MINGGU ini tepat 60 tahun umur sebuah pidato terkenal dari
seorang presiden AS yang terkenal. Amerika, di bawah Jimmy
Carter, punya alasan khusus untuk memperingatinya. Sebab Woodrow
Wilson (1856-1924), dengan pidatonya 18 Januari yang termashur
sebagai Fourteen Points (Empat belas Pasal), punya banyak
persamaan dengan Carter.
Seperti Presiden AS yang sekarang, presiden ke-28 yang memimpin
AS melewati Perang Dunia I itu juga seorang yang ingin mendasari
politik luarnegerinya dengan semacam garis moral. Seperti
Carter, Wilson juga dibesarkan di bagian Selatan. Lahir di
Staunton Virginia, 28 Desember 1856, Wilson tumbuh di Georgia
dan South Carolina --seraya menyaksikkan pedihnya sisasisa
Perang Saudara dan masa Rekonstruksi. Seperti Carter, ia sangat
religius: ia dibentuk oleh ayahnya, seorang pendeta Prebysterian
dengan karakter kukuh.
Yang masih jadi pertanyaan adakah kelak Carter akan seperti dia:
seorang yang begitu yakin akan niat baiknya, tapi kemudian
gagal. Wilson, dengan sikap keras seorang Protestan Calvinis
yang kurang faham akan kelemahan dan kondisi manusia, pada
akhimya terbentur.
Bebas dan Aktif
Cerita terkenal tentang sikap moral Wilson di dalam politik luar
negeri terjadi menjelang dan sesudah Perang Dunia I. Perang
sudah pecah di Eropa terutama antara Perancis dan Inggeris
melawan kekaisaran Jerman. Tapi seperti ditekankan Presiden
Wilson pada tanggal 4 Agustus 1914, AS bersikap netral. Dan
ternyata politik luarnegeri bebas dan aktif bukan penemuan asli
Indonesia, sebab dalam posisi tak memihak dan bebas dari
persekutuan dengan kubu mana pun, Wilson juga aktif mengusahakan
perdamaian. AS menentang blokade laut yang dilakukan Inggeris,
tapi juga memperingatkan Jerman ketika yang terakhir ini
melakukan perang kapal selam dan tak melindungi keselamatan
kapal negara netral.
Tapi 7 Mei 1915 kapal penumpang Inggeris Lusitania
ditenggelamkan kapal selam Jerman, 1000 orang tenggelam - di
antaranya 128 orang Amerika. Wilson kini lebih tegas lagi:
diperingatkannya agar Jemman tak menggunakan kapal selamnya
terhadap kapal dagang tanpa menyediakan jalan bagi keselamatan
awak kapal dan penumpangnya. Dari peringatan ini masih tampak
bahwa Wilson tak menghendaki negaranya ikut bertempur. Ada juga
sebuah bangsa yang terlalu bangga untuk berkelahi,
katanya--untuk menegaskan bahwa sikap damainya bukanlah sikap
pengecut.
Pendeknya bagi Wilson, perang harus sejauhjauhnya dihindari,
walaupun ia bisa mengirimkan surat protes yang sangat keras
kepada Jerman. Begitu keras surat itu, hingga Menteri Luar
Negerinya sendin, Bryan, seorang penentang perang yang tangguh,
mengundurkan diri. Tapi buat beberapa lama garis Wilson
berhasil. Jerman patuh pada peringatan AS, tanpa AS menggunakan
kekuatannya. Setelah dipilih kembali di tahun 1916, dengan
kemenangan tipis, Wilson meneruskan ikhtiarnya mendamaikan
Eropa. 22 Januari 1917, ia berpidato menyerukan perdamaian di
bawah sebuah Liga Bangsa-Bangsa, seraya mengusulkan pembatasan
persenjataan. Thema pidatonya adalah perdamaian, tanpa
kemenangan.
Tapi akhirnya perdamaian harus lahir dulu lewat kemenangan.
Jerman berniat menggiatkan kembali perang kapal selamnya, dengan
harapan bahwa suatu kemenangan akan memberikan posisi yang lebih
baik di meja perundingan perdamaian nanti. Dutabesar Jerman di
AS, von Bernstroff, mencoba membujuk pemerintahnya agar tak
menimbulkan permusuhan dengan AS. Tapi Kaisar Wilhelm memllis
bagaikan menantang: Bila Wilson ingin perang, biar dia lakukan
itu dan biar kemudian ia rasakan itu. Di awal April 1917,
didesak oleh opini rakyat yang gemuruh, Wilson menyatakan perang
kepada Jerman.
Meskipun AS sebetulnya tak siap untuk berperang, tapi perang itu
adalah perang yang didukung luas oleh rakyat AS, dan didukung
oleh keyakinan moral: bahwa perang kali ini adalah untuk
kemerdekaan - juga kemerdekaan bangsa Jerman sendiri dari
belenggu para pemimpinnya. Dan Wilson bisa memimpin negaranya
sedemikian rupa hingga perang berakhir baik bagi AS. Menjelang
kemenangannya, pasal-pasal perdamaian Wilson, yang 14 buah itu,
dicanangkan. Dengan semangat memberikan keadilan juga bagi musuh
dalam seruan Wilson itu, tak banyak alasan bagi Jerman buat
menolaknya--ketika negeri ini di awal Oktober 1918 sudah di
ambang kekalahan total.
Tapi Inggeris dan Perancis yang menang tidak mudah rupanya
memberi keadilan bagi bekas musuh kepedihan mereka terancam
Jerman begitu membekas. Jerman terpaksa meneken perjanjian
Versailles dengan telanjang untuk dilucuti, seperti hendak
disisihkan dari peta politik Eropa. Hitler kemudian muncul
membalas dendam atas penghinaan ini. Beberapa belas tahun
kemudian, perang lebih besar berkecamuk lagi di Eropa dan di
seluruh dunia. Harapan perdamaian abadi Wilson gaga. Dendam dan
rasa mementingkan diri belum bisa terkikis. AS sendiri tak jadi
ikut Liga Bangsa-Bangsa. Badan pendahulu PBB itu pun gagal.
Dunia memang ternyata tak bisa jadi lebih baik dengan sekali
pukul. Wilson, yang mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian 1919,
mungkin kecewa pada kenyataan itu di akhir hidupnya. Tapi
agaknya para moralis memang dituntut rendah hati juga kepada
proses sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini