Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN keenam Iran telah terpilih. Suasana pesta yang menggedor jantung di negeri dengan hampir 71 juta penduduk itu usai sudah. Tak ada lagi gelegar kampanye yang membelah kota. Ketegangan pengumpulan suara kedua calon, Ali Akbar Hashemi Rafsanjani dan Mahmoud Ahmadinejad, yang susul-menyusul kini hanya terlihat dalam onggokan dingin kertas suara. Iran baru tuntas menakik fase mutakhir dalam sejarahnya: memilih presiden dalam dua putaran. Peristiwa ini tak pernah terbayangkan ketika Republik Islam Iran berdiri 26 tahun lalu.
Saat berita ini ditulis, Jumat malam pekan silam, pemilu putaran kedua baru saja berlangsung. Hasil jajak pendapat pada 19.899 responden yang dilakukan empat hari sebelumnya oleh Khabar Guzori-e Fars dan Seda Simo (Islamic Republic of Iran Broadcasting atau IRIB), lembaga yang membawahkan semua stasiun TV dan radio di Iran, menunjukkan Ahmadinejad menyabet 48 persen suara, Rafsanjani meraup 36 persen. Sisa 16 persen suara masih belum menentukan pilihan. Responden untuk jajak pendapat ini tersebar di 30 provinsi, 51 kota, dan 320 desa, dengan komposisi 55 persen pria dan 45 persen wanita.
Dari 30 provinsi (ostan-haa), Ahmadinejad yang kini menjadi Wali Kota Teheran unggul telak di 28 provinsi. Dia hanya menyisakan hanya dua provinsi bagi mantan presiden Rafsanjani (1989-1997). Walhasil, meski politikus senior berumur 70 tahun ini banyak didukung oleh organisasi-organisasi politik dan tokoh-tokoh reformis di Iran, serta di atas kertas bakal menang dalam pemilu tahap kedua, hasil jajak pendapat itu sungguh melambungkan hati para pendukung Ahmadinejad.
Ahmadinejad adalah seorang doktor ilmu transportasi dari Universitas Teheran. Menyebut dirinya sebagai mardomyar (sahabat rakyat), dia membangun kebanggaan nasionalisme Iran dengan membela program nuklir negaranya. Sementara itu, Rafsanjani yang ikut mendirikan sendi-sendi Iran sebagai negara teokrasi bersama Ayatullah Khomeini, justru siap bernegosiasi dengan AS dan Barat dalam isu nuklir (lihat Robin Hood Konservatif dan Imam Moderat).
Kini setelah sang pemenang diketahui, tak berarti presiden terpilih bisa segera bekerja dengan tenang. Polarisasi kedua kubu yang nyaris berseberangan dalam segala hal, membuat tensi politik Iran meninggi di hari-hari terakhir menjelang pemilihan. Ini "piring kotor" pertama yang harus segera dibersihkan oleh presiden baru Iran: menormalkan kembali kondisi psikologis kedua kubu yang telah usai bertarung.
Tempo menyaksikan dari jantung Teheran dan kota suci Qom bagaimana kampanye negatif terhadap kedua kandidat menyelinap di saat-saat terakhir menjelang pemungutan suara. Di Valey Asr, kawasan pusat kota di Teheran, jalan utama sampai ditutup polisi untuk kendaraan pribadi dan umum karena kawasan itu dibanjiri pendukung Rafsanjani. Begitu juga suasana di Jalan Syahid Chamran, di Medan Hafte Teer, meski tak separah di Valey Asr.
Di kawasan Porke Mellat (Taman Nasional) yang merupakan pusat rekreasi keluarga pada musim panas, pendukung Rafsanjani semula mendominasi lapangan. Namun, entah siapa yang memulai, tiba-tiba terdengar ungkapan: Rafsanjani kini tak ubahnya "Shah Iran Baru" karena kekayaannya. Karena itu, dia tak didukung oleh kalangan intelektual radikal seperti pemenang Nobel Shirin Ebadi. Ahmadinejad disebut-sebut akan menerapkan peraturan Islam yang ketat. "Bahkan beredar kabar Taliban akan bergerak lagi jika Ahmadinejad menang. Ini kebohongan luar biasa," ujar Mehdi Chamran, salah seorang kepercayaan Ahmadinejad.
Di Qom, yang secara tradisional merupakan kota mullah (ulama), sebaliknya yang terjadi. Tempo yang masuk ke gang-gang yang padat penduduk selalu melihat gambar Ahmadinejad menghiasi pintu-pintu rumah. Praktis tidak ada gambar Rafsanjani di sana. Seorang anak muda bernama Ahmad Taqi tiba-tiba meradang ketika dibagikan pamflet kampanye Rafsanjani yang di halaman utamanya terdapat gambar Imam Khomeini. "Kenapa gambar Imam dicetak di halaman depan? Apa hubungannya Imam dengan kampanye presiden sekarang?" katanya ketus. Ternyata Taqi tidak suka jika gambar Imam digunakan untuk meraih simpati masyarakat, karena Khomeini adalah milik seluruh bangsa.
"Piring kotor" kedua yang harus segera dibersihkan sang presiden adalah bagaimana menekan tingkat konsumsi makanan dan penggunaan bahan bakar minyak sehari-hari. Ini problem kronis yang belum terpecahkan sejak pemerintahan mantan presiden Mohamad Khatami. Defisit anggaran negara yang mencapai US$ 7,5 miliar (sekitar Rp 71,25 triliun) per tahun untuk menopang subsidi ini akan menjadi kerikil tajam di bawah bantal presiden. Mengingat sektor pertanian memiliki daya serap terbesar terhadap tenaga kerja22 persen dari jumlah angkatan kerjamaka pemotongan subsidi bagi kebutuhan dasar, seperti makanan, bisa menimbulkan gejolak.
Rafsanjani yang didukung kalangan pelaku bisnis memiliki pengalaman manajerial kepresidenan yang memadai dalam menangani problem-problem ekonomisuatu aspek yang dianggap sebagai kelemahan Ahmadinejad.
Sampai kini, parlemen Iran masih didominasi kubu konservatif. Sedangkan masyarakat Iran "terbelah" hampir sama kuat di kedua kubusetidak-tidaknya hingga ambang pemilu.
Alhasil, empat tahun ke depan tampaknya tak akan mudah bagi nakhoda baru Iran.
Akmal Nasery Basral (Jakarta), Mujtahid Hashem (Teheran dan Qom)
Robin Hood Konservatif Mahmoud Ahmadinejad
- Lahir di Garmsar, dekat Teheran, pada 1956. Ayahnya seorang pandai besi.
- Bergabung dengan Pengawal Revolusi dan turut mendirikan organisasi mahasiswa yang mengambil alih Kedutaan Besar AS pada 1979.
- Pernah ikut dalam operasi rahasia di Irak.
- Doktor bidang transportasi dari Universitas Teheran dan pernah mengajar di almamaternya.
- Wali Kota Teheran. Dia menutup restoran-restoran cepat saji di Ibu Kota, mewajibkan pegawai pemda pria memelihara janggut dan mengenakan baju lengan panjang.
- Populis yang hidup sederhana dan kukuh dalam melawan korupsi. Pada situs pribadinya ia menyebut diri sebagai Mardomyar (sahabat rakyat).
- Berjanji akan membagikan kekayaan Iran kepada kaum duafa.
- Mendapat dukungan dari imam konservatif dan kelas pekerja.
- Membela program nuklir Iran.
- Hubungan dengan Amerika Serikat bukan prioritas.
Imam Moderat Akbar Hashemi Rafsanjani
- Lahir dari keluarga petani di tenggara Iran pada 1934, tapi belakangan dapat hidup sejahtera berkat bisnis keluarga.
- Belajar teologi kepada Ayatullah Khomeini di kota suci Qom. Beberapa kali dijebloskan ke penjara di masa Shah Iran Reza Pahlevi berkuasa.
- Menjabat komandan angkatan bersenjata saat Perang Irak-Iran (1980-1988), ketua parlemen (1980-1989), Presiden Iran dua periode (1989-1997), Ketua Majelis Kebijaksanaan (2002).
- Tokoh konservatif pragmatis. Bagian dari lingkar kekuasaan kaum imam tapi berpandangan lebih luas, konsisten menyerukan reformasi secara moderat.
- Mendukung kebebasan perempuan yang lebih besar, antara lain kebebasan menggunakan jilbab tanpa harus menutup seluruh tubuh dan boleh berkerudung warna-warni. Anak perempuannya, Faezeh Hashemi, adalah aktivis hak-hak perempuan.
- Didukung kelas menengah-atas (intelektual dan pengusaha) yang lelah dengan isolasi Iran. Dia tokoh favorit kalangan yang menginginkan kebebasan sosial yang lebih besar di Iran.
- Dalam isu nuklir siap bernegosiasi dengan AS dan Barat.
- Keras terhadap AS tapi tetap merintis hubungan dengan negara-negara Barat yang lain.
R. Fadjri (BBC, NYT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo