JANGAN mengkritik revolusi, itu berbahaya. Maka, Selasa malam pekan lalu Ayatullah Hussein Ali Montazeri, yang ditunjuk sebagai calon pengganti Ayatullah Rohullah Khomeini, tersisihkan. Dia kembali menekuni profesi lama sebagai guru agama di kota suci Qom. Segera jelas bahwa di Iran, negeri revolusi itu, perpecahan antara garis keras dan moderat untuk sementara dimenangkan pihak keras. Di hari berikutnya semua potret Montazeri di kantor-kantor pemerintah dan di jalan-jalan diturunkan. Menurut Khomeini -- dalam suratnya yang menyetujui pengunduran diri tokoh yang ia sebut lahir "karena saya" itu -- memimpin negeri seperti Iran membutuhkan, "kesabaran yang lebih daripada yang kamu punyai." Segera surat-surat kabar memberikan komentar. Keyhan, surat kabar terbesar yang pro garis keras, mengecam kritik dan surat-surat Montazeri yang ditujukan ke pemerintah selama dua tahun terakhir, yang menyebabkan pemerintah tampak "impoten". Kritik itu antara lain ajakan untuk "menengok kembali kesalahan selama 10 tahun terakhir," dan menghilangkan sikap ekstrem, dan gaya penuh slogan. Sementara iyu, Resalat, harian moderat, menyamakan guru ilmu pengetahuan dan filsafat itu bak Nabi Ibrahim yang selalu siap berkorban untuk Allah. Mundurnya Montazeri bagi surat kabar ini karena menaati perintah sang pemimpin. Hubungan antara kedua ayatullah itu sudah berlangsung sejak 25 tahun yang lalu. Montazeri, yang berkali-kali masuk tahanan di zaman Syah Pahlevi, adalah tangan kanan Khomeini. Dialah tokoh radikal yang punya kharisma setelah sang Ayatullah Rohullah. Itu sebabnya ketika Majelis Ahli Agama mengangkat Montazeri sebagai calon tunggal pemimpin spiritual Iran, empat tahun lalu, Khomeini langsung menyetujuinya. Tapi sarjana keluaran Sekolah Theologi di Isfahan itu, kota tempat dia dilahirkan, belakangan agak luntur keradikalannya. Ia mencoba menjembatani pihak radikal dan moderat. Tapi tekanan dari kaum radikal menurut The Middle East, memojokkan dia. Akhirnya, sejak dua tahun lalu Montazeri, yang berpendapat bahwa Iran kini lebih membutuhkan hubungan dengan Barat untuk membangun ekonominya, buka kartu. Ia, misalnya, menyetujui kebijaksanaan bekas Perdana Menteri Mehdi Bazargan, yang merintis gencatan senjata dengan Irak --yang akhirnya terwujut Juni tahun lalu. Konflik antara dia dan garis keras makin nyata sewaktu Khomeini menjatuhkan hukuman mati bagi Salman Rushdie, yang dianggap menghina Islam lewat novel The Satanic Verses, Februari lalu. Ayatullah Hashemi Montazeri menyetujui imbauan Rafsanjani, juru bicara Parlemen, bila Rushdie minta maaf, hukuman mati bisa dicabut. Tapi Rushdie sudah minta maaf, hukuman mati jalan terus. Belakangan Montazeri menyatakan, maaf terhadap pengarang keturunan India itu perlu diberikan untuk memulihkan hubungan Iran dengan Eropa Barat. Usulan itu ditolak. dan akhirnya dia terdepak. Bukan cuma dia. Beherapa tokoh moderat pun mundur atau dipaksa mundur. Pekan lahl Deputi Menteri Luar Negeri meletakkan jabatan. Duta besar Iran di PBB yang dipanggil pulang, dan kemudian menyatakan mengundurkan diri, tahu-tahu malah dipenjarakan. Padahal, kedua orang itu adalah ujung tombak dalam membina hubungan dengan negara Barat. Jelas ke mana Khomeini berpihak. Bila ia tak memaksa mundur orang-orang moderat, orang-orang garis keraslah yang akan mundur. Diduga Rafsanjani pun segara akan kehilangan kekuasaannya. Dua pekan lalu, Menteri Dalam Negeri Ali Akbar Montashemi pendukung gigih Khomeini, melancarkan propaganda untuk mengganyang semua orang Iran yang mulai berkiblat ke AS dan Inggris. "Setelah gencatan senjata, muncul komplotan yang mencoba mendorong Iran ke Barat, yang sisa-sisanya mungkin masih bercokol dalam pemerintahan Ini perlu dicopot," kata Montashemi. Seperti direncanakan, sebelum Montazeri mundur, dua suratnya yang ia kirimkan tahun lalu, 4 dan 31 Juli, tertuju kepada Khomeini, isinya disiarkan di Paris. Salah satu surat itu mengingatkan Khomeini agar menghentikan pembunuhan-pembunuhan masal di Iran. "Tindakan itu menimbulkan kebencian dan dendam," sebab itu lebih merupakan, "pemusnahan tahanan tanpa pengadilan. Kedua surat pribadi itu disiarkan kepada dunia oleh bekas Presiden Iran Abolhassan Bani-Sadr, yang masih mengungsi di Prancis. Bisa jadi, surat itu dicolong oleh kaki tangan Bani-Sadr yang berada di seputar Khomeini. Atau Montazeri memang sengaja mengirimkannya. Lalu siapa calon pengganti Khomeini? Sulit dicari orang sekharismatik dirinya atau Montazeri. Tampaknya sebuah dewan yang anggotanya akan ditunjuk langsung oleh sang Ayatullah untuk sementara disiapkan buat menggantikannya, nanti.Praginanto & Sharif Imam-Jomeh (Teheran)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini