Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kekerasan melahirkan demokrasi

Awal pekan ini, sebuah negeri multiras dan demokrasi baru lahir. tantangan utama pemerintahan mandela adalah demo dari orang kulit hitam. pemilu disambut dengan kekacauan dan kekerasan. perang saudara sudah mengancam.

30 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAWAI dan kampanye telah berakhir. Selasa pekan ini, 22,7 juta rakyat Afrika Selatan berbondong-bondong menuju bilik pemungutan suara. Inilah kemenangan besar bagi demokrasi dan persamaan hak manusia. Setelah lebih dari seratus tahun dicengkeram oleh tirai apartheid yang menimbang derajat manusia dari warna kulitnya, Afrika Selatan akan kembali menjadi normal seperti layaknya sebuah negara beradab. Dari 27 partai yang akhirnya ikut bertanding, Partai Kongres Nasional Afrika (ANC) milik Nelson Mandela tampaknya bakal menjadi juara. Artinya, kursi kepresidenan Afrika Selatan bakal diduduki Mandela, seorang warga suku Xosha yang berkulit hitam legam. Untuk pertama kalinya orang hitam akan memerintah sendiri negeri yang diwariskan dari nenek moyangnya ribuan tahun lalu. Kelihatannya indah. Tapi sebuah pertanyaan besar sekarang menggayut di benak semua orang, siapkah Afrika Selatan menerima sebuah perubahan yang sangat radikal ini? Ketua pusat studi Afrika Selatan, di Johannesburg, Eugene Nyati, punya satu dalil, "Setelah berhasil dalam revolusi, belum tentu (orang hitam) berhasil menjamin keadilan dan keamanan." Sejauh ini, keadaan negeri yang diwariskan rezim Presiden F.W. De Klerk sungguh jauh dari sempurna. Pemerintah baru harus menghadapi berbagai masalah, seperti ekonomi yang terancam berantakan dan perpecahan politik yang bisa sewaktu-waktu meletus jadi perang saudara. Maklum, tak semua pihak puas dengan bubarnya sistem apartheid. Ancaman paling besar bagi pemerintahan Mandela tampaknya bakal datang dari ekstremis kulit putih yang sudah berniat mengobarkan perang. Pasukan tentara paramiliter Afrikaner Weerstandsbeweging (AWB) seperti kembali ke zaman 150 tahun yang lampau. Mereka memasang pagar kawat berduri di sekeliling permukiman ekstremis putih, jalan-jalan diblokade, dan menara pengintai bersenjata lengkap juga didirikan, mengingatkan orang pada perang melawan suku Zulu pada masa awal pendudukan pendatang kulit putih. Jelas, kelompok ini memboikot pemilu, bahkan berniat mengadakan aksi-aksi pengacauan pada hari pemilu maupun seterusnya. Komandannya, Eugene Terre Blanche, terang-terangan mengancam, "Kami akan melakukan perang gerilya terhadap pemerintah baru." Ancaman ini bukan gertak sambal belaka. Tentara AWB adalah kelompok bersenjata terkuat di antara masyarakat konservatif kulit putih. Sudah terbukti mereka tak mengenal belas kasihan. Beberapa bulan lalu, anggotanya menghentikan sebuah bus yang membawa pekerja kulit hitam, tak jauh dari Johannesburg. Satu per satu, semua penumpang bus yang berjumlah 15 orang itu ditembaki. Cuma tiga hari menjelang pemilu, jaringan pipa minyak di Orange Free State -- tempat permukiman kulit putih - meledak, mengobarkan tiang api setinggi 150 meter. Tampaknya, tak ada tersangka lain kecuali kaum ekstremis putih ini. Tampaknya, tentara Afrika Selatan mesti bersiap berperang dari sekarang. Sebab, tuntutan kaum ekstremis putih ini tak mungkin dipenuhi Mandela. Dari semula mereka menginginkan sebuah negara terpisah, khusus untuk orang kulit putih dan bebas dari penduduk hitam. Aspirasi ini sebenarnya sudah terwakili oleh Partai Front Kebebasan yang dipimpin oleh bekas Panglima Angkatan Bersenjata Afrika Selatan, Jenderal Constand Viljoen, yang beranggapan bahwa keinginan itu mesti diperjuangkan lewat jalur yang konstitusional. Maka, Jendral Viljoen pun ikut pemilu dan diperkirakan bisa menangguk sedikitnya lima persen suara. Tetapi tak sedikit puak kulit putih yang tak sabar dan menginginkan jalan kekerasan. Seandainya Mangosuthu Buthelezi, Ketua Partai Kebebasan Inkatha, tetap memboikot pemilu, tak bisa dibayangkan betapa sulitnya jalan yang harus ditempuh Mandela. Selain perang melawan ekstremis kulit putih tadi, akan ada pula perang saudara antara hitam dan hitam yang terjadi di Provinsi KwaZulu, Natal, basis utama Partai Inkatha. Untunglah, pada detik-detik terakhir, Buthelezi setuju ikut dalam pemilu setelah pemerintah pusat bersedia menjamin otonomi buat Kerajaan Zulu. Namun, belum berarti persoalan selesai. Perseteruan antara Mandela dan Buthelezi tampaknya akan berlanjut. Sabtu pekan lalu Buthelezi menuding Mandela berniat curang dalam pemilu. "Saya prihatin, saya tak tahu seberapa jauh pemilu akan berjalan secara jujur dan adil," keluhnya. Itu sebabnya, pagi-pagi ia sudah menyatakan niatnya untuk menolak bergabung dengan pemerintah baru Afrika. Persoalan pelik di pentas politik ini, seperti biasa, muncul di jalanan dalam bentuk kekerasan yang penuh darah. Kekerasan merajalela tanpa pandang bulu, hitam atau putih. Robert Makgatho dan Wilhelm Verwoerd adalah dua orang yang berbeda ras dan latar belakang. Makgatho, seorang guru berkulit hitam namun mendukung Partai Nasional punya Presiden De Klerk. Padahal, ia cucu almarhum Sefako Mapogo Makgatho, salah seorang pendiri dan presiden pertama ANC. Sedangkan Verwoerd berkulit putih dan dosen ilmu filsafat di Universitas Stellenbosch, dekat Kota Cape Town. Verwoerd sekarang malah menjadi suporter ANC, padahal ia cucu almarhum Hendrik Verwoerd, perdana menteri Afrika Selatan tahun 1958. Tokoh Partai Nasionalis itu dikenal sebagai pembentuk utama apartheid. Keduanya sudah muak dengan kekerasan, namun sebagai korban mereka tak berdaya. Kepada TEMPO, Verwoerd minta agar wawancara dilakukan di rumahnya. Sebab, tak ada yang menjaga kedua anaknya, sementara istrinya bertugas di luar. "Hidup kami terancam terus oleh kelompok ekstrem orang kulit putih," katanya. Sedangkan Makgatho sering diserang oleh sesama orang kulit hitam. Rumahnya sudah dua kali terkena molotov cocktail, bom bakar yang terbuat dari botol yang diisi serbuk gergaji dan bensin. Kekerasan di Afrika Selatan memang sudah membudaya. Situasi ini diperburuk dengan kepemilikan senjata yang sangat merakyat. Tak peduli orang hitam, putih, apa pun partainya, senjata adalah teman paling akrab. Orang kulit hitam gemar senjata buatan lokal atau sisa-sisa "perang gerilya" dulu. Yang paling populer adalah senapan AK-47 yang sangat ampuh. Ketika polisi melarang senapan dibawa-bawa dalam kampanye, para demonstran beralih membawa parang, tombak, dan pisaunya. Menjelang lahirnya demokrasi, Afrika Selatan saat ini malah semakin terjerumus ke dalam anarki. Kekerasan politik kini makin sulit dibedakan dengan kriminalitas. Perampokan, penodongan, dan pembunuhan meningkat terus. Menurut data Lembaga Studi Antar-Ras Afrika Selatan (LSARA), angka kriminalitas meningkat 100 persen sejak 1991. Saat itulah, Nelson Mandela keluar dari penjara dan partai-partai politik orang kulit hitam, termasuk ANC, dibolehkan beroperasi kembali. Bisa jadi, ada kaitan antara kenaikan jumlah kejahatan itu dan pembebasan hak-hak politik orang kulit hitam. Yang jelas, menurut Kane-Berman dari LSARA, kemiskinan dan pengangguran adalah faktor penting. Repotnya, soal yang satu ini tak bisa lepas dari urusan politik. "Kan keadaan itu pada dasarnya adalah warisan sistem apartheid," kata Kane-Berman. Dan ia tak yakin, suasana rusuh ini bisa reda dalam waktu dekat. Tak semua pihak punya gambaran suram. ANC masih optimistis bahwa demokrasi akan tegak bersama dengan ketertiban setelah pemilu usai. Mudah-mudahan optimisme ANC ini benar. Soal kekacauan yang sekarang terjadi mungkin bisa disamakan dengan sakitnya seorang ibu dalam proses kelahiran. Sakit itu tak akan terasa lagi bila bayi demokrasi yang dilahirkan betul-betul sehat dan tumbuh kuat. Mudah-mudahan. Yuli Ismartono (Johannesburg), dan YH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus