PADA suatu hari, Paul H. Nitze dan Yuli A. Kvitsinsky
berjalan-jalan di hutan Pegunungan Jura dekat Jenewa. Mereka
menikmati kehangatan sinar matahari seraya membahas satu masalah
paling rumit dewasa ini: perlucutan persenjataan nuklir. Acara
jalan santai itu terjadi 16 Juli 1982. Tidak sampai setahun
kemudian, Nitze, perunding Amerika dituding oleh William P.
Clark, penasihat keamanan Presiden Reagan sebagai menyimpang
dari instruksi.
Lebih dari itu, awal Januari ini, Eugene V. Rostow, seorang
Demokrat, kepala Badan Perlucutan dan Pengendalian Persenjataan,
telah dipecat oleh Presiden Reagan. Rostow, dalang dari
perundingan rahasia di Pegunungan Jura tersebut, digantikan oleh
Kenneth Aldeman, 36 tahun, bekas murid Jeane Kirkpatrick, dubes
Amerika di PBB. Aldeman konon dapat melakukan tiga hal yang
tidak dapat dilakukan Rostow, yaitu: dapat bekerja sama dengan
Departemen Pertahanan, Luar Negeri dan Gedung Putih.
Pemecatan Rostow menimbulkan keraguan di kalangan pemimpin NATO.
Rostow prihatin melihat perlombaan persenjataan Amerika-Soviet.
Dia lantas dicap bersikap lunak. Kesalahan Rostow yang tidak
termaafkan ialah karena ia menyetujui pembekuan pemasangan rudal
Pershing-2 yang semula direncanakan harus terpasang di Eropa
Barat, Desember nanti. Dalam kata lain, Rostow "mengorbankan"
Pershing-2 demi peredaan ketegangan di dunia.
Sesungguhnya Rostow meminta imbalan setimpal: semua rudal jarak
menengah Soviet yang ditujukan ke sasaran di Eropa Barat harus
dilumpuhkan juga. Kvitsinsky, perunding Soviet telah menyetujui
tawar-menawar itu, padahal Uni Soviet telah memasang 250 rudal
SS-20 dan 250 rudal SS-4 dan SS-5. Kedua pihak dalam perundingan
itu juga sepakat untuk mengurangi semua persenjataan sampai pada
jumlah 75 peluncur nuklir saja.
Jika dihitung-hitung Uni Soviet akhirnya cuma memiliki 225
kepala nuklir (tiap rudal SS-20 berkepala nuklir 3), sedangkan
AS boleh lega dengan 300 kepala nuklir (setiap rudalnya
berkepala nuklir 4). Uni Soviet juga setuju bila 90 rudal SS-20
yang disiapkannya untuk sasaran Asia-Pasifik harus dibekukan.
Sementara itu 162 rudal dan pesawat tempur milik Prancis dan
Inggris tidak disinggung-singgung dalam persetujuan tertulis
itu. Akhirnya kedua pihak menghimbau agar pesawat jarak sedang
yang mampu membawa peluru kendali dibatasi jumlahnya sampai 150
saja untuk pihak masing-masing.
Menlu AS George P. Shultz juga menganggap Rostow tidak
disiplin, sedangkan stafnya menyesalkan bagaimana persetujuan
rahasia itu tidak dirundingkan lebih dahulu dengan para sekutu
di Eropa Barat. Namun perundingan jalan terus. Nitze dan
Kvitsinsky bertemu penghujung September di Jenewa. Di situ pihak
Soviet tiba-tiba berubah pendapat. Persetujuan itu, menurut
mereka, sama sekali tidak mungkin diterima, bahkan kekuatan
persenjataan Inggris dan Prancis harus diperhitungkan, dan harus
ada pembatasan terhadap jumlah pesawat udara NAT0 yang mampu
membawa peluru kendali. Sampai di sini jelas upaya perlucutan
persenjataan sudah mulai runyam.
Kemudian muncul Andropov. Dalam pertemuan puncak Pakta Warsawa
di Praha, awal Januari, Andropov mengajukan sebuah rencana
pelestarian hubungan damai. Pakta itu juga menghimbau agar
berlaku larangan atas percobaan nuklir, perang kimia dan
persenjataan neutron. Reagan menyambut himbauan Andropov dengan
kata-kata bahwa usul besar itu akan dipertimbangkan.
Menjelang perundingan perlucutan senjata dibuka lagi di Jenewa
pekan ini, Presiden Reagan telah membahasnya dengan Shutlz,
Weinberger, Clark, Adelman dan Nitze. Sehabis pembicaraan
penting itu, Nitze menjelaskan pada pers bahwa Presiden Reagan
bertahan pada prinsip zero option. Pokoknya AS menuntut agar Uni
Soviet membongkar semua peluru kendali jarak menengah yang
diarahkan ke sasaran di Eropa Barat, dan sebagai imbalannya
Washington beserta sekutunya tidak akan memasang rudal. Apakah
tidak bisa lebih luwes dari itu? Nitze menjawab, "Jika Uni
Soviet bersikap mengulur, saya pasti pihak kami juga akan
sungguh-sungguh mempertimbangkan tiap usul yang serius."
Sementara Reagan bersiteguh dengan zero option-nya, Presiden
Prancis Francois Mitterand di depan DPR Republik Federasi Jerman
di Bonn mengkritik peningkatan persenjataan Soviet. Dia menyebut
Prancis, sebagai partner setia, mempertahankan penempatan rudal
jarak sedang AS, bila perundingan Jenewa gagal.
Jerman Barat sedang berkampanye hebat menghadapi pemilu, 6
Maret. Andaikata Sosial Demokrat menang, diduga pemasangan rudal
Pershing-2 akan terhambat.
Dalam kunjungan empat hari ke Bonn pekan lalu, Menlu Soviet
Andrei Gromyko memperingatkan Bila Jerman Barat tidak mencegah
pemasangan Pershing-2 dan rudal Tomahawk Desember yang akan
datang, Bonn akan terjerumus dalam konfrontasi nuklir yang
berbahaya dengan Uni Soviet. Kanselir Helmut Kohl terdesak juga
karenanya, di saat kampanye pemilu.
PM Inggris Margaret Thatcher juga menyadari kesulitan yang sama.
Adalah Eropa Barat yang berhadapan langsung dengan rudal jarak
sedang Soviet, bukan AS. Di parlemen Inggris pekan silam ia
berkata, "Kita memperjuangkan zero option, tapi bila itu tidak
tercapai, kita harus mengusahakan jumlah persenjataan yang
berimbang (dengan Uni Soviet)."
Ternyata sikap sekutu Amerika lebih realistis, lebih condong
pada kepentingan pertahanan masing-masing. Sampai tahap ini zero
option Reagan bisa goyah, kecuali Wapres George Bush berhasil
memenangkan kepercayaan sekutu Amerika dalam kunjungannya ke
Eropa Barat akhir Januari ini. Sesudah Rostow gagal, akan lebih
sulit lagi bagi Reagan bila zero option-nya Juga gagal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini