Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lahan Hilang, Badan di Penjara

Seorang pengusaha properti merasa menjadi korban kriminalisasi rekan bisnisnya. Nama bekas Kepala Polri Sutanto disebut-sebut.

24 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIA itu mengisap rokok kreteknya dalam-dalam, lalu perlahan-lahan asapnya dia embuskan. Hari itu, Selasa dua pekan lalu, suasana penjara Cipinang cukup ramai. Jam besuk baru saja mulai. "Seharusnya saya keluar dari penjara Mei lalu," ujar Jufri Zubir, 53 tahun, pria itu.

Di "kampung halaman"-nya, Pekanbaru, nama Jufri cukup populer di kalangan pengusaha properti. Selain menjadi pengusaha, dia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau. Oktober 2013, Jufri mendekam di Penjara Bangkinang, Kampar, Riau, setelah Mahkamah Agung menolak upaya hukum peninjauan kembalinya pada Februari 2013.

Sebelumnya, di Pengadilan Pekanbaru, Jufri divonis tiga bulan penjara. Di tingkat kasasi, hukuman itu naik jadi satu setengah tahun. Ia berurusan dengan hukum karena tersangkut perkara lahan seluas 2,9 hektare di Pekanbaru.

Menurut kuasa hukum Jufri, Sukma Bambang Susilo, sebenarnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah mengeluarkan surat persetujuan pembebasan bersyarat kliennya pada 25 April 2014. "Tapi, akhir Mei, Kementerian membatalkan pembebasan itu," kata Sukma.

Dasar pembatalan itu tak lain sepucuk surat tertanggal 7 Mei 2014 dari Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya. Kepolisian memberitahukan bahwa Jufri menjadi tersangka "baru" kasus lain. Dia pada Maret 2013 dilaporkan Victory J.T. Mandajo melakukan penipuan dan penggelapan.

Kasusnya bermula ketika Jufri menjadi perantara penjualan lahan antara Victor sebagai calon pembeli lahan dan Arthur, pemilik lahan seluas 11 hektare, di Rumbai, Pekanbaru. Lewat Jufri, Victor menyerahkan uang muka Rp 2 miliar dari harga total Rp 10 miliar. "Ada bukti kuitansi pembayaran uang muka," ujar Sukma. Victor kemudian membatalkan pembelian dan menagih uang muka. Karena Jufri dan Arthur tak mampu membayar, Victor melapor ke polisi. Dengan alasan sulit melakukan pemeriksaan, polisi memindahkan Jufri ke penjara Cipinang.

Sukma mengatakan kliennya semestinya bebas karena pada 25 Agustus lalu telah ada kesepakatan perdamaian dengan Victor. Dalam dokumen yang ditunjukkan kepada Tempo disebutkan bahwa Victor menerima Rp 200 juta dan sisa uangnya, Rp 1,8 miliar, akan dibayarkan Arthur setelah menjual lahannya di Rumbai. Kesepakatan Jufri, Arthur, bersama Victor ini diwakili masing-masing kuasa hukum. Di samping membuat kesepakatan damai, pengacara Victor mencabut laporan pengaduannya.

Tapi itu semua tak membuat Jufri bebas. Polisi terus memproses kasus ini. Pada 1 Oktober 2014, berkas Jufri dilimpahkan ke kejaksaan. Kepada Tempo, Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Heru Pranoto memberi alasan kenapa perkara ini terus "maju". Menurut dia, selain perkara ini bukan delik aduan, surat perdamaian datang telat. "Disampaikan setelah penyidik tiga kali mengirim berkas perkara ke kejaksaan," kata Heru.

Tapi Jufri melihat ada "sesuatu" di balik ini semua. "Ada yang tidak ingin saya keluar dari penjara," ucapnya. Jufri lalu menunjuk perkara lain yang kini juga menimpanya dan tengah ia lawan: kasus tanah miliknya seluas sekitar lima hektare di "kawasan emas", Jalan Sudirman, Pekanbaru.

Di atas tanah itu kini dibangun kondominium dan hotel. Lahan itu sekarang dikuasai orang lain, yang sebelumnya pernah berkongsi dengannya. "Kalau saya di penjara, saya tak bebas menuntut hak saya," kata ­Jufri. Ia mengaku telah dikriminalisasi.

l l l

Jufri ingat pertemuan pertamanya dengan Onny, rekan bisnis yang kemudian jadi seterunya itu, pada November 2011 di Jalan Pinang Perak, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Itu kediaman Jenderal Purnawirawan Sutanto, mantan Kepala Polri. Jufri hadir di sana karena perkenalannya dengan Datuk Zamzani, pejabat Malaysia, yang menurut dia teman Sutanto. "Itu pertama kali saya bertemu dengan Pak Sutanto," katanya.

Kepada Sutanto, Jufri menceritakan rencananya membangun bisnis properti di Pekanbaru. Ia menyatakan memiliki lahan di Riau lewat hasil lelang Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 2004. Pada Juli 2011, dia mendirikan perusahaan bernama PT Mitra Nusa Graha dengan menggandeng Tarman Azzam.

Menurut Jufri, setelah berkenalan, pertemuan dilanjutkan dengan kunjungan ke lokasi lahannya. Sutanto, Onny, dan Tarman juga ikut. "Ada foto kunjungan itu, tapi dokumen tersebut masih belum kami temukan," ucap Eko, keponakan Jufri. Onny-lah, menurut Jufri, yang kemudian mengenalkan dia dengan pihak PT Panghegar Kana Legacy.

Soal pertemuan dengan Jufri ini, Sutanto tidak bisa dimintai klarifikasi. Surat permintaan wawancara Tempo sejak dua pekan lalu belum dijawab. Pertanyaan dan permintaan wawancara lewat pesan pendek juga tak dijawab. Kepada Tempo, seorang karyawan Onny menyebutkan itu bisa saja sekadar klaim Jufri. "Siapa yang tak kenal Pak Sutanto?" katanya.

Pada 16 Januari 2013, dibuat surat perjanjian kerja sama antara Jufri dan Onny untuk membangun pusat belanja, kondominium, dan hotel. Dari lahan seluas 5,2 hektare yang dimiliki Jufri, hanya 3,1 hektare yang berada dalam satu hamparan. Jufri dan Onny sepakat membebaskan lahan tambahan seluas 1,2 hektare, sehingga luas proyek properti 4,4 hektare.

Dalam perjanjian disebutkan keduanya sepakat menyerahkan lahan seluas 4,4 hektare kepada Panghegar Kana Legacy dengan kompensasi kerja sama senilai Rp 100 miliar. Kompensasi kerja sama ini di antaranya untuk membayar utang Mitra Nusa Graha di Bringin Srikandi Finance sebesar Rp 23,4 miliar dan angsuran pembayaran Rp 4,2 miliar. Sebelumnya, Jufri memang pernah meminjam Rp 25 miliar, tapi kemudian dia gagal membayarnya. Di luar itu, dana kompensasi tersebut juga untuk membayar pembebasan lahan Rp 6,5 miliar dan sejumlah utang lain Jufri yang nilainya Rp 7,8 miliar plus "imbalan" untuk Panghegar Rp 10 miliar.

Lantas berdirilah PT Panghegar Pekanbaru Permai. Komposisi sahamnya: 45 persen PT Mitra Nusa Graha dan 55 persen Pang­hegar Group. Melalui Mitra Nusa Graha, Jufri dan Onny masing-masing memiliki saham 22,5 persen di PT Panghegar Pekanbaru Permai. Untuk menjalankan usaha ini, Onny dan Jufri lalu menunjuk wakilnya. Jufri menunjuk Tommy Karya dan Onny menunjuk Syaiful Tri Putranto. Adapun Panghegar diwakili direkturnya, ­Cecep.

Pekan lalu, Tempo menemui Syaiful Tri Putranto; Tarman Azzam, selaku salah satu komisaris PT Mitra Nusa Graha; dan Arif Rahman, anggota staf Onny. Ketiganya memberi penjelasan, tapi minta itu tak ditulis. Kepada Tempo, mereka menyerahkan sejumlah dokumen perihal bisnis yang kini dipersoalkan Jufri.

Menurut dokumen itu, pada 5 Agustus 2013, Jufri membuat perjanjian dengan Syaiful Tri Putranto melepas 44,5 persen saham di PT Mitra Nusa Graha. Uang pembayaran di muka sebesar Rp 1 miliar diterima Jufri dalam dua kali pembayaran pada Agustus 2013.

Dalam dokumen itu tertulis, pada kesepakatan jual-beli saham tersebut, nilai saham Jufri ditentukan berdasarkan hasil penghitungan kantor akuntan yang ditunjuk Jufri. Dari hasil audit itu, akuntan Rasin, Ichwan & Rekan menghitung nilai pelepasan saham itu sebesar Rp 5,4 miliar.

Salah satu klausul juga menyebutkan perjanjian pelepasan saham itu tak bisa dibatalkan. Bahkan perjanjian jual-beli saham itu dapat dipergunakan sebagai dasar pelaksanaan rapat umum pemegang saham PT Mitra Nusa Graha. Dan, di sini, Jufri sudah memberikan surat kuasa kepada Tommy Karya untuk mengeksekusi jual-beli saham.

Walhasil, menurut Jufri, akibat ini semua, ia rugi. Dia praktis juga terdepak dari perusahaan yang ia dirikan sekaligus kehilangan lahannya, yang diambil alih hanya dengan "pembayaran" yang nilainya di bawah yang disepakati, Rp 100 miliar.

Jufri kemudian melawan. Ia melaporkan Tommy Karya ke Polda Riau pada 30 September 2013. Tudingannya: Tommy menggelapkan duit PT Mitra Nusa Graha sebesar Rp 97,3 miliar. Menurut Sukma Bambang Susilo, dasar pengaduan itu, selama ini sebagai pemegang kuasa, Tommy tak pernah terbuka atas proses bisnis yang berjalan. Hitungan penggelapan Rp 97,3 miliar itu karena Jufri selama ini hanya menerima Rp 2,7 miliar. "Kuitansi atau dokumen terkait dengan transaksi tak pernah diberikan," ujar Sukma.

Tapi laporan ini kandas. Pada 15 September lalu, polisi mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). "Unsur pidananya tidak cukup bukti," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Riau Komisaris Besar Arif Rahman.

Jufri tak menyerah. Ia bertekad mengambil lahannya kembali yang praktis kini sudah berpindah tangan. "Saya akan mengajukan praperadilan atas SP3 itu," tuturnya. Dia juga berharap Sutanto meluruskan persoalan yang dihadapinya. "Dia yang mengenalkan saya dengan Onny dan kawan-kawan." Menurut Jufri, dengan berbagai jalan ia berupaya menemui Sutanto. Salah satunya dengan menyuruh sang istri mendatangi rumahnya, tapi selalu gagal.

Yuliawati, Febriyan, Riyan Nofitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus