Tiba-tiba Kuwait mencari utang US$ 120 milyar dari Eropa dan minyak setengah juta barel sehari dari negara Teluk. BAGAIKAN serbuan Saddam Hussein atas Kuwait tahun lalu, pernyataan Menteri Keuangan Kuwait dua pekan lalu sungguh mengejutkan pemerintahnya membutuhkan pinjaman uang dari bank dan pemerintah Eropa Barat 120 milyar dolar AS, dan minyak dari Dewan Negara-Negara Teluk 500.000 barel sampai sejuta barel per hari. Bangkrutkah Kuwait, salah satu negara yang sebelum dijarah Irak termasuk tinggi pendapatan per kepalanya, yakni sekitar US$ 14.500, yang investasinya di Amerika dan Eropa lebih dari US$ 100 milyar? Padahal, negeri yang porak-poranda yang langitnya hitam karena asap dari ladang-ladang minyak yang dibakar itu hanya dalam waktu kurang dari sebulan sudah bisa memulihkan kebutuhan pokoknya. Pada pekan ketiga Maret lalu listrik sudah menyala kembali di seluruh negeri. Pompa-pompa minyak juga sudah dibuka, dan masih tetap dibagikan dengan gratis. Puing-puing akibat perang dibersihkan oleh perusahaan Amerika yang dikontrak, dan ranjau-ranjau tinggalan Irak pun sebagian besar sudah dijinakkan oleh pasukan Prancis dan Amerika. Beberapa hotel internasional sudah buka kembali dengan normal, tetapi tarif kamar dinaikkan dua kali lipat dibandingkan sebelum perang. Pemerintah Kuwait sendiri, beberapa waktu sebelum negeri ini dibebaskan dari Irak, sudah memperkirakan besarnya biaya rehabilitasi. Yakni US$ 20-30 milyar. Tapi menurut perkiraan majalah Middle East edisi April lalu, biaya rehabilitasi menyeluruh tak akan kurang dari US$ 60 milyar. Biaya itu sudah termasuk ongkos memadamkan sekitar 600 sumur minyak yang dibakar, yang sejauh ini baru sekitar 100 sumur yang bebas api. Ongkos untuk pemadam kebakaran sumur inilah konon pos terbesar rehabilitasi. Yang dipertanyakan masyarakat bisnis dan keuangan Eropa mengapa Kuwait harus meminjam uang, padahal uang pemerintah Kuwait ditanamkan di mana-mana. Inggris dari jauh-jauh hari sudah mengatakan, tak akan memberikan kredit apa pun, sebaliknya menganjurkan agar Kuwait menjual saja saham-saham yang dikuasainya atas pengeboran minyak di Laut Utara (sudah lama ada tuntutan kuat dalam masyarakat Inggris agar pemerintahnya membeli kembali saham itu). Mungkin Kuwait memang belum bangkrut. Masalahnya, negeri produsen minyak terbesar di kawasan Teluk ini (2,3 juta barel per hari) untuk sementara memang tak bisa mengucurkan minyak. Keadaan belum bisa berproduksi secara penuh ini diperkirakan akan berlangsung selama 18 bulan. Dan dalam waktu itu, menurut perhitungan seorang pejabat perusahaan minyak Kuwait, Ahmed Murod, tiap hari Kuwait akan merugi senilai sekitar empat juta barel minyak. "Itu jumlah yang besar karena negeri seperti Inggris, roda ekonominya dalam sehari bisa diputar seluruhnya dengan biaya senilai empat juta barel minyak," kata Murod. Seandainya Kuwait menggunakan cadangan devisanya, atau investasinya di Amerika dan Eropa, untuk membangun kembali negara seluas kurang dari setengah luas Jawa Barat ini, itu memang bisa. Ini diakui oleh Jassem Al Dabous, Wakil Menteri Keuangan Kuwait. Tapi itu akan merugikan negara, menurut Fouad Jaffar, bekas direktur perusahaan minyak Kuwait. Jadi? Menurut majalah Middle East, disebut-sebut sudah ada lampu hijau dari tiga lembaga bank besar yang bersedia memberikan utang. Yakni Bank Pembangunan dan Rekonstruksi Timur Tengah, Bank Pembangunan dan Rekonstruksi Eropa, dan Bank Pembangunan Islam di Jeddah. Tapi itu baru sekadar isyarat. Yang sudah ada reaksi jelas adalah soal utang minyak. Dalam pertemuan menteri-menteri Dewan Kerja Sama Teluk, Rabu 29 Mei lalu, belum disinggung ihwal utang, minyak Kuwait. Menurut Sekretaris Jenderal Dewan, Abdullah Bishara, pembicaraan dalam pertemuan tersebut hanya berkisar pada kerja sama di bidang energi. Tanpa secara spesifik mengacu pada permintaan Kuwait, Bishara mengatakan bahwa Dewan Kerja Sama Teluk akan membicarakan soal itu dalam waktu dekat. Ada yang mengatakan, organisasi itu enggan memberi pinjaman pada Kuwait karena jumlah yang diminta terlalu besar sehingga akan mempengaruhi jumlah produk negara calon pemberi pinjaman. Dengan kata lain, bila permintaan Kuwait dipenuhi, negara pemberi utang harus melanggar kuota produksi yang telah ditetapkan secara bersama dalam OPEC. Tanpa menyinggung tegas soal ini, Bishara juga mengatakan bahwa masalah kerja sama di bidang energi akan dibicarakan Dewan Kerja Sama Teluk pekan ini. Sebenarnya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri Kuwait tak menghadapi kesulitan benar karena dalam waktu dekat sebagian dari kilang minyak Mina-al-Ahmadi sudah akan beroperasi. Namun untuk mendapatkan minyak mentah guna diolah di penyulingan-penyulingan minyak Kuwait guna diekspor, memang diperlukan minyak utangan sebelum semua kilangnya berjalan normal. Sehari penyulingan minyak Kuwait dahulu mengekspor rata-rata 1,5 juta barel. Bila produksi itu belum berjalan normal karena pasok minyak mentah belum memenuhi kapasitas, itu sama halnya pendapatan pemerintah Kuwait berkurang. Diduga hanya Arab Saudi dan Persatuan Emirat Arab saja yang bisa memenuhi jumlah utang yang disebut Kuwait, yakni setengah juta barel per hari. Ada yang mengatakan, bila Dewan Kerja Sama Teluk ragu memberikan keputusan persetujuan permintaan utang minyak Kuwait, karena Kuwait belum menyebutkan secara jelas kapan akan membayarnya kembali. Boleh dilihat, bila utangan, baik uang maupun minyak, tak cepat diperoleh, akan makin lama juga negeri Kuwait kembali normal. Saat ini, diperkirakan, Kuwait yang sebelum perang dihuni oleh sekitar 1,9 juta orang (700.000 orang Kuwait, 400.000 orang Palestina, sisanya orang Mesir, Filipina, dan emigran dari negara lain) hanya dihuni oleh sekitar 400.000 orang Kuwait dan sekitar 100.000 emigran. Akhir bulan lalu ada imbauan dari pemerintah agar warga Kuwait secepatnya balik, untuk membantu membangun kembali negerinya. Tampaknya, selain utang uang dan minyak, masih diperlukan tenaga kerja. Maka, belum terdengar pengamat Timur Tengah meramalkan kapan Kuwait bersimbah kemewahan lagi. A. Dahana (Jakarta) dan Dja'far Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini