Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para tokoh legendaris selalu lebih menarik ketika mereka meringkuk menjadi manusia biasa. Itulah sebabnya film seperti Che: The Last Hours dan Der Untergang memiliki kesamaan. Kedua film itu menampilkan kisah hari-hari terakhir sang tokoh politik menjelang ajal menjemputnya. Film The Last Hours berkisah tentang eksekusi mati sang revolusioner Che Guevara, sementara Der Untergang bercerita seputar kematian sang diktator Adolf Hitler.
Tiga tahun belakangan, sejumlah film bernuansa politik lahir dalam berbagai bentuk: ada yang berbentuk dokumenter, seperti Che: The Last Hours dan Fahrenheit 9/11 dan ada pula yang berbentuk film cerita dengan latar belakang sejarah politik seperti Der Untergang, The Pianist, The Assassination of Richard Nixon, In the Time of Butterflies dan Kedma.
Yang menarik, sepanjang dua tahun belakangan ini , Tokoh revolusioner Amerika Latin Che Guevara menjadi sosok yang diangkat dalam tiga karya layar lebar, yakni The Last Hours, The Motorcycle Diaries, dan Che. Berikut ulasan atas sejumlah film politik yang muncul sepanjang tiga tahun terkahir, dan bisa dinikmati dalam versi cakram DVD.
Menapaki Jejak Revolusi Che Di hutan Quebrada del Yuro, Bolivia, sang revolusioner perlaya. Ia terperangkap di jurang Valle Serrano, Sungai Grande, dalam sebuah kancah pertempuran pada 8 Oktober 1967. Pahanya tertembak. Dia tertatih dipapah Simon Sarabia, seorang bekas penambang, Simon Sarabia. Ernesto Che Guevara, demikian sang revolusioner itu, akhirnya benar-benar tertangkap.
Kapten Gary Prado, komandan sebuah peleton yang ditugasi khusus menangkap Che, sontak mengirim sandi ke Kota Vallegrande: "Hello Saturno, we have Papa. Papa cansado." Saturno adalah kode untuk Kolonel Joaquin Zenteno, Komandan Divisi 8 Angkatan Darat Bolivia, dan Papa adalah kode untuk Che. Sedangkan cansado, yang arti harfiahnya "lemah", adalah kode bahwa tawanan terluka. Kapten Prado menerima balasan agar membawa "Papa yang lemah" itu ke La Higuera, sekitar tujuh kilometer dari Quebrada del Yuro. Malam mereka tiba di sana dan Che diikat di ruang sebuah sekolah.
Kawat itu juga diterima Felix Rodriguez, agen intelijen CIA. Pada 9 Oktober, Felix tiba di La Higuera. Di situ ia memotret dan menyita buku harian Che Guevara. Setelah diinterogasi semalaman, Felix menerima instruksi dari Vallegrande untuk melakukan operasi Six Hundred, kata sandi untuk membunuh Che. Sebelum ditembak, Che melalui Felix menitipkan pesan untuk istrinya dan Fidel.
Keesokan paginya, seorang sersan bernama Jaime Teran ditugasi mengeksekusi Che. Ketika Teran masuk ruang kelas, Che berusaha berdiri. Teran gugup, keluar dari ruangan, dan baru beberapa saat kemudian masuk kembali. Tanpa melihat wajah Che, ia menembak Che. Dan sang revolusioner legendaris itu pun tewas.
Babak demi babak menjelang ajal Che yang sungguh dramatis itu "diputar ulang" dalam sebuah film dokumenter berjudul Che: The Last Hours karya Romano Scavolini. Ini sebuah film yang berusaha melacak tewasnya Che yang masih simpang-siur: apakah ia terbunuh saat baku tembak di hutan, seperti resmi diumumkan pemerintah Bolivia saat itu, atau dihabisi dalam kondisinya sebagai tawanan.
Dalam film yang hampir seluruhnya hitam-putih itu, Romano Scavolini mencoba menguak kesimpang-siuran itu dengan mewawancarai saksi sejarah di sekitar Che. Scavolini mewawancarai Kapten Gary Prado, seorang pensiunan jenderal Bolivia. Ia juga mewawancarai dua orang campesino (petani) yang dalam pertempuran di Quebrada del Yuro membantu Che.
Di sekolah tempat Che dieksekusi, Scavolini berhasil mewawancarai Irma Rosado, seorang guru yang ruang kelasnya dipakai untuk penembakan itu.
Lantas, demi melacak mayat Che yang diterbangkan ke Vallegrande, ia juga berhasil mewawancarai Jenderal Jaime Nino de Guzman, mayor angkatan udara Bolivia yang dulu mengangkut jenazah Che dari La Higuera ke Vallegrande.
Di akhir film, Scavolini menampilkan wawancara dengan Susana Osinaga, perawat di rumah sakit Malta, Vallegrande, yang memandikan Che sebelum dikremasi. Dengan penuh kasih, Osinaga mengenang mayat Che yang telentang dan matanya terbuka. "Mata itu langsung menghunjam hati. Ia seperti Yesus Kristus," tuturnya.
Bila The Last Hours berkisah babak-babak terakhir kehidupan Che, maka film The Motorcycle Diaries karya sutradara Brasil, Walter Selles, bercerita tentang awal petualangan Guevara sebelum bergerilya. Sebelum ia tersohor dengan sapaan "Che" panggilan warga Kuba yang sepadan dengan "Bung" saat revolusi kita. Film ini bertutur tentang perjalanan Che bersama sahabatnya, Alberto Granado (seorang biokemis), selama hampir 10 bulan melintasi wilayah Amerika Latin dari Argentina, Cile, Kolombia, sampai Venezuela dengan sepeda motor.
Kala itu, Che berusia 23, seorang mahasiswa kedokteran yang gemar sastra dan olahraga. Sementara Granado berusia 30. Perjalanan itu merupakan perjalanan penemuan diri Che untuk memahami Amerika Latin. Kekaguman dan kegetiran Che terhadap penderitaan rakyat yang ditemuinya selama perjalanan disampaikan melalui narasi penuh komedi satir. Januari lalu, The Motorcycle Diaries tampil dalam Festival Sundance.
Hingga kini, di luar dua film tersebut, setidaknya sudah ada empat karya layar lebar nondokumenter yang mengangkat kisah heroik Che. Sebut saja, El "Che" Guevara karya sutradara Paolo Heusch (1968), Che! garapan Richard Fleischer (1969), Che yang disutradarai Roger Donaldson (1998), dan pada tahun 2000 Brett Ratner melayarlebarkan buku Che Guevara: A Revolutionary Life. Sementara sutradara Steven Soderbergh juga tengah menggarap film dengan judul Che yang akan diluncurkan pada Agustus tahun depan.
Bush yang Ditelanjangi Tatkala menara kembar WTC, New York, rontok diterjang pesawat terbang, Presiden AS George W. Bush tengah berada di sebuah kelas sekolah dasar di Florida. Bush saat itu bersiap-siap memberikan petuah di hadapan murid-murid sekolah tersebut. Tiba-tiba seorang ajudannya menghampirinya dan berbisik mengenai serangan terhadap simbol kapitalisme itu.
Mendengar itu, raut muka Bush memucat. Namun, yang mengagetkan, Bush bergeming. Ia tetap duduk diam, membolak-balik halaman buku cerita yang dipegangnya, My Pet Goat.
Detail adegan itu terekam dengan baik dalam film dokumenter Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore. Ini merupakan film dokumenter kedua dari sutradara Amerika yang namanya melejit setelah karya perdananya, Bowling for Columbine, mengemukakan paranoia masyarakat Amerika yang begitu getol mengandalkan senjata api dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan Fahrenheit 9/11 terang-terangan sangat anti-George Bush.
Moore mengawali filmnya dengan mengambil adegan pemilu terakhir di Amerika Serikat. Waktu itu, tingkat perolehan suara buat kandidat presiden Al Gore lebih tinggi ketimbang George Bush, sampai pada hari terakhir tiba-tiba Fox News menyiarkan perhitungan suara yang memenangkan Bush. Kejadian ini lalu diikuti jaringan televisi lainnya. Menurut Moore, kemenangan Bush adalah kemenangan yang layak digugat. Moore seakan menyatakan kepada penonton, "sesuatu" telah terjadi di balik layar sehingga Bush terpilih sebagai Presiden AS pada November 2000.
Lalu mulailah Moore mengungkapkan kebohongan demi kebohongan dan koneksi yang mencengangkan penonton: dari pemilik Fox News yang ternyata masih bersaudara sepupu langsung Bush; kedekatan Bush dengan keluarga Usamah bin Ladin, hingga dokumen penting yang mendasari keputusan George Bush menyerang Irak. Moore kemudian membuat relevansi kebijakan Bush dengan rakyat Amerika dan masyarakat dunia. Ia mengambil suasana batin sejumlah ibu yang anak-anaknya dikirim sebagai tentara dan meninggal di Irak.
Moore tak berhenti di situ. Ia juga mendatangi banyak anggota Kongres yang lewat di depan kantor Kongres. Ia mewawancarai ke setiap anggota Kongres: maukah mereka mengirimkan anak-anaknya ke Irak sebagai tentara demi membela kepentingan Amerika. Wajah para anggota Kongres pun merah padam. Banyak anggota Kongres yang bergegas masuk mobilnya, dan bahkan kabur begitu melihat Moore dan kameranya.
Pertengahan Mei 2004 lalu, dewan juri Festival Film Cannes Ke-57 yang diketuai sang maestro film Quentin Tarantino menganugerahi Palm d'Or untuk film Fahrenheit 9/11. Dan inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah Cannes, film dokumenter memperoleh penghargaan tertinggi Palem Emas itu dan bertengger untuk waktu yang lama di bioskop-bioskop komersial.
Hari-Hari Terakhir Sang Diktator Film The Downfall: Hitler and the End of the Third Reich menyuguhkan kisah kematian tokoh Nazi tersebut. Berjudul asli Der Untergang, film ini mengisahkan hari-hari terakhir kehidupan Hitler saat bersembunyi di sebuah bunker di Berlin, menjelang akhir Perang Dunia II. Disutradarai Oliver Hirschbiegel, film ini dimulai ulang tahun ke-56 Hitler pada 20 April 1945 hingga ditemukan tewas bunuh diri bersama sang istri, Eva Braun, sepuluh hari berselang.
Der Untergang diangkat dari buku sejarah karya Joachim Fest Inside Hitler's Bunker dan kesaksian sekretaris pribadi Hitler, Traudl Junge.
Menampilkan aktor Swiss, Bruno Ganz, sebagai Fuehrer Nazi, film ini menampilkan sosok Hitler dari sudut yang berbeda. Sepanjang 150 menit, film ini menyuguhkan adegan-adegan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya: Hitler menunjukkan kelembutan kepada sekretarisnya, membagi ciuman penuh nafsunya dengan Eva Braun, kekasih yang kemudian menjadi istrinya, atau menumpahkan saus makan malam di atas seragamnya.
Film ini juga memberikan sentuhan humor, meski sangat satir. Seorang hakim dibawa turun ke dalam bunker untuk menikahkan Hitler dan Eva Braun.
Meski jamak dilakukan dalam setiap upacara pernikahan, hakim itu mempermalukan dirinya dengan tetap menanyakan kepada pasangan itu, apakah keduanya benar-benar berdarah murni Aria.
Di babak akhir, Der Untergang menyajikan adegan horor nan mencekam. Para perwira SS menunaikan perintah terakhir Fuehrer agar melumuri mayatnya dan juga mempelainya dengan bensin dan membakarnya. Dikisahkan pula Magda, istri kepala propaganda Nazi, Joseph Goebbels, meracuni keenam anaknya yang masih kecil dengan menjejalkan secara paksa kapsul-kapsul sianida ke dalam mulut-mulut mungil yang berteriak-teriak ketakutan.
Kisah Bangsa yang Tercabik Film Kedma karya sutradara Amos Gitai ini berkisah tentang suasana Palestina pada Mei 1948, beberapa hari menjelang terbentuknya Negara Israel. Kedma dimulai di atas kapal tua berkarat yang membawa ratusan pengungsi Yahudi dari sejumlah negara Eropa. Setelah tercerai-berai ke sejumlah negara Eropa, para pengungsi itu ingin kembali ke tanah leluhurnya: Palestina. Mereka ingin memulai hidup baru, bebas dari segala macam penderitaan nan memilukan.
Kedma tak berkisah seputar bagaimana Israel menjadi sebuah negara. Film ini justru menampilkan impian, harapan, kekecewaan, yang disuarakan lewat karakter para pengungsi. "Lupakan semua penderitaan masa lalu bila kau ingin bertahan," kata Rosa, seorang perempuan Yahudi yang lolos dari kamp konsentrasi Siberia, kepada Menachem.
Suara-suara impian, harapan, dan kekecewaan, mereka terdengar begitu menyayat di penghujung film. Sembari mondar-mandir tak keruan, Janusz, rekan sependeritaan Rosa, meracau. "Hari saat kami diusir dari negara kami, kami menjadi orang yang tak punya sejarah," tuturnya. "Hanya kemiskinan, pengejaran, kesengsaraan, dan penderitaan." Bagai seseorang yang trance, Janusz kemudian meninggikan nada suaranya.
"Beberapa orang menganggap cara kami mengatasi penderitaan kami itu sebuah tindakan heroik. Peduli apa dengan heroisme! Itu adalah heroisme kekecewaan, ketika tak ada jalan keluar!"
Begitulah. Menurut Amos Gitai, film garapannya itu memang ingin menyajikan denyut yang berkerumuk di dalam pedalaman batin bangsa Yahudi yang terusir dari tanah leluhurnya. "Kedua, ingin memahami apa impian mereka, penderitaan mereka, dan kekecewaan mereka," ujarnya.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo