PERUNDINGAN Israel-Libanon berjalan terus, sekalipun
tersendat-sendat. Utusan khusus Amerika, Philip C. Habib,
terbang bolak-balik antara Beirut dan Yetusalem mencarikan jalan
tengah. Seperti dinyatakannya dua minggu lalu, sebelum
meninggalkan Washington, "ada kepentingan yang mendesak untuk
menyelesaikan soal Libanon agar kita bisa bergerak ke arah yang
lebih luas mengenai perdamaian di kawasan itu."
Gerakan ke arah itu juga ada di kalangan negara Arab. Sejalan
dengan Usul Fez yang disetujui Liga Arab tahun lalu Arab Saudi
mengirim wakilnya ke Damaskus. Putra Mahkota Abdullah dari Arab
Saudi, yang juga jadi wakil perdana menteri, berada di ibukota
Suriah itu 16 Januari. Dia dilaporkan ikut dalam usaha
mempercepat penarikan mundur pasukan Suriah dari Libanon.
Para perunding Israel-Libanon sendiri, menurut pengumuman
Kementerian Luar Negeri Israel, pekan ini mulai membicarakan
soal yang peka dalam acara mereka. Ini mencakup: pembentukan
suatu wilayah keamanan di bagian selatan Libanon, hubungan
timbal balik kedua negara, penarikan mundur pasukan asing dari
Libanon, dan jaminan bagi keamanan Libanon. Empat subkomisi
telah dibentuk untuk membicarakan keempat masalah itu.
Satu soal yang paling mudah mereka selesaikan dalam pertemuan
pekan lalu di Khalde, dekat Beirut, menurut sejumlah diplomat di
sana, adalah "pembatalan keadaan perang" antara kedua negara.
Tetapi penyelesaian tampaknya masih jauh, terutama soal wilayah
keamanan antara 45 dan 50 km di bagian selatan Libanon yang
dituntut Israel.
Israel sejauh ini tetap ingin menempatkan tiga "stasiun
peringatan dini" di Libanon Selatan, termasuk sebuah di puncak
Gunung Barukh yang tingginya 1.980 meter di sebelah tenggara
Beirut. Dari sana alat-alat pengintai dini dan radarnya akan
dapat memonitor setiap gerakan pasukan asing yang masuk ke
Libanon. Amerika mendesak Israel supaya membatalkan keinginan
itu karena Suriah juga akan berkeras dengan stasiun serupa.
Amerika mengusulkan suatu jalan tengah: Stasiun peringatan dini
itu sebaiknya ditangani oleh Amerika. Ini sejalan dengan apa
yang pernah ditempuh ketika Israel mengembalikan Gurun Sinai
kepada Mesir. Stasiun di sana dialihkan pengawasannya kepada
petugas sipil Amerika April lalu.
Kalau usulnya diterima, dengan radar dan alat elektronika
mutakhirnya di puncak Jabal Barukh, Amerika akan dapat memonitor
bukan saja gerakan tentara Suriah, tapi juga setiap gerakan
pasukan dalam suatu wilayah yang sangat luas -- dari Teluk Parsi
sampai Spanyol! Ini berarti mengawasi plla gerakan militer di
bagian selatan Uni Soviet, sambil Amerika melindungi perbatasan
utara Israel.
Soal stasiun ini jelas sekali menemui jalan buntu. Seperti kata
Menlu Israel Yitzhak Shamir, setelah dua hari berunding dengan
Habib, "Kita tidak membicarakan soal tentara Amerika. Kita
membicarakan soal kehadiran sementara Israel." Israel sudah
menduduki sebagian dari Libanon sejak tentaranya menyerbu negeri
itu 6 Juni lalu untuk menghancurkan gerilyawan PL0.
Habib tidak hadir dalam perundingan di Khalde ataupun Kiryat
Shemona. Amerika diwakili oleh ketua perundingnya, Morris
Draper, sementara Israel oleh David Kimche dan Libanon oleh
Antoine Fattal. Perundingan masih dilanjutkan pekan ini, mungkin
akan berlarut-larut. Namun, kata Menlu Libanon, Elie Salem,
"diplomasi Habib membuat kita berharap perundingan ini akan
selesai lebih cepat."
Hambatan lain mengenai prngaturan keamanan di daerah perbata,
Israel Libanon ialah menyangkut soal Mayor Saad Haddad beserta
pasukan milisi Kristennya. Haddad, bekas perwira tentara Libanon
yang memberontak, adalah sekutu lama Israel. Pemerintahan Begin
ingin memasukkan Haddad ke dalam kerangka tubuh tentara Libanon.
Beirut menolaknya.
Soal lain yang tersendat-sendat adalah bentuk "hubungan timbal
balik". Israel menghendaki kantor perwakilan di negara
masing-masing dengan harapan kantor itu nanti menjadi kedutaan
besar. Libanon menentang keras hal itu supaya terpelihara
hubungannya dengan dunia Arab. Washington, yang akhir pekan lalu
memanggil Habib pulang untuk konsultasi, rupanya memahami bahwa
kepentingan Libanon akan lebih terjamin jika hubungannya dengan
dunia Arab tetap erat.
Mandat pasukan PBB yang berakhir pekan lalu telah diperpanjang
lagi untuk masa 6 bulan atas permintaan Libanon. Sejak 1978 PBB
menempatkan pasukannya, Unifil. Sebanyak. 6.300 orang
dikumpulkan dari 10 negara sebagai penyekat antara Israel dan
Libanon di suatu daerah sempit di bagian selatan Libanon.
Sementara perundingan berpindah-pindah antara Khalde, dekat
Beirut, dan Kiryat Shemona, kota perbatasan Israel Utara,
pertempuran milisi Kristen dan golongan Islam Druz Libinon
berlanjut terus. Sudah 100 orang yang tewas dalam 9 pekan
terakhir sejak meledaknya bentrokan antara kedua kelompok itu
di bagian utara Libanon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini