BARANGKALI salah satu cara yang baik untuk memahami slogan ialah dengan membandingkannya dengan sebuah karikatur. Hal pertama yang segera tampak ialah bahwa karikatur mendistorsikan sesuatu dengan cara melebih-lebihkannya, sedangkan slogan mendistorsikan hal yang sama karena sangat menyederhanakannya. Namun, fungsi distorsi pada keduanya sangatlah berbeda. Dengan melihat distorsi pada karikatur, kita justru ingat kepada kenyataan sebenarnya, sementara distorsi pada slogan cenderung membuat kita lupa akan kenyataan sebenarnya. Demikianlah, betapapun wajah seorang pejabat diubah ukuran-ukurannya secara ekstrem, tetap saja kita tahu siapa yang dimaksud dan tahu juga bagaimana pula bentuk roman-mukanya yang sebenarnya. Sebaliknya, seorang mahasiswa yang menghafal slogan "pemuda harapan-bangsa" cenderung percaya bahwa tugasnya ialah memenuhi harapan semua orang dan lupa menjadi dirinya sendiri. Dengan lain perkataan, distorsi pada karikatur berfungsi membangunkan refleksi, sementara distorsi pada slogan cenderung meninabobokkan refleksi dan kemudian membuatnya tertidur. Hal ini dapat dipahami karena karikatur pada dasarnya sanggup menyadarkan orang tanpa berpretensi mengajarkan sesuatu, sedangkan slogan bertujuan mengajari orang tetapi tanpa kesanggupan menggedor kesadarannya. Karikatur berisikan suatu kenyataan yang ditertawakan tanpa rasa benci. Tingkah laku yang berlebihan, penyelewengan, atau bahkan suatu moral crime bisa diubah wujudnya semata-mata menjadi suatu "kejanggalan" estetik dan karena itu membuat orang tertawa tanpa menjadi pahit atau kecewa. Slogan sebaliknya mengungkapkan suatu kenyataan yang dibesar-besarkan tanpa rasa cinta. Sebuah kepentingan yang biasa dan wajar diubah wujudnya menjadi moral cause dan karena itu menimbulkan rasa berdosa kepada orang yang tidak dapat menerimanya. * * * Tanyakanlah kepada seorang anak kelas V SD: "Mau jadi apa kamu nanti?" --mungkin dia masih malu menjawab. Tanyakanlah hal itu kepada seorang siswa SMA, jawabnya barangkali: "Menjadi generasi penerus." Tanyakan lagi kepada seorang anggota DPRD, sangat mungkin dia menjawab, "Hidup selaras, seimbang, serasi, rohani dan jasmani." Tentu saja semua jawaban itu benar, tetapi ada hal yang merisaukan: mengapa gerangan sudah begitu sulitnya mendengar seseorang berbicara dengan kata-kata sendiri dan tidak sekadar mengulang ucapan-ucapan resmi? Yang ingin kita dengar dari seorang anak SMA ialah ceritanya mengenai kesulitan studi, konfliknya dengan para guru, hubungannya dengan orangtuanya, sebab-musabab perkelahiannya dengan sesama pelajar, dan cara dia menghindarkan narkotik. Dan itu semua dapat sekaligus menimbulkan kesan kuat tentang persiapan dirinya sebagai seorang anak muda yang sadar -- yang tanpa menyebut-nyebut generasi memperlihatkan kesadaran generasinya. Kita berharap, seorang anggota DPR bicara tentang macetnya lalu lintas, efek kenaikan gaji pegawai negeri terhadap harga barang, anggaran pendidikan dan pinjaman luar negeri, atau rusaknya lingkungan. Dan itu semua sekaligus mencerminkan komitmen yang kuat kepada "harga" manusia dalam pembangunan ekonomi -- sekalipun dia misalnya tak pernah menyebut "manusia seutuhnya". Tiba-tiba para eksistensialis terasa penting dan aktual kembali. Seorang yang percaya kepada Tuhan -- kata mereka -- akan kelihatan pada sikap dan cara dia mengangkat gelas air-minum, atau pada caranya menggosok sepatu, dan bukan karena dia biasa menyebut nama Tuhan sampai sepuluh kali dalam sehari. Bukankah kita pun bisa mengetahui apakah orang lain senang atau membenci kita, sekalipun dia hanya mematahkan sebatang ranting. atau berdiri memandang langit? Kata-kata dan tindakan mempunyai hubungan yang bisa aneh. Di satu pihak kata-kata bisa menjadi tidak berharga karena orang bisa mengatakan banyak hal hanya dengan melalui perbuatannya. Di lain pihak, kata-kata dapat menjadi begitu penting karena orang merasa sudah berbuat banyak karena dapat mengobral banyak kata atau berulangkali menyebutkan beberapa kata yang sama. Demikianlah, seseorang di ruang penelitian atau laboratorium dengan susah payah mencari sebuah kata untuk mengungkapkan suatu pengertian baru yang hendak diperkenalkannya. Sementara itu, seorang penjual obat yang begitu banyak kata-katanya sering tidak mengatakan apa pun. Begitulah, kata-kata yang mengkristal menjadi sikap dan perbuatan akan melahirkan proses eksistensial. Sebaliknya, perbuatan dan sikap yang menghindar, dan yang bersembunyi dalam kata-kata, hanya akan menghasilkan verbalisme. Demikianlah, kata yang diolah jadi pengertian menghasilkan proses intelektual yang sebenarnya, sedangkan kata-kata yang mengorbankan pengertian, lebih-lebih lagi yang mematikannya, akan menjelma menjadi slogan. *** Mengapa slogan masih selalu muncul dan tetap digemari? Salah satu sebabnya ialah dalam fungsinya sebagai metode pengajaran atau cara memberikan instruksi dia amat memudahkan tugas pengajar dan murid-muridnya. Dengan memberikan slogan, sang guru merasa telah menyampaikan pengetahuan yang harus diajarkan atau pengertian yang harus dialihkan. Di pihak lain, dengan menghafal slogan, seorang murid merasa sudah menguasai seluruh bahan pelajaran. Metode pengujian pun jadi sederhana: yang hafal adalah anak yang pandai, yang tak kuat atau tak betah menghafal tak lulus ujian. Diskusi bisa sangat dihemat, tukar pikiran dan perdebatan dianggap berlebih-lebihan. Sebagai metode pendidikan dan teknik apropriasi, slogan juga memudahkan para guru moral dalam mengalihkan nilai-nilai. Yang sanggup menghafal dianggap baik dan berhasil, sedangkan yang tak mampu akan dirundung rasa bersalah. Meskipun demikian, pada titik tertentu slogan harus ditinjau kembali justru karena wataknya seperti itu. Pada mulanya sebuah slogan diciptakan untuk memudahkan mengingat hal yang dipahami atau yang harus dilakukan. Pada akhirnya slogan dihafal karena orang tidak ingat dan tak paham lagi sesuatu yang diringkaskan dalam slogan itu. Dan itu kemudian membuatnya lupa akan yang harus dilakukannya, atau bahkan meyakinkan dia untuk tidak melakukan apa pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini