PERANG Iran dan Irak, yang telah berjalan enam tahun, menghangat kembali minggu-minggu terakhir ini. Sejak awal tahun ini, telah 60 tanker dihantam kedua pihak, dibandingkan jumlah keseluruhan tahun 1985 yang "hanya" 50 buah. Dan Iran yang tampaknya sedang bersiap-siap melancarkan serangan besar-besaran baru kabarnya telah memborong senjata dari berbagai pihak. RRC, menurut koran Washington Pos pekan lalu, diduga dalam enam bulan terakhir ini telah mengirimkan produk senjatanya dalam jumlah besar ke Iran. Di antaranya sejumlah tank T-59, 50 pesawat tempur J-6 (MiG-21 Soviet versi RRC), dan peluru kendali bernilai US$ 300 juta. Menurut Pusat Pengkajian Masalah-Masalah Strategis Internasional (IISS), London, kontrak penjualan senjata RRC-Iran bernilai US$ 1,6 milyar itu ditandatangani Maret tahun lalu. Jika benar, berarti RRC kini merupakan pemasok senjata terbesar untuk Iran, mengalahkan Korea Utara sebelumnya yang memasok 40% persenjataan negara burung merak ini. Teheran dan Beijing langsung membantah berita tersebut. Juru bicara Parlemen Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, Jumat lalu menyatakan bahwa Iran membeli senjata buatan AS dari pasar gelap. "Kami baru membeli lima buah pesawat pengebom F-5 di suatu tempat dengan harga miring," katanya. Iran, yang sejak penyanderaan warga AS pada 1980-1982 menghadapi embargo senjata AS, memang mengalami kesulitan mendapatkan amunisi dan suku cadang bagi sistem persenjataannya yang kebanyakan buatan AS, sehingga harus membelinya ke mana saja. Antara lain dari Afrika Selatan, Taiwan, Argentina, dan Israel. Sedang suku cadang senjata Soviet dapat dibeli dari Libya, Syria, dan Korea Utara. Namun, tampaknya, semua itu tak memadai. Iran, yang mempunyai angkatan bersenjata 1,2 juta orang (belum termasuk para penjaga revolusi atau Pasdaran), diperkirakan hanya memiliki 100 pesawat tempur. Padahal, Irak yang AB-nya berjumlah 500 ribu orang itu memiliki sekitar 500 pesawat tempur mutakhir yang dibelinya dari Soviet dan Prancis. Selain itu Iran, yang berpenduduk 45 juta jiwa itu, terpukul akibat jatuhnya harga minyak. Pada tahun 1985 Iran memperoleh US$ 15 milyar dari minyak, tapi tahun ini diperkirakan hanya mendapat US$ 8 milyar. Padahal, untuk biaya perang saja Iran membutuhkan US$ 7 juta per tahun. Sebaliknya, Irak, dengan adanya pipa minyak baru melalui wilayah Arab Saudi mengalami perbaikan ekonomi. Selain itu, Irak juga mendapat bantuan keuangan dari Kuwait dan Arab Saudi US$ 30 milyar per tahun. Karena itulah, Iran akhir-akhir ini juga mengincar untuk menghancurkan pipa-pipa minyak Arab Saudi dan tanker-tanker minyak negara-negara Teluk. Walau banyak mempunyai kelemahan, Iran diduga mempunyai peluang lebih besar untuk memenangkan perang. Selain karena memiliki penduduk yang jauh lebih besar, juga karena adanya semangat juang pada rakyat Iran yang tak dimiliki Irak. Hal ini rupanya disadari pihak Irak. Karena itu, Baghdad akhir-akhir ini gencar menawarkan damai pada Iran. Senin lalu, Irak kembali menawarkan perjanjian damai pada Iran dengan mengimbau negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB untuk menjamin keefektifan perjanjian itu. Iran selama ini bersikeras mengajukan tiga syarat untuk perjanjian damai: penarikan mundur pasukan ke wilayah perbatasan internasional, pembayaran kerugian perang oleh Irak, dan penggantian kepemimpinan Presiden Sadam Hussein. Syarat ini yang mustahil dilaksanakan Irak. Semangat tempur Iran sendiri tetap tinggi. Khomeini, dua pekan lalu, kembali menegaskan tekad Iran untuk melanjutkan perang sampai memperoleh kemenangan. "Kita tak perlu melakukan perdamaian, juga tak perlu wasit penengah. Kemenangan kita tinggal sejengkal lagi," kata Khomeini. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini