SEMENTARA intifadah di Tepi Barat makin gencar, perjuangan politik J bangsa Palestina maju selangkah lagi. Minggu dua pekan lalu, bangsa terjajah itu telah melahirkan seorang presiden. Yasser Arafat, ketua PLO, yang secara de facto sudah lama menjadi pemimpin bangsa Palestina, oleh Dewan Pusat Organisasi PLO, setelah beberapa jam bersidang di Tunis, ibukota Tunisia, dipilih sebagai presiden pertama Negara Palestina. Kesepakatan itu bulat. Bahkan organisasai perjuangan Palestina yang paling radikal sekalipun mendukung pengangkatan itu. Termasuk Front Populer untuk Kemerdekaan Palestina dan Front Demokrasi untuk Pembebasan Palestina, yang masih sering melancarkan serangan gerilya terhadap Israel dari markas mereka di Libanon Selatan. Memang, tak ada pilihan bagi mereka selain bilang "Setuju." Sebab, sudah 90 negara -- termasuk negara Eropa Barat -- mengakui keberadaan Negara Palestina, serta bersedia menerima duta besar yang diangkat oleh Arafat. Penolakan terhadap kehadiran Presiden Arafat akan membuat mereka tersisih dari negara-negara sahabat Palestina, yang kebanyakan terdiri dari negara Islam dan anggota gerakan Nonblok. Sayang, status presiden yang disandang Arafat sementara ini masih bersifat protokoler. Yakni agar dia punya posisi sejajar dengan para kepala negara sahabat. Sedangkan susunan kabinet akan diputuskan kemudian, sampai ada kepastian sikap Israel. Arafat khawatir, orang Palestina di wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diangkat menjadi anggota kabinet akan mendapat perlakuan keras dan kemudian diusir oleh Israel. Tapi bisa jadi ada kekhawatiran lain. Jangan-jangan penyusunan anggota kabinet malah memicu perselisihan lebih dahsyat di antara para tokoh perjuangan. Mereka tentu akan berjuang ekstrakeras untuk merebut posisi-posisi strategis dalam kabinet. Antara lain kursi perdana menteri, menteri luar negeri, dan menteri pertahanan. Karena itu, Arafat masih membutuhkan waktu untuk merundingkan soal pembagian jatah kursi kabinet dengan kawan dan lawan. Sampai kapan? Memang tak ada deadline resmi. Secara tak resmi, setidaknya Arafat sudah harus punya keputusan sebelum pertengahan bulan depan, setelah Presiden AS George Bush bertemu dengan Presiden Mesir Husni Mubarak, Raja Yordania Hussein, dan Perdana Menteri Israel Yithak Shamir. Setelah ketiga pertemuan puncak itu, Bush akan bertemu langsung dengan Arafat. Kabarnya, dalam pertemuan itu Arafat sudah harus punya konsep komplet tentang negara dan pemerintahan Palestina. Paling memuyengkan Arafat adalah persyaratan yang tak membolehkan ada tokoh radikal duduk dalam kabinet. Sebab, AS khawatir, keberadaan tokoh-tokoh semacam itu dalam kabinet Palestina akan memancing kontak senjata dengan Israel, sehingga memberantakkan cita-cita untuk hidup berdampingan secara damai. Juga, itu mengancam keselamatan jiwa para prajurit pemelihara perdamaian. Bagaimanapun juga AS sudah mengembuskan angin surga. Pekan lalu Washington mengimbau Israel agar segera menarik semua pasukan dari kota-kota penting di wilayah pendudukan. Dan jawaban Shamir cukup simpatik, "Saya juga punya rencana perdamaian." Oleh sejumlah pengamat Timur Tengah, jawaban itu dianggap sebagai isyarat bahwa Shamir juga sudah lebih suka memilih jalan damai. Nah, menurut sebuah skenario politik, kepergian pasukan Israel akan diganti oleh pasukan AS, sebagai pemelihara perdamaian. Di sana, militer AS akan membangun sejumlah pangkalan untuk mengontrol agar Negara Palestina tak membangun kekuatan militer. Persis seperti pernah dilakukan AS tehadap Jepang seusai Perang Dunia Kedua. Maka, dengan atau tanpa perundingan langsung Israel-Palestina, tampaknya kemerdekaan akan hadir di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Atau perlu penggantian pemimpin di Israel terlebih dahulu? Prg
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini