Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Condoleezza Rice menggantikan Colin Powell, dan dunia tempat kita berpijak barangkali tidak akan seperti dulu lagi. Peristiwa yang terjadi dua pekan lalu itu bersahaja: Rice kini mengisi posisi menteri luar negeri, Powell mengucap selamat tinggal pada kabinet Presiden George W. Bush. Keduanya sama-sama berkulit hitam, berkecimpung di bidang yang sama, diplomasi internasional, tapi perbedaan isi kepala mereka mungkin seperti bumi dan langit.
Colin Powell, sebuah dissenting opinion dalam kabinet Bush selama ini, memang telah meninggalkan kabinet yang agak homogen: dengan arus utama "garis keras", bersemangat menerapkan ide-ide pre-emptive defense. Ide yang, seperti diketahui, membuat Amerika Serikat tampil begitu agresif di negeri orang: Irak atau Afganistan. Dan telah lama Powell dikenal tidak akur dengan Wakil Presiden Dick Cheney dan Menteri Pertahanan Donald H. Rumsfeld, terutama dalam soal invasi ke Irak.
Sedangkan Condoleezza Rice, mantan penasihat keamanan nasional, adalah seorang loyalis Presiden Bush, sosok yang bisa berbicara santai, dari hati ke hati dengan Bush. Seorang kawan yang tak akan ragu bertindak bila Bush dinilainya dalam keadaan "terancam". Rice bukan orang baru bagi keluarga besar Bush. Bahkan saat Bush menjadi Gubernur Texas, wanita kelahiran 14 November 1954 itu sudah dipercaya menjadi penasihatnya.
Saat kebijakan Bush menyerbu Irak diserang habis-habisan, doktor bidang politik itu membelanya. Wanita lajang yang mahir bermain piano klasik itu bahkan berani membentuk sebuah tim stabilisasi Irak meski tidak disetujui Rumsfeld. Dia tidak segan-segan mengkritik kebijakan koleganya yang dianggap lamban menangani kasus seperti penganiayaan tawanan Irak di Abu Ghuraib. Rice pula yang menganjurkan agar "menghukum" Prancis dan Jerman karena tidak mendukung serangan ke Irak. Kebijakan AS terhadap Korea Utara, Palestina, dan Cina juga tidak lepas dari "sentuhan" tangan Rice.
David Rothkopf, penulis buku Running the World yang berisi sejarah tentang Dewan Keamanan Nasional, menilai kinerja Rice kurang efektif karena kedekatannya dengan Bush. Meski secara jabatan kekuasaan penasihat keamanan di bawah bayang-bayang Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri, Rice mampu membawa diri. "Hubungan uniknya dengan Presiden memungkinkan Rice `melawan' Rumsfled. Rice mempunyai peluang penyeimbang lebih baik dibanding Powell empat tahun silam," kata Rothkopf.
Posisi penting lain yang menentukan kebijakan luar negeri AS adalah Menteri Pertahanan yang tetap dipegang Donald Rumsfeld. Bukan tanpa alasan, tentu saja. Rumsfeld selama ini dikenal loyalis sejati dan tidak pernah berkata tidak terhadap keinginan Bush. Strategi AS di Irak, termasuk pengiriman pasukan, adalah karya Rumsfeld, dibantu wakilnya, Paul Wolfowitz. Termasuk juga penanganan "kasus" Abu Ghuraib. Meski dinilai gagal bahkan ditentang koleganya Colin Powell, di mata Bush dia sudah bekerja seperti keinginannya. Rumsfeld juga dikenal "sehati" dengan Wakil Presiden Dick Cheney yang juga beraliran "hajar terus".
Tidak kalah pentingnya dalam mendukung Bush adalah Central Intelligence Agency (CIA). The Economist menyebut CIA adalah satu dari tiga "instansi" yang sangat menentukan arah kebijakan luar negeri AS. Porter J. Goss dipercaya Bush mengisi Direktur CIA, menggantikan George Tenet, yang mengundurkan diri awal Juni silam.
Tenet dianggap mbalela dan memberikan data tidak valid mengenai Saddam Hussein dan senjata pemusnah Irak. Bisa jadi, hasil laporan Iraq Survey Group pada September 2003, yang menyebut tidak ditemukan senjata pemusnah di Irak, membuat malu Bush. Padahal salah satu alasan menyerang Irak adalah soal itu. Badan bentukan CIA itu memang diberi tugas oleh Gedung Putih memburu senjata pemusnah massal di Irak. Bisa jadi, CIA di bawah Goss akan mudah "diatur" Bush.
Posisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah jaksa agung. Setelah John Ashcroft mengundurkan diri, Bush menempatkan Alberto Gonzales sebagai penggantinya. Mantan penasihat hukum Gedung Putih itu dikenal punya hubungan dekat sejak Bush masih menjadi Gubernur Texas. Saat masih di Gedung Putih, Gonzales pernah membuat memo yang memungkinkan orang Amerika menyiksa tawanan tanpa terkena hukuman. Sistem di penjara Teluk Guantanamo yang tidak mengindahkan Konvensi Jenewa termasuk buah pikir Gonzales.
Sebuah kabinet yang kompak, bahkan monolitik, telah terbentuk. Ia bisa bergerak efektif, bisa juga rontok karena sering menutup kuping terhadap kritik orang luar.
Johan Budi S.P. (Times, BBC News, AFP,AP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo