Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ke asia, dengan patricia derian

Patricia derian, pembantu menlu as urusan hak asasi manusia berkunjung ke indonesia. kaskopkamtib sudomo, menkeh mochtar dan adnan buyung nasution dalam rangka diplomasi carter "mengetuk hati". (ln)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISA-BISA Presiden Jimmy Carter sedang menjalankan sebuah diplomasi yang berjudul mengetuk hati. Atau, kalau tidak, menyinggung perasaan". Pekan lalu ke Jakarta misalnya datang Ny. Patricia Derian pembantu menteri luar negeri urusan hak-hak asasi manusia dan perikemanusiaan. Dengan pakaian sederhana dan tanpa rias, Ny. Derian, 48 tahun--yang oleh bawahannya cuma dipanggil Pat - memang tak nampak sebagai seorang pengusut atau inspektur jenderal. Tapi para pemimin negeri lain belum tentu enak untuk menerimanya. Ia tak jadi ke Korea Selatan karena Presiden Park mengatakan masuk angin. Di Jakarta toh ia berhasil bertemu dengan Presiden Soeharto, Kaskopkamtib Sudomo, Menteri Kehakiman Mochtar, para penyeru hak-hak asasi seperti pengacara Adnan Buyung Nasution, dan mengunjungi rumah tahanan di Salemba, Jakarta. Waktunya baik. Beberapa minggu sebelumnya 10.000 tahanan G-30-S/PKI dibebaskan, dan dalam rencana dua tahun kemudian semuanya bisa lepas. Pat Derian menyatakan gembira. Ia sendiri sempat bertemu dengan beberapa bekas tahanan. Siaran persnya yang dibagikan beberapa belas menit sebelum ia berangkat, penuh dengan penghargaan kepada Indonesia. Tapi ia katakan juga bahwa ia jadi sedih oleh pengalamannya melihat tahanan di Salemba. Apa maksudnya? Kalimat itu sudah menyatakan apa maksudnya, jawabnya. Namun apa itu sebenarnya belum persis benar--seperti halnya politik luarneBeri Carter sendiri, ketika ia memberi tekanan pada masalah hak-hak asasi. Di Manila seorang pongacara menanyakan tidakkah politik Cartor itu cuma senjata ideologis buat menghadapi Uni Soviet. Pat Derian menjawab bukan. Ia, dengan semangat seorang idealis, menyatakan akan mengundurkan diri pada saat ia ketahui bahwa komitmen Carter kepada hak asasi manusia ternyata tak sungguh-sungguh. Derian memang bukan dari kalangan birokrasi Departemen Luar Negeri AS. Semangatnya tinggi dan buat sementara diplomat AS sendiri mungkin agak terlampau berapi-api. Pat Derian, lulusan Universitas Virginia jurusan Perawatan, adalah orang yang diangkat Carter bukan dari kalangan yang berkecimpung dalam diplomasi dan kenyataan-kenyataan negeri asing. Pengalamannya hanya dalam gerakan untuk hak-hak warganegara di AS. Adakah Derian datang untuk me-lobby pemerintah lain supaya lebih menghormati hak-hak individu warganegara? Bisakah seorang pejabat tinggi negara pemberi bantuan seperti AS datany untuk tujuan itu tanpa memberi kesan bahwa ia sedang inspeksi atau mendesak? Dalam sebuah wawancara Derian menjawab, bahwa mustahil buat AS untuk memaksa pemerintah lain mengubah praktek-prakteknya. Di Jakarta ia menyatakan pula: AS tak mencoba memaksakan pandangannya pada orang lain. Meskipun begitu atas pertanyaan wartawan TEMPO Fikri Jufri ia mengakui bahwa rakyat AS, melalui wakil mereka di Kongres, ingin agar bantuan negeri itu diikatkan dengan usaha AS dalam meningkatkan penjagaan hak asasi di negeri lain. Hanya ditegaskannya bahwa bantuan Pangan akan bebas dari ikatan semacam itu. Kami tak akan merenggutkan makanan dari orang yang lapar, atas nama hak asasi. Tapi ketentuan baru toh dicantumkan, agar pangan itu benar sampai kepada rakyat yang kelaparan. Syarat ini lebih lunak ketimbang syarat bantuan militer, yang tak akan diberikan kepada negara di mana terdapat masalah hak asasi manusia yang gawat. Agaknya, seperti Presiden Woodrow Wilson 60 tahun yang lalu lihat box), Carter dan para pembantunya, dengan nafas moralisme yang kuat, mencoba mengubah dunia. Kita tak bisa memiliki sebuah dunia di mana orang jadi korban oleh keadaan dan pemerintah mereka sendiri, kata Pat Derian. Itu memang bukan tekad baru bagi AS. Di tahun 1898 AS, atas nama moral, membebaskan pejuang kemerdekaan Kuba dari tindasan Spanyol. Tapi pembebasan Filipina dari Spanyol ternyata disertai kekejaman tentara AS sendiri terhadap penduduk. Dan di masa Eisenhower dan Menteri Luarnegeri Dulles, AS jadi semacam polisi dunia untuk menjaga dunia bebas dari komunisme. Tapi akhirnya adalah sebuah Vietnam yang juga dikutuk. Mungkin karena moral adalah seperti cahaya. Ia bisa menerangi tapi juga bisa memerangi, tapi bisa juga menyilaukan. Terutama bila ia kita lihat di cermin, dengan rasa kagum pada diri sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus