sekitar Rp 280 ribu), ia rela berada di atas meja operasi selama empat menit dan hampir kehilangan nyawanya. Maklum, insentif itu jauh lebih besar dibanding pendapatan gabungan Yadav dan suaminya yang hanya sekitar Rp 48 ribu sehari dari pekerjaan mengangkut pasir, beton, atau batu bata di sebuah konstruksi di Kota Bilaspur.
Chhattisgarh termasuk negara bagian paling miskin di India. Populasinya 25 juta jiwa dan tiga perempatnya tinggal di daerah pedesaan yang terpencil. Dengan iming-iming insentif 1.400 rupee, 83 perempuan berusia di bawah 35 tahun berbondong-bondong mengikuti program sterilisasi dengan proses tubektomi (pengikatan saluran telur). Nahasnya, 15 di antaranya tewas dan lebih dari 50 lainnya dalam kondisi kritis.
Dokter R.K. Gupta, yang melakukan operasi, dan asistennya telah ditangkap polisi pada Rabu malam dua pekan lalu. Dokter bedah 59 tahun itu diketahui melakukan operasi tubektomi terhadap 130 perempuan di dua klinik pada 8-11 November lalu. Di salah satu klinik, Gupta mengoperasi 83 perempuan dalam waktu lima jam, yang artinya operasi hanya berlangsung rata-rata empat menit tiap pasien. Padahal, menurut pedoman medis pemerintah, dokter bedah hanya boleh melakukan 35 operasi sterilisasi sehari dengan waktu operasi 15 menit tiap pasien.
Gupta, yang pernah mendapat penghargaan pemerintah India atas rekor melakukan 50 ribu operasi sterilisasi selama kariernya, mencoba berdalih. "Ini bukan kesalahan saya. Aturan pemerintahlah yang menuntut saya untuk mencapai target," katanya kepada New Delhi Television.
Ia menyalahkan obat yang diberikan. "Gejala mulai tampak setelah mereka diberi obat," ujarnya. Menurut dia, petugas kesehatan memberikan ciprofloxacin dan ibuprofen setelah operasi.
Pemerintah India langsung membentuk tim khusus untuk menginvestigasi kasus itu. Hasil sementara, tim menemukan adanya unsur zinc phosphide dalam obat yang diberikan kepada pasien sterilisasi. Zinc phosphide merupakan bahan kimia yang sering digunakan untuk membuat racun tikus.
Kepala pemerintah Distrik Bilaspur, Siddhartha Pardeshi, mengatakan pemeriksaan awal atas obat antibiotik ciprofloxacin menemukan kandungan zinc phosphide. "Gejala yang ditunjukkan oleh para pasien sesuai dengan gejala keracunan zinc phosphide. Pasien mengalami mual, muntah, dan perdarahan," kata Pardeshi kepada Reuters.
Polisi lantas menyelidiki perusahaan farmasi Mahawar Pharmaceuticals dan membawa beberapa antibiotik ke laboratorium di Delhi dan Kolkata untuk memastikan kandungan bahan kimianya. Pemerintah setempat kemudian menyita 200 ribu tablet ciprofloxacin 500 mg dan lebih dari empat juta tablet lain yang diproduksi Mahawar. Manajer perusahaan, Ramesh Mahawar, dan putranya ditahan kepolisian sejak Jumat dua pekan lalu.
Kerry McBroom, pengacara Human Rights Law Network yang berbasis di New Delhi, mengatakan kualitas buruk pelayanan di pusat-pusat sterilisasi juga menjadi penyebab jatuhnya korban jiwa. McBroom sering mendapati klinik yang dipakai tak terjaga kebersihannya. "Banyak yang tak dialiri listrik, tak ada air, juga jumlah petugas yang tak memadai di fasilitas-fasilitas ini," kata McBroom, yang mengepalai divisi kelompok non-profit yang berfokus pada hak-hak reproduksi.
Heboh kasus kematian seusai operasi sterilisasi pernah terjadi pada 2012. Ketika itu 53 perempuan dari keluarga miskin dan kasta terendah dikumpulkan untuk menjalani sterilisasi. Tiga orang tewas karena perdarahan hebat dan seorang wanita yang sedang hamil tiga bulan mengalami keguguran.
Dengan jumlah penduduk 1,25 miliar, India merupakan negara berpenduduk terbanyak kedua di dunia setelah Cina. Menurut data sensus, penduduk India tumbuh 17,6 persen selama satu dekade hingga 2011. Rata-rata pertumbuhannya per tahun 1,6 persen. Dengan begitu, India diprediksi menjadi negara berpenduduk terbanyak di dunia pada 2030, mendekati 1,5 miliar jiwa.
Untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, pemerintah India melakukan berbagai upaya selama bertahun-tahun melalui program keluarga berencana. Dengan pertimbangan lebih murah dan efektif, operasi sterilisasi jadi metode yang paling sering dilakukan. Belakangan, dibayangi kecemasan terhadap kemungkinan menjadi negara dengan jumlah penduduk terlampau besar, program sterilisasi dengan cara tubektomi lalu dipilih.
Hal itu membuat perempuan, khususnya dari kelompok miskin di India, menjadi pihak yang menghadapi tekanan untuk menerima sterilisasi dengan insentif uang tunai. Abhijit Das, Direktur Pusat Keadilan Kesehatan dan Sosial di New Delhi, menyebut banyak anggota parlemen yang menganggap para perempuan miskin di pedesaan—tempat 850 juta penduduk India tinggal—sebagai "induk tak bertanggung jawab". Di beberapa negara bagian bahkan ada pemerintah yang menggunakan lotre: perempuan yang setuju disterilisasi bisa mendapatkan mobil dan kulkas.
Menurut laporan Associated Press, sepanjang 2011-2012, ada 4,6 juta perempuan India yang melakukan operasi sterilisasi. Tapi, selama tiga tahun sejak 2010, sudah 336 perempuan tewas setelah menjalani sterilisasi. Sebagian besar operasi dilakukan antara November dan April, sehingga periode itu dijuluki "musim sterilisasi".
Menurut Das, permintaan sterilisasi yang meningkat luar biasa pesat hanya berarti satu: antrean di klinik-klinik bisa sangat panjang, pasien bisa sampai berbaring di lantai. Dokter pemerintah bisa mengoperasi sampai 13 ribu orang per tahun, seperti dokter Gupta. "Pada dasarnya itu mirip peternakan sapi, sangat tak manusiawi," katanya.
Tragedi di Chhattisgarh dinilai tak hanya memprihatinkan, tapi juga menggarisbawahi posisi marginal perempuan di India. Sebuah kelompok hak asasi manusia di Mumbai menilai kejadian itu merupakan contoh pelanggaran serius terhadap pedoman medis, juga represi brutal terhadap hak reproduksi dan kesehatan perempuan di India. "Perempuan tak diberi tahu tentang pilihan kontrasepsi yang mereka ambil. Padahal itu hak mereka, untuk mengetahui bahwa ada metode lain," kata Sona Sharma, Direktur Advokasi Yayasan Population Foundation of India, kepada Associated Press.
Sebelum sterilisasi menjadi fokus utama pemerintah, beberapa negara bagian di India berhasil menahan laju pertumbuhan penduduk melalui peningkatan pendidikan bagi perempuan dan peningkatan kesempatan kerja bagi perempuan. Negara Bagian Kerala sukses menekan laju pertumbuhan penduduk karena 90 persen perempuan di sana sudah melek huruf. Namun langkah menekan laju populasi melalui peningkatan pendidikan pada perempuan dianggap membutuhkan waktu sangat lama, sehingga dipilihlah sterilisasi.
Tahun ini pemerintah India menargetkan 220 ribu warganya disterilisasi. Di Distrik Bilaspur, dipatok 15 ribu operasi. Untuk mencapai target itu, pemerintah menekan para dokter dan petugas kesehatan. "Saat akhir tahun, kami akan dinilai berdasarkan berapa banyak sterilisasi yang telah kami lakukan," kata Dr M.A. Rashid, yang berpraktek di klinik Sonhoula, Negara Bagian Bihar. "Pemerintah tidak mau ada alasan."
Sebenarnya program sterilisasi sudah dijalankan di India sejak 1970. Ketika itu Perdana Menteri Indira Gandhi mewajibkan pria yang telah memiliki dua anak menjalani sterilisasi melalui vasektomi. Namun lama-kelamaan sterilisasi justru mengarah ke kaum perempuan. Kurang dari satu persen pria yang memilih menjalani vasektomi. Padahal pemerintah memberikan insentif uang tunai lebih tinggi dibanding perempuan, yakni 2.000 rupee.
"Mereka khawatir akan kehilangan kejantanan. Angka kompensasi itu tidak akan menarik mereka untuk menjalani vasektomi," kata Sona Sharma.
Menurut dia, pemberian insentif berupa uang tunai merupakan bentuk pemaksaan terhadap perempuan untuk menjalani sterilisasi. "Terutama ketika Anda berurusan dengan masyarakat yang terpinggirkan," ujarnya.
S.K. Sikdar, Kepala Program Pengendalian Populasi Nasional di Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga India, menolak tudingan perempuan dipaksa melakukan operasi sterilisasi di kamp-kamp yang ditunjuk. "Tidak ada tekanan. Sterilisasi adalah salah satu cara mengurangi populasi, tapi kami juga mempromosikan metode pengendalian kelahiran yang lain," katanya.
Kepala Menteri Negara Bagian Chhattisgarh, Raman Sing, berjanji menyelidiki penyebab tewasnya puluhan pasien sterilisasi. Ia juga mengatakan akan menyelidiki kehigienisan ruang operasi, pelaksanaan pedoman keselamatan oleh dokter ataupun petugas yang terlibat, dan memeriksa kebenaran tercemarnya bahan kimia pembuat racun tikus pada antibiotik.
Rosalina (Reuters, Associated Press, The New York Times, Times of India, The Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo