REPUBLIK Federal Yugoslavia setiap tahun mengganti presiden
setelah tokoh besar Josip Broz Tito pergi (Mei, 1980). Kini
Petar Stambolic dari negara bagian Serbia sedang mendapat
giliran jadi presiden. Sebelum dunia dapat mengenal namanya
dengan baik, masa jabatan Stambolic akan berakhir. Mei nanti
presiden baru akan tampil. Tapi nama Petar Stambolic,
mudah-mudahan, tidak akan gampang dilupakan di Indonesia. Pekan
depan dia ditunggu di Jakarta untuk kunjungan resmi selama 5
hari.
Sambil membalas kunjungan Presiden Soeharto (1975), Presiden
Stambolic diduga akan mengadakan serangkaian konsultasi
menjelang KTT Nonblok di New Delhi, 11 Maret. Mengenai soal
Nonblok, Indonesia-Yugoslavia sebetulnya tidak mempunyai
perbedaan pandangan. Bagi Yugoslavia kali ini yang lebih penting
tampaknya ialah hubungan perdagangan.
Tahun 1978, hubungan perdagangan Indonesia-Yugoslavia masih
bernilai US$ 86,4 juta. Kemudian volume perdagangan bilateral
itu kian mengecil, bahkan nyaris lenyap sama sekali akhir-akhir
ini. Berkata seorang diplomat Yugoslavia di Jakarta: "Perusahaan
(negara) kami sangat berharap untuk memenangkan tender (dalam
proyek pembangunan) Indonesia." Maka presiden yang berambut
putih dan jangkung itu akan diikuti pula oleh sejumlah orang
bisnis Yugoslavia.
Perdagangan Yugoslavia kini cenderung condong ke Timur. Partner
dagangnya yang terbesar adalah Uni Soviet. "Kami tidak mempunyai
banyak pilihan," ujar seorang diplomat Yugoslavia, sementara
banyak negara Barat menjalankan proteksionisme. Hasil industri
dan pertanian Yugoslavia tidak mungkin bisa bersaing di pasaran
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).
Ekonomi Yugoslavia turut terpukul oleh resesi. Utangnya
(sebagian besar dari Barat) sudah mencapai US$ 17 milyar. Uang
dinarnya mengalami inflasi sampai 40%. Karenanya Yugoslavia
mengadakan kebijaksanaan "kencangkan ikat pinggang" sejak 1980.
Toko-toko besar (swasta) di Jalan Knez Mihajlova di Beograd
tetap memajang barang mewah, tapi kini tidak terjangkau oleh
sebagian besar masyarakat Yugoslavia. Sedangkan di Centroprom --
toko serba ada milik pemerintah -- barang kebutuhan hidup
seperti kopi, mentega dan sabun cuci semakin langka. Kalaupun
ada, harganya kini naik mengikuti inflasi. Tentu saja masyarakat
sosialis yang telah terbiasa dengan benda-benda Barat ini
"merasa" lebih prihatin.
Dari masalah ekonomi yang serba sulit ini sering lahir berbagai
masalah. Pernah ada keresahan musim semi di Kosovo, misalnya,
setahun setelah Tito pergi. Asal muasalnya sekelompok mahasiswa
memprotes karena makanan kantin menjadi hambar dan keadaan
asrama memburuk. Kerusuhan April 1981 ini mengakibatkan 9 orang
meninggal, 250 lainnya luka-luka dan ribuan lagi diadili.
Kosovo adalah bagian dari Serbia, salah satu dari enam republik
yang mempunyai otonomi penuh dan desentralisasi. Kosovo
mempunyai penduduk sekitar 2 juta, di antaranya 75% terdiri dari
bangsa yang berasal dari Albania. Dan Albania, tetangga, suka
menghasut gerakan separatis di Kosovo yang termiskin
dibandingkan dengan daerah lainnya dalam Yugoslavia. Kasus etnik
di Kosovo ini memang bukan satu-satunya. Pernah juga terdengar
di tahun 1976 slogan "Hidup Republik Kroatia."
Keadaan Yugoslavia sudah agak suram ketika masih hidup Josip
Broz Tito.
Betapa pun suram keadaannya, Yugoslavia masih terbilang makmur
(pendapatan nasionalnya US$ 2.100 per kapita tahun 1979, naik
dari US$ 200 tiga puluh tahun sebelumnya) di antara barisan
negara sosialis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini