Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Suaka Gersang di Belantara Jakarta

Suaka Margasatwa Muara Angke kian terlupakan. Padahal, inilah harapan hidup burung dan satwa langka.

22 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibu itu tertegun di depan gerbang. Di sebelahnya, Suleman, anaknya yang baru berumur 8 tahun, terus merengek. ?Ayo dong, Mak?, kita lihat monyet. Mana monyetnya?? Rohmah, si ibu, hanya diam. Ia kelihatan ragu untuk terus melangkah. Dari tetangganya di Tangerang, Rohmah mendengar bahwa jika melewati gerbang, dia bisa melihat monyet. Tapi kok tak ada tanda-tanda makhluk lucu itu berkeliaran?

Rohmah, seperti mungkin ribuan orang lain, tak pernah mengira di Muara Angke, Jakarta Utara, ada sebuah kawasan perlindungan hewan dan tanaman. Suaka Margasatwa (SM) Muara Angke, nama resminya. Di sini, kata tetangga Rohmah, ada monyet, biawak, dan hewan-hewan liar yang menyelinap di balik kerimbunan bakau. Setelah ragu sesaat, akhirnya jadi juga Rohmah melangkah masuk ke suaka margasatwa yang sungguh tak terlihat sebagai tempat perlindungan hewan liar itu.

Memang, tak banyak yang tahu, hampir di tengah hutan beton Jakarta, terselip sebuah suaka margasatwa. Lokasinya hanya 500 meter dari perumahan mewah Pantai Indah Kapuk di Jakarta Utara. Dan ini jelas bukan tempat terpencil yang susah dicapai. Dari terminal bus Blok M atau Kampung Rambutan, orang bisa ke sini menggunakan bus jurusan Muara Angke.

Meski status resminya suaka margasatwa, jangan bayangkan di sana banyak pohon rindang, kicau burung, dan angin semilir yang sejuk. Di depan pintu masuk, agak di sebelah selatan, terbujur Jalan Raya Mandara Permai yang betonnya seolah mendidih di terik matahari. Di sebelah barat, terpasang pagar seng berwarna-warni. Sebuah papan berisi tulisan besar-besar, ?Pusat Bisnis dan Hunian Eksklusif Metro Pantai Indah Kapuk?, berdiri kukuh, seolah berteriak memberi tahu bahwa proyek raksasa itu bakal segera dibangun.

Alih-alih air jernih dengan suara gemericik, di sungai yang airnya hitam kental di dekat suaka itu bertumpuk gunungan sampah. Baunya menyengat, mengundang ribuan lalat. ?Tapi inilah sisa hutan alam yang harus kita pertahankan. Kita masih membutuhkannya,? kata Muniful Hamid, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta.

Sebagian besar wilayah suaka margasatwa ini adalah daerah genangan air payau. Meski terlihat berantakan, inilah satu dari sedikit hutan bakau yang tersisa di Jakarta. Dan wilayah inilah satu-satunya feeding ground, sumber makanan, berbagai jenis burung. Di sini sedikitnya 76 jenis burung?17 di antaranya jenis yang dilindungi seperti kareo padi (Amaurrornis phoenicurus), bubut jawa (Centropus nigrorufus), kuntul (Egretta spp.), pecuk (Phalacrocorax spp.), belibis (Dendrocygna spp.), dan raja udang (Todirhampus spp.)?berkeliaran bebas.

Selain dihuni burung, SM Muara Angke juga menjadi tempat hunian kawanan kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Tapi jangan bayangkan kera itu bergerombol-gerombol seperti di hutan Sangeh, Bali. Total kawanan kera yang tersisa diperkirakan tinggal 60 ekor. Mereka ditemani biawak (Varanus salvator), berang-berang (Aonix cinnerea), dan berbagai jenis ular. Sesekali, warga setempat mengaku pernah melihat jenis buaya muara (Crocodylus porosus).

Semua satwa itu hidup berkeliaran di wilayah seluas 25 hektare yang 90 persennya ditutupi rumput, gelagah, dan eceng gondok. Selebihnya, hanya sekitar 2,5 hektare yang bervegetasi hutan. Tercatat sedikitnya ada 42 spesies vegetasi terdapat di kawasan ini. Dari jumlah itu, 11 jenis di antaranya adalah jenis vegetasi mangrove seperti bakau (Rhizophora spp.), pidada (Sonnieratia caseolaris), nipah (Nypa fruticans), api-api (Avicennia marina), dan buta-buta (Exoecaria agallocha). ?Dua tahun lalu, 80 persen wilayah ini dalam kondisi rusak. Sekarang sudah berkurang, tinggal 60 persen dan akan terus kita kurangi,? kata Muniful.

Dengan kondisi seperti itu, masih pantaskah Muara Angke disebut suaka margasatwa? Dietrich Geoffrey Bengem, guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, menyebut kondisi Muara Angke ibarat mati enggan hidup tidak mau. Menurut dia, kawasan itu sebenarnya tidak terlalu layak disebut kawasan konservasi. ?Tapi setidaknya Muara Angke bisa berfungsi sebagai penyaring polusi dan pelindung pantai,? kata Bengem, yang juga Deputi Chief of Party Mitra Pesisir?organisasi kerja sama Indonesia dan Amerika Serikat yang memusatkan perhatian pada lingkungan pesisir.

Sejarah SM Muara Angke cukup panjang. Dulu, pemerintah Hindia Belanda sudah menyadari bahwa kawasan mangrove di Jakarta akan menjadi daerah urban. Melalui Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 18 Juni 1939, kawasan ini ditetapkan sebagai cagar alam seluas 15,40 hektare. Lalu, melalui SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 755/Kpts-II/1998, kawasan di wilayah administratif Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara ini diperluas menjadi 25,02 hektare. Statusnya pun berubah menjadi suaka margasatwa.

Untuk Jakarta, sebetulnya masih ada kawasan konservasi lain. Mereka adalah Suaka Margasatwa Pulau Rambut (45 hektare), Cagar Alam Pulau Bokor (18 hektare) di Teluk Jakarta, dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk (99,82 hektare)?kira-kira empat kilometer dari SM Muara Angke.

Meski kondisi Angke mengenaskan, Nyoto Santoso, Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP) Mangrove?lembaga yang terjun langsung dalam rehabilitasi Muara Angke?tetap optimistis. Menurut dia, Muara Angke masih menjalankan fungsinya sebagai kawasan konservasi. ?Di sana masih bisa menjadi kawasan persinggahan berbagai fauna,? katanya.

Sejak tahun 1999, LPP Mangrove dan BKSDA DKI Jakarta bekerja sama membuat rencana jangka panjang pengelolaan SM Muara Angke hingga tahun 2028. Rencana ini sudah dimulai sejak tahun 2000. Saat itu, berlangsung gerakan penanaman sekitar 11.500 batang pohon pidada. Salah satu rencana mereka adalah membangun jalan berkeliling suaka dan kanal selebar enam meter yang bisa diarungi sampan. ?Muara Angke tetap punya potensi,? kata Nyoto.

Potensi saja tentu tidak cukup tanpa kerja keras dan dana. Padahal, dana pemerintah tak pernah memadai. ?Habis hanya untuk dana patroli kawasan,? kata Muniful.

Jika perhatian tidak ada, apalagi dana, si bocah Suleman pasti tak perlu merengek, karena memang tak ada lagi monyet di sana.

Raju Febrian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus