Untuk mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan India, seorang dosen mengusulkan kembali ke semangat Mahatma Gandhi. DI pinggir Sungai Gangga di Benares, Samay Khrisna meramalkan hasil pemilu India pekan depan. "Partai Bharatiya Janata akan menang, dan Advani akan jadi perdana menteri," kata pemeluk Hindu itu pada TEMPO sambil mengguyur badannya dengan air sungai, suatu hari di pekan lalu. Memang belum ada pengumpulan pendapat yang membuktikan Partai Bharatiya Janata akan tampil menggantikan Partai Kongres yang selama 40 tahun memerintah India. Tapi para pengamat merasakan ramainya orang di negeri mayoritas Hindu ini menyebut-nyebut akan berpihak pada partai Hindu militan yang dipimpin oleh Lal Kishen Advani itu. Simpati itu juga yang ditangkap Taufik Rahzen -- pembantu TEMPO yang dua pekan belakangan ini mengunjungi sejumlah kota di India, antara lain Lucknow, Benares, Allahabad, dan New Delhi. Sebelum pemilu yang dimulai bulan lalu, dan ditunda karena terbunuhnya Rajiv Gandhi, naiknya suara yang berpihak pada Partai Bharatiya memang sudah terasakan. Belakangan, setelah Partai Kongres tak lagi menampilkan keluarga Nehru-Gandhi sebagai pemimpinnya, suara itu makin jelas. "Saya tak tahu mengapa banyak orang berbalik mendukung partai Hindu," kata A.K. Pande, simpatisan Partai Kongres. "Mungkin mereka bosan melihat partai yang sama terus-menerus memerintah India." Seorang pekerja sosial di Allahabad -- kota yang secara tradisional selalu mendukung Partai Kongres -- bernama Babu Mathew lebih punya pandangan. Katanya pada TEMPO, "Masyarakat ingin perubahan, ingin sesuatu yang baru, dan mereka menemukannya pada Partai Bharatiya Janata." Perubahan? Bagi sejumlah orang dan sejumlah pengamat India, 44 tahun negeri ini merdeka dari Inggris, tapi tak banyak perbaikan yang dirasakan oleh mayoritas penduduk negeri 844 juta ini. Di Calcutta, sebuah mobil yang berhenti di tengah jalan akan segera mengundang sebuah "petisi", kata wartawan Amerika Barbara Crossette. Petisi itu berupa tangan-tangan mungil yang dekil, wajah-wajah orang cacat, lalu ibu-ibu dengan wajah kosong dan sari compang-camping menggendong bayi kurus kering. Di kota besar di negeri-negeri berkembang pemandangan seperti itu memang biasa. Namun, di Calcutta pemandangan itu begitu terasa karena di kota terbesar kedua di India dengan hampir 10 juta penduduk ini barisan pembawa "petisi" itu tampak kolosal. Memang, dengan pertambahan penduduk sekitar 18 juta per tahun, India, yang program keluarga berencananya tak efektif ini, menghadapi masalah besar dalam lapangan kerja, pendidikan, dan perumahan. Dari tenaga kerja yang ada, hanya kurang dari 40% tertampung, menurut laporan UNDP -- badan khusus PBB bidang program pembangunan -- 1990-1991. Di bidang pendidikan, negeri yang menyebut diri sebagai negara industri dan teknologi ini menyimpan buta huruf lebih dari 45% untuk warga berusia di atas lima tahun. Kemiskinan, keterbelakangan, itulah masalah yang diprioritaskan untuk diatasi oleh Rajiv Gandhi, ketika ia memenangkan pemilu 1984. Ia mencoba menggeser ekonomi sosialistis India yang diletakkan oleh kakeknya, Jawaharlal Nehru, ke ekonomi terbuka. Ia turunkan tingkat pajak pendapatan, ia kendurkan pembatasan impor dan kontrol terhadap sejumlah industri. Komputerisasi pun ia perkenalkan. Juga deregulasi di bidang moneter dan pengembangan industri. Dialah penguasa India pertama yang berani mengundang modal asing, dan yakin bahwa itu bakal sangat membantu ekonomi India. Hasilnya memang ada. Pada 1988, empat tahun setelah Rajiv memerintah, diumumkan bahwa tinggal sekitar 37% penduduk India yang berada di bawah garis kemiskinan -- angka yang rendah dibandingkan beberapa puluh tahun sebelumnya. Angka-angka lain juga menunjukkan perkembangan: pembangunan sumur di desa-desa, ekspor mesin dan kendaraan bermotor, dan lain-lain. Namun, di balik angka-angka itu ternyata ada kenyataan lain. Misalnya, pompa air yang dipasang tak lagi dimonitor, apakah masih mengeluarkan air atau hanya angin jembatan-jembatan yang dibangun masih bisa dilewati, atau sudah dihanyutkan banjir. Dalam perjalanan di masa kampanye bulan lalu, wartawan-wartawan asing yang mengikuti para tokoh partai ke desa-desa melaporkan, betapa banyak penduduk desa yang terpaksa mencari air jauh dari desanya, karena sumur desa tak lagi berair. Selain soal pompa air dan jembatan, ada masalah yang lebih serius. Di Desa Gurha, di India bagian utara, tulis Steven Weisman, wartawan New York Times Magazine yang kini berpos di Tokyo, Jepang, penduduk bersyukur sekaligus menyesali pendidikan yang diperoleh anak-anak mereka. Kata mereka, anak-anak bisa sekolah dengan mudah. Akibat pendidikan itu, mereka jadi konsumtif meski baru dalam tahap cita-cita saja. Kenyataan itulah yang mencemaskan banyak cendekiawan negeri yang melahirkan budayawan besar Rabindranath Tagore dan bapak India Mahatma Gandhi. Misalnya Amar Singh, profesor Sastra Inggris di Universitas Lucknow, melihat betapa generasi muda terbentuk jadi konsumtif, padahal kue perkembangan yang dihasilkan belum mungkin dibagi rata. "Bagaimana memecahkan persoalan kemiskinan negeri ini, bila tak ada usaha mengubah cita-cita anak-anak muda yang meletakkan nilai-nilai pada barang-barang konsumsi?" kata dosen yang terkenal kesederhanaannya ini pada Steven Weisman. Bagi Amar Singh, yang suka mengenakan pakaian hasil tenunan kampung, India masih harus berpegang pada semangat Mahatma Gandhi. "Kegembiraan dalam kesederhanaan, semangat bekerja untuk masyarakat," itulah yang mestinya ditekankan di India, katanya. Tapi ia pun maklum bila itu bukan soal mudah karena "seluruh dunia bergerak ke jurusan yang sebaliknya daripada itu." Masalahnya, tentu, cukup besarkah kue perkembangan dibagi-bagi merata. Buat India, tampaknya tidak. Cadangan devisa pemerintah New Delhi kini tinggal tercatat US$ 1 milyar. Menurut Reuters, itu hanya cukup untuk menutup impor selama dua pekan. Krisis keuangan ini diakibatkan oleh membengkaknya defisit anggaran dan meningkatnya pencicilan utang luar negeri. Dan siapa lagi yang jadi kambing hitam bila bukan pemerintahan Partai Kongres. Maka, bisa dipahami bila Partai Bharatiya Janata mengambil isu-isu "kegagalan" Partai Kongres. "Rakyat India sadar, sampai kini mayoritas penduduk masih miskin dan buta huruf, penduduk desa masih kesulitan air minum," kata Advani, pemimpin Partai Bharatiya Janata, kepada Yuli Ismartono dari TEMPO. Dengan asumsi bahwa kini rakyat mencoba mencari pemimpin dari partai lain, Advani yakin bakal mengantungi kemenangan pekan depan. Dengan pendapatan per kepala sekitar US$ 340 (Indonesia US$ 560), dan perbedaan miskin-kaya demikian besar, siapa pun yang berkuasa di India tampaknya perlu memperhatikan kata-kata Amar Singh, dosen Universitas Lucknow yang sederhana itu: mengerem konsumtivisme dan membangkitkan semangat kerja untuk masyarakat banyak. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini