Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas tilam berwarna putih, bara itu padam perlahan-lahan. Bernama Yasser Arafat, bara itu telah meleburkan lebih dari separuh hidupnya bagi Palestina. "Ibarat tanur api yang selalu berpijar," be- gitulah Arafat pernah menamsilkan perjuangan Palestina kepada sekumpulan anak muda di Tepi Barat. Jalan hidup pemimpin Palestina ini ternyata tak jauh ber-beda dengan tamsil itu; pijar pengaruhnya tak padam oleh usia yang merenta. Dan kursinya yang kosong di Ramallah tetap diperlakukan dengan patut selama dia di-rawat di Paris. "Kami tak akan melaksanakan pemilu sampai Ketua sembuh kembali," kata juru bicara Parlemen Palestina, Mahmud Labadi, kepada Tempo.
Tapi Arafat tak pernah sembuh lagi. Dia berpulang di ambang Idul Fitri, tiga hari sebelum Ramadan berakhir. Di Rumah Sakit Militer Percy, Arafat menarik napas terakhirnya. Kabar kematian itu me-nular secepat wabah. Di Ramallah, Tepi Barat?tempat kediaman Arafat?para wanita Palestina meratap dalam dukacita yang menyayat. "Dia bukan sekadar pemimpin. Dia orang besar," kata Nadia Hassan, 65 tahun, kepada reporter Ha'aretz. Dunia membenarkan Nadia. Sekitar 60 negara mengirimkan perwakilannya ke Kairo?Mesir menjadi tuan rumah upacara penghormatan jenazah Arafat.
Jasad Presiden Palestina itu disemayamkan di Kompleks Militer Al-Galaa, Kairo. Ke sana, para tamu penting?di antaranya Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono?melayat Arafat. Dari sana pula Arafat diterbangkan dengan pesawat militer Mesir ke Al-Arish, lalu diteruskan dengan helikopter ke Ramallah. Ia dimakamkan di Mutaqa, tempat Organisasi Pembebasan Palestina, PLO, bermarkas.
Hari itu, Jumat 12 November, Mutaqa tiba-tiba menjadi arena perkabungan raksasa. Lebih dari 100 ribu manusia berjejal, meratap, berteriak, mendaraskan doa di tengah debu dan asap tembakan salvo. Ribuan tangan menjulur ke arah langit seolah berlomba merenggutkan setiap tetes rahmat bagi Arafat. "Wahai besarnya dukacita ini, ya, Allah," teriak Abdul Rahman, 47 tahun, sambil menepuk-nepuk dada. Pedagang buah ini keluarganya datang ke Mutaqa untuk melayat "pengayom tanah Palestina"?begitu Abdul menyebut Arafat.
Palestina dan Arafat adalah sepasang en-titas yang mustahil dipisahkan. Di latar domestik Palestina, Timur Tengah, maupun komunitas internasional di belahan Barat, Arafat dipandang sebagai the embodiment, perwujudan, dari Palestina sendiri. Ming-guan The Economist (edisi 11 November) menulis, karier Arafat sebagai Mister Palestine bermula sejak 1953. Ketika itu Arafat, yang masih belajar di Mesir, merancang petisi dengan judul "Jangan Lupakan Pa-lestina". Ditulis dengan darahnya sendiri, petisi itu ia serahkan kepada Jenderal Neguib, pemimpin militer Mesir.
Itu hanya satu upaya kecil dari berbagai langkah Arafat untuk menggugah para jiran Arab menyokong Palestina melawan Israel, yang tengah getol meluaskan negaranya. Tapi Arafat "patah hati" melihat pasifnya Liga Arab merespons sepak terjang Israel. Bersama beberapa kawan seiring seperti Mahmud Abbas dan Khalil Wazir, dia mendirikan Fatah, gerakan pembebasan tanah air Palestina. Fatah tumbuh menjadi organisasi paling berpengaruh di antara berbagai organisasi yang berpayung di bawah PLO (berdiri pada 1964).
Dalam bukunya, Arafat; Terrorist or Peacemaker?, Alan Hart mencatat Fatah mengontrol PLO sejak Arafat memimpin organisasi ini pada 1969?jabatan ini ia pangku hingga wafat. Fatah dan PLO adalah tonggak-tonggak penting yang mempertautkan Arafat dengan karier seumur hidupnya sebagai pemimpin Palestina. Sementara itu, Israel terus mengukuhkannya sebagai teroris yang harus dieliminasi secepatnya. Dia diburu ke semua negara yang pernah disinggahi PLO: Yordania, Libanon, Tunisia. Dikabarkan, sedikitnya Arafat pernah lolos dari 40 kali lebih percobaan pembunuhan. Pada masa-masa awal memimpin PLO, Arafat memang mahir merancang berbagai strategi teror?langkah yang ia yakini dapat menarik perhatian dunia pada Palestina. Toh, melalui PLO pula, Arafat belajar memasuki latar diplomasi.
Orang masih terkenang akan penampilannya yang legendaris pada 1974 di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berbalut kafiyeh putih di kepala, dia berpidato: "Saya datang membawa ranting zaitun dan pistol pejuang kemerdekaan. Janganlah dibiarkan ranting zaitun ini luruh dari tangan saya." Empat belas tahun setelah pidato itu, pada 1988, Arafat menyerah pada "absurditas" yang pernah ia tolak mati-matian: mengakui Israel dan menerima negeri itu sebagai jiran Palestina. Sikap ini mendatangkan rasa kecewa tak terperikan di kalangan pejuang garis keras Palestina.
Kekecewaan terhadap Arafat kian membuncah tatkala ia menikahi Suha Tawil (28 tahun ketika itu) pada 1991. Uri Avnery, 81 tahun, penulis buku In the Fields of the Philistines dan wartawan Israel pertama yang mewawancarai Yasser Arafat pada 1982, melukiskan bahwa kekecewaan itu timbul terutama karena pertanyaan ini: "Mengapa Arafat, yang telah sekian lama `menikah dengan revolusi', memilih berumah tangga pada usia 62 dengan seorang wanita modern, blonda pula, dan bukan muslimah Arab?" Perkawinan ini membuahkan Zahwa, kini 9 tahun. Arafat menamai Zahwa menurut nama ibunya. Dan ia pernah berkata betapa Zahwa adalah "Palestina kecil" yang membuatnya kian terpaut pada tanah airnya.
Pada 1993, Arafat meneken Perjanjian Oslo, yang menetapkan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai wilayah Otorita Palestina. Tindakan ini mendidihkan darah anak-anak muda pelaku intifadah. Bagi mereka, Perjanjian Oslo adalah pengkhianatan terhadap Palestina. Toh, perjanjian itu membuahkan Nobel Perdamaian bagi Arafat, PM Israel Yitzhak Rabin, dan Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres pada Desember 1994. Enam bulan sebelum itu, Arafat kembali ke Gaza?seiring terbentuknya Otorita Palestina?untuk pertama kalinya setelah 25 tahun. Dua tahun kemudian, Arafat terpilih sebagai Presiden Palestina.
Di mata para penentangnya, era Arafat sudah tak patut lagi diteruskan sejak bertahun lampau. Dia dianggap terlalu lemah terhadap tekanan Israel dan Amerika. Sialnya, Israel justru menudingnya terlalu lemah menghadapi kelompok garis keras Palestina yang doyan mengoyak Israel dengan rentetan bom bunuh diri. Di dalam negeri, sebagian kalangan juga geram melihat Pak Tua kian lengket dengan sekumpulan confidante, orang-orang kepercayaannya, yang di mata mereka doyan korupsi.
Satu hal, Arafat tak pernah benar-benar membentuk kader yang siap menggantikan dia. Semua kekuasaan digenggam sendiri sampai akhir. Para anggota Hamas, terutama golongan muda, adalah satu kelompok yang amat mengecam sikap itu. Sekali waktu wartawan menanyakan soal itu kepada almarhum Ahmad Yassin, pemimpin spiritual Hamas yang sohor. Dan Yassin memilih jawaban bijak: "Kami menghormati Arafat sebagai pemimpin, walau berseberangan dalam garis perjuangan."
Dengan setumpuk kekurangan itu, Arafat tetap menuai hormat dan tangis berlimpah-ruah pada saat kematiannya. Di Palestina, bendera setengah tiang dikibarkan selama 40 hari. Kantor PBB di New York melorotkan bendera hingga setengah tiang sebagai tanda belasungkawa. Lebih dari 60 negara mengirim wakilnya ke Kairo. Dan 100 ribu lebih rakyat Palestina me-nyemut di Mutaqa pada 12 November saat jasadnya dikebumikan.
Bahkan di Paris, ribuan kilometer dari Ramallah, orang-orang menggelar doa dan orasi serta menyalakan lilin bagi Arafat di rue de la Convention dan rue lecourbe. Kontributor Tempo di Paris, Nuria W. Soeharto, yang menghadiri acara itu, melaporkan suasana "internasional" amat terasa karena "hadirin berasal datang dari berbagai kebangsaan". Yel-yel memuji Arafat diuarkan dalam rupa-rupa bahasa: Prancis, Spanyol, Italia, Inggris. Di salah satu poster, tertulis: "Kiranya Tuhan mem-berkati perjuanganmu, Arafat."
Ketika Zahwa, putri semata wayangnya, dilahirkan pada 1995, seorang wartawan asing bertanya kepadanya: "Pernahkah Tuan mengalami hal yang Tuan pandang sebagai keajaiban hidup?" Tercenung sesaat, Arafat menjawab: "Palestina dan Zahwa adalah keajaiban hidup saya."
Kedua keajaiban itu dengan setia menemani Arafat hingga ke tepi kubur, ketika tubuhnya bersatu dengan debu tanah Yerusalem dan ranting-ranting zaitun dari bukit-bukit Palestina.
Hermien Y. Kleden
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo