BENDERA nasional hijau-merah-kuning masih berkibar setengah tiang. Suasana berkabung di Kamerun belum usai. Hingga akhir pekan lalu, kantor pemerintah dan toko-toko masih menutup pintu, sementara gereja-gereja mengadakan misa khusus bagi sekitar 1.700 korban yang tewas akibat kabut beracun Danau Nios, 400 kilometer barat laut Younde, ibu kota Kamerun. Pukul 21.30, 21 Agustus lalu, Veronica, 27, mendengar letusan keras dari arah Danau Nios, sekitar dua kilometer dari rumahnya. Letusan menggelegar itu menyadarkan ibu lima anak ini akan bahaya dari kepundan yang terletak di dataran tinggi vulkanis itu. Dengan panik, ibu muda ini mengemasi sedikit barangnya dan mengumpulkan anak-anaknya. Ia bermaksud cepat-cepat menyingkir. Belum sempat wanita ini meninggalkan rumahnya, ia mencium bau bangar, seperti bau gas untuk memasak. Ternyata, kabut beracun itu begitu cepat menyambar rumah tanah liat itu. Veronica merasakan matanya perih, dadanya sesak dan nyeri. Kepalanya berkunang. Lalu, pingsan. Ketika siuman, esok harinya, ia mendapati kelima anaknya telah kaku menjadi mayat. Dari mulut dan hidung anak-anak itu keluar darah. "Saya tak ingin kembali ke desa," ujarnya pilu, sambil menatap suaminya yang selamat karena sedang bekerja di kota ketika bencana melanda. Bersama ratusan korban lain, kini Vero dirawat di sebuah rumah sakit di Bamenda, ibu kota provinsi setempat. Letusan yang menggelegar di Danau Nios itu terdengar sampai Bamenda, yang berjarak 60 kilometer. Dari danau kepundan itu dimuntahkan material padat dan gas pekat yang menyerupai kabut. Dibantu tiupan angin, kabut beracun itu menyebar maut sampai radius 10 kilometer. Diduga, kabut itu terdiri dari campuran gas karbon dioksid, karbon monoksid, dan hidrogen sulfid. Dua hari setelah letusan, Presiden Kamerun Paul Biya meninjau daerah bencana. Didapatinya ratusan mayat berserak dalam keadaan yang hampir rusak. Biya segera memerintahkan Letjen James Tataw, pimpinan tertinggi angkatan darat, untuk melaksanakan penguburan masal terhadap korban manusia dan ternak yang terserak itu. Bencana itu ternyata mendatangkan hikmah bagi hubungan politik Kamerun-lsrael. Dalam kunjungan kenegaraannya ke Kamerun, PM Israel Shimon Peres, dua hari setelah bencana terjadi, membawa 17 dokter militer untuk diperbantukan dalam operasi penyelamatan korban. Tentu saja, Presiden Biya menyambut hangat uluran simpati Peres. Maka, pertemuan kedua pemimpin itu berlangsung dalam suasana yang sangat bersahabat. Hasilnya: kedua pemerintah sepakat, untuk memulihkan hubungan diplomatiknya yang beku sejak 13 tahun silam. Mereka juga menyatakan akan bersama-sama menentang politik apartheid. Memang, ini sebuah kunjungan pejabat tinggi Israel yang sukses, setelah 20 tahun tak ada pejabat Israel yang berkunjung ke negara Afrika Hitam. Hubungan Israel-Kamerun kabarnya sudah dirintis sejak Paul Biya, penganut Katolik, menggeser Akhmadou Akhijo yang beragama Islam pada 1981. Akhijo memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Israel ketika meletus Perang Enam Hari Mesir-Israel, 1973. Kamerun merupakan negara Afrika keempat yang digandeng Israel sejak 1982, setelah Zaire, Liberia, dan Pantai Gading. Kabarnya, empat negara Afrika lain -- Togo, Gabon, Guinea, dan Afrika Tengah -- merupakan sasaran berikut yang akan digarap oleh Peres. Sikap Presiden Biya, tentu, dikecam habis Liga Arab. Chedli Klibi, sekjen Liga, menuding Biya mengkhianati kesepakatan Afrika-Arab yang tercetus tahun 1977, dan melanggar persetujuan Organisasi Persatuan Afrika (OAU) -- Liga Arab. Protes itu ternyata tak digubris oleh Biya. Pemimpin Kamerun ini memang sedang repot menangani bencana Danau Nios. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini