Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengungsi etnis Rohingya terus berdatangan ke Indonesia sejak 14 November 2023. UNHCR Indonesia mencatat jumlah kedatangan pengungsi Rohingya mencapai 1.200 orang. Mereka tersebar di beberapa titik di Aceh, seperti Pidie, Bireuen, Aceh Timur, dan Sabang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di Myanmar. Sejak 2017, etnis Rohingya memulai eksodus untuk keluar dari Myanmar. Peristiwa tersebut dipicu karena etnis Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine, terus mengalami kekerasan dan penindasan oleh militer Myanmar. Lantas, kenapa Rohingya diusir dari Myanmar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Alasan Kenapa Rohingya Diusir dari Myanmar
Mengutip Council on Foreign Relation, alasan kenapa Rohingya diusir dari Myanmar sebenarnya tidak terlepas dari peristiwa di tahun 1948-1989. Selama periode tersebut, pemerintah setempat tidak mengakui Rohingya sebagai bagian dari 135 etnis resmi di Myanmar. Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun banyak dari mereka yang berasal dari Myanmar sejak berabad-abad yang lalu.
Menurut catatan sejarah, etnis Rohingya diperkirakan sudah ada di Myanmar pada abad ke-15, ketika ribuan umat Islam datang ke bekas Kerajaan Arakan. Kedatangan mereka lebih banyak lagi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika Rakhine diperintah oleh pemerintahan kolonial sebagai bagian dari British India. Mayoritas dari sekitar satu juta orang Rohingya di Myanmar tinggal di Negara Bagian Rakhine.
Selama beberapa dekade, etnis Rohingya telah mengalami penderitaan ekstrem di Myanmar. Mereka tidak diberikan kewarganegaraan. Mereka juga tidak diperbolehkan mengakses layanan kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja. Bahkan desa atau kampung mereka juga dibatasi.
Pemerintah Myanmar menolak memberikan kewarganegaraan kepada warga Rohingya yang mengakibatkan sebagian besar etnis Rohingya tidak memiliki dokumen hukum. Hingga pada tahun 1990an junta militer Myanmar mengeluarkan kartu identitas, yang diberi nama kartu putih kepada banyak warga Muslim, baik Rohingya maupun non-Rohingya. Kartu putih memberikan hak terbatas tetapi tidak diakui sebagai bukti kewarganegaraan.
Kemudian pada 2014, pemerintah mengadakan sensus nasional yang didukung PBB. Kelompok minoritas Muslim pada awalnya diizinkan untuk mengidentifikasi diri sebagai Rohingya. Namun kelompok nasionalis Budha mengancam akan memboikot sensus tersebut. Akhirnya pemerintah memutuskan bahwa warga Rohingya hanya dapat mendaftar jika mereka diidentifikasi sebagai warga Bengali.
Di bawah tekanan dari kelompok nasionalis Budha yang memprotes hak memilih warga Rohingya pada referendum konstitusi tahun 2015, Presiden Thein Sein membatalkan kartu identitas sementara pada bulan Februari 2015, yang secara efektif mencabut hak pilih yang baru mereka peroleh. Hingga kemudian pada pemilu tahun 2015, tidak ada calon anggota parlemen yang beragama Islam.
Pembantaian Etnis Rohingya
Pada Agustus 2017, bentrokan pecah di Rakhine. Saat itu kelompok militan yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan kampanye brutal yang menghancurkan ratusan desa Rohingya dan memaksa hampir tujuh ratus ribu warga Rohingya meninggalkan Myanmar.
Menurut badan amal medis internasional Doctors Without Borders, setidaknya 6.700 warga Rohingya terbunuh pada bulan pertama serangan, antara 25 Agustus dan 24 September 2017. Pasukan keamanan Myanmar juga diduga menembaki warga sipil yang melarikan diri dan menanam ranjau darat di dekat perlintasan perbatasan yang digunakan oleh warga Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh. Keamanan Myanmar mengklaim bahwa mereka sedang melakukan kampanye untuk mengembalikan stabilitas di wilayah barat negara tersebut.
Sejak awal tahun 2018, pihak berwenang Myanmar juga dilaporkan telah membersihkan desa-desa Rohingya yang ditinggalkan dan lahan pertanian untuk membangun rumah, pangkalan keamanan, dan infrastruktur. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggambarkan kekerasan tersebut sebagai pembersihan etnis dan situasi kemanusiaan sebagai bencana besar. Kelompok hak asasi manusia dan pemimpin PBB lainnya mencurigai telah terjadi tindakan genosida, dan pada bulan September 2018.
Kebijakan diskriminatif pemerintah Myanmar sejak akhir tahun 1970an telah memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya meninggalkan rumah mereka di negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha tersebut. Pemerintah Myanmar diduga melakukan diskriminasi terhadap etnis Rohingya melalui pembatasan pernikahan, keluarga berencana, pekerjaan, pendidikan, pilihan agama, dan kebebasan bergerak.
Misalnya, pasangan Rohingya di kota utara Maungdaw dan Buthidaung hanya diperbolehkan memiliki dua anak. Warga Rohingya juga harus meminta izin untuk menikah. Kemudian Rohingya harus memberikan foto pengantin wanita tanpa jilbab dan pengantin pria dengan wajah yang dicukur bersih. Syarat tersebut tentu sangat bertentangan dengan adat istiadat Muslim.
Tak hanya itu saja, untuk pindah ke rumah baru atau bepergian ke luar kota asal mereka, warga Rohingya harus mendapatkan persetujuan pemerintah. Selain itu, Negara Bagian Rakhine adalah negara paling terbelakang di Myanmar, dengan tingkat kemiskinan sebesar 78 persen, dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 37,5 persen, menurut perkiraan Bank Dunia.
Kemiskinan yang meluas, infrastruktur yang buruk, dan kurangnya kesempatan kerja di Rakhine telah memperburuk perpecahan antara umat Buddha dan Muslim Rohingya. Ketegangan ini diperparah oleh perbedaan agama yang terkadang berubah menjadi konflik.
Hingga kemudian mereka melakukan eksodus dengan menyeberang melalui darat ke Bangladesh, sementara yang lain melalui laut untuk mencapai Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sebenarnya pengungsi Rohingya tidak ingin meninggalkan Myanmar. Mereka terpaksa mengungsi. Kebanyakan pengungsi Rohingya mengatakan kepada UNHCR bahwa mereka berharap dapat pulang ke Myanmar jika kondisinya memungkinkan.
RIZKI DEWI AYU
Pilihan Editor: AS Minta Israel Lebih Akurat dalam Menargetkan Sasaran di Gaza