SUASANA duka masih terasa di Desa Kasikan, Kabupaten Kampar, Riau, hingga pekan ini. Tengoklah, nasib Zainal, 50 tahun, yang terbaring lemah di gubuknya. "Saya susah bernapas," katanya kepada TEMPO. Punggung dan dadanya sakit. Yang lebih mengenaskan adalah Misran, 36 tahun. Empat tulang rusuknya patah dan di dadanya tampak bekas popor senapan. Akhirnya, korban ini tewas di Rumah Sakit Umum Pekanbaru, 11 April lalu. Maka, 24 tokoh Generasi Muda Islam di Pekanbaru, 16 April lalu, berdelegasi ke DPRD Riau, menuntut agar aparat keamanan yang bertanggung jawab atas tewas dan cederanya sejumlah penduduk tadi segera ditindak. "Kami minta kasus ini jangan dipetieskan," kata Azwir Alimuddin, Ketua Pemuda Muhammadiyah Riau, kepada TEMPO. Keesokan harinya, sejumlah umat Islam setempat menyelenggarakan salat gaib di halaman Kantor NU Pekanbaru. Kisah ini memang berpangkal pada bulan puasa lalu. Kala itu, 4 Maret 1994, penduduk menyerbu warung milik J. Marbun, yang ada di desa itu. Mereka marah karena Marbun membuka warung di siang hari puasa itu. Yang lebih parah, warung itu menjadi tempat orang mabuk-mabukan minuman keras. Akibatnya, kursi dan meja di warung berdinding papan dan beratap rumbia itu berantakan. Untunglah, Mawardi, Kepala Desa Kasikan, turun tangan, sehingga akibat yang lebih fatal bisa dihindarkan. Marbun disuruh kepala desa meneken surat perjanjian akan menutup warungnya. Ia juga siap pindah dari desa paling lambat 4 April 1994. Ketika 4 April tiba, dan ternyata tak ada tanda-tanda Marbun membongkar warung yang merangkap rumahnya itu, amarah penduduk naik ke ubun-ubun. Tak ayal, usai salat Jumat 8 April itu, 200-an jemaah masjid tersebut marah ke warung Marbun. Dengan masih memakai sarung dan kopiah, mereka memekikkan "Allahu Akbar" berkali-kali. Namun, di tengah perjalanan, rombongan itu terhambat. Mereka dihadang oleh sekitar 200 polisi dan tentara yang datang dari Salo, 90 kilometer dari Kasikan. Penduduk pun panik ketika para serdadu itu malah berbalik mengejar mereka. Massa kocar-kacir melarikan diri. Ada yang terguling di jalan. Lalu, diinjak-injak. Popor senapan pun ikut beraksi. Akhirnya, 9 orang digaruk dan diboyong ke Polres Bangkinang, 100 kilometer dari Desa Kasikan. Delapan orang yang terluka dirawat di RSU Bangkinang. Tiga lainnya yang lebih parah terpaksa dirawat di RSU Pekanbaru. Tapi tiga hari kemudian, itulah: Misran tewas di rumah sakit. Kesembilan orang yang ditahan itu baru dibebaskan setelah mendapat jaminan dari Majelis Ulama dan Golkar Kampar. Marbun memang mengaku bersalah karena telah membuka warung di siang hari pada bulan puasa. "Tapi saya sudah minta maaf kepada masyarakat," katanya. Tapi Marbun membantah bahwa ia yang mengundang tentara. Ia hanya mengaku melapor ke pos polisi terdekat. "Karena kudengar warungku akan dihancurkan," katanya. Memang, menurut Kepala Direktorat Sosial Politik Pemda Riau, Kolonel Paris Ginting, yang menghubungi tentara tersebut adalah Camat Siak Hulu Drs. Kurnia Zein. "Untuk mencegah massa agar tak bertindak brutal," ujar Ginting. Ginting juga meragukan tentara tersebut telah mengejar dan menyiksa mereka. "Mana mungkin tentara mengejar rakyatnya sendiri," katanya. Mungkin, mereka yang terluka itu disebabkan terpijak rekannya sendiri dalam kondisi panik itu. "Tapi, jika terbukti ada yang bersalah, pasti akan ditindak," kata Ginting. Peristiwa seperti ini menunjukkan betapa senjangnya pusat dengan daerah. Melalui pesawat televisi, kini penduduk desa bisa menyaksikan bagaimana giatnya aparat keamanan menyita begitu banyak minuman keras di toko dan warung-warung tanpa izin. Sedangkan di desa-desa, minuman keras tak boleh diusik. Paling tidak bila dilihat dari apa yang terjadi di Riau ini. Di Jakarta, diskotek atau bar diharamkan di dekat rumah ibadat. Maklumlah, Pemerintah kini amat akomodatif terhadap kehidupan beragama. Sementara itu, di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, bupati setempat membiarkan diskotek dan panti pijat bertumbuhan di seberang masjid dan rumah ibadat lain. Beberapa waktu lalu, atas "inisiatif" Bupati Asahan Rihold Sihotang, 11 pelajar dihukum 2-3 tahun penjara karena merusak lokasi yang mereka anggap maksiat itu. "Anak-anak itu kita ajari agar membenci maksiat, tapi Bupati malah membenci mereka," keluh seorang ulama di sana.Bersihar Lubis dan Munawar Chalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini