Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Covarrubias, si Meksiko trendy itu, boleh jadi orang yang mencitrakan Bali sebagaimana yang dikenal atau, lebih tepat, diingat kita sekarang ini. Bukunya yang klasik, Island of Bali, memang menghadirkan sosok perempuan gemulai nan elok yang mengusung sesaji, atau tengah mandi tak berbusana di pancuran. Itulah yang kemudian menjadi realitas imajiner yang melekat di benak, bahkan jauh sebelum kita mengalami kenyataan Bali sebenarnya. Tapi, bukankah pencitraan memang kerap unggul atas realitas sejatinya!
Nama Bali, bagi pelancong mana pun, selama puluhan tahun selalu menimbulkan citra eksotis, pendeknya gambaran suatu firdaus duniawi. Dalam pencitraan tersebut, tak tertolak peran yang dimainkan oleh pengarang Meksiko yang merangkap kartunis dan illustrator itu. Bukunya tentang Bali kini tercatat sebagai paparan terbaik mengenai pulau yang, anehnya, oleh kebanyakan orang Indonesia juga diidamkan sebagai pulau ”dewata” itu.
Siapakah Miguel Covarrubias (1904-1957) ini? Tentu dia bukan sembarang pelancong. Berbeda dengan pengunjung Bali tahun 30-an umumnya, dia bukanlah datang dari Eropa atau Amerika Serikat, melainkan dari Meksiko, dengan latar keluarga yang bukan kebanyakan. Sosok yang unik itu tak tuntas bersekolah di SMA: dia mencederai kepala gurunya. Namun, ia memang disuratkan punya jalan nasib tak biasa. Dikaruniai pesona dan bertalenta sebagai illustrator serta kartunis, namanya cepat mencuat dan harum di tengah kalangan elite negaranya, bahkan sampai Paris dan New York—tempat ia berteman dengan kaum jetset kosmopolitan. Selama di Meksiko, Covarrubias juga berkarib akrab dengan pelukis mural ternama, Diego Rivera, sang pelopor gerakan modernis seni non-Eropa. Seperti Diego Rivera, dia tertarik dengan garis kontur khas yang melengkung tak bersiku, warisan kebudayaan pra-Colombian di Meksiko itu.
Lalu, sihir apakah gerangan yang membuatnya terpikat datang ke Bali bersama istrinya, Rose, yang baru saja dinikahinya itu? Tak lain adalah pesona wanita Bali tengah mandi di pancuran, tanpa busana, yang dilihatnya di foto-foto Gregor Krause (1920), seorang dokter Jerman yang sempat bermukim di Bali menjelang Perang Dunia Pertama. Foto-foto itu menyiratkan masyarakat yang belum tercemari oleh kemodernan maupun kemunafikan moral. Pada waktu itu sebagian seniman dan intelektual memang sedang dihantui kesangsian besar tentang ke arah mana kebudayaan Barat pasca-Perang Dunia Pertama, dengan kemelut ekonomi tahun 1929 dan demam revolusi Bolshevik yang merebak ke mana-mana. Mereka, kaum kaya terdidik itu, merindukan sebuah negeri utopis tempat menghindari silang-sengkarut budaya. Para penghayat keragaman kultur ini pada galibnya merupakan lapisan tersendiri. Di antara mereka yang datang ke Bali dan membangun citra pulau ini terdapat sederet nama harum, semisal pelukis Jerman kelahiran Moskow Walter Spies, antropolog Amerika Margaret Mead dan Gregory Bateson, serta sutradara film Goona-Goona Victor von Plessen. Tentu Covarrubias adalah bagian dari kaum yang ber-”kelas” itu.
Semula, pria pesolek terakhir ini sekadar ingin singgah. Setelah enam minggu terayun di atas kapal api di lautan, setiba di Bali, dia seketika jatuh cinta pada kultur dan alamnya, lalu bertekad akan datang kembali. Bukunya yang terkenal itu dikerjakan setelah kunjungannya yang kedua, pertengahan tahun 1933, yang dibiayai oleh Yayasan Guggenheim. Jarang yang mengetahui, naskah asli buku yang melahirkan citra Bali nan memikat itu sesungguhnya ditulis dalam bahasa ibunya, Spanyol, bertajuk Isla de Bali. Deskripsinya tentang Pulau Dewata layaknya sebuah catatan etnografi, akan tetapi ditulis dengan bahasa populer yang lugas, disertai luapan empati kepada penduduk dan tradisi asli Bali.
Dengan jarak sejarah, kehadiran Covarrubias serta rekan-rekannya seperti Spies dan Bonet itu kini patut direnungkan ulang. Di dalam buku Bali Paradise Created, A. Vickers mempertanyakan peranan orang asing yang, dengan mengkonstruksi citra Bali sebagai surga terakhir, mengabaikan kenyataan adanya konflik kasta, kekejaman penjajahan, dan kekerasan lainnya. Tak terhindarkan, kelompok pelancong asing di atas pada hakikatnya adalah juga bagian dari sistem kolonial tersebut. Disadari atau tidak, mereka menempati dan sekaligus menikmati status serta penghormatan tersendiri yang memposisikan mereka dalam keunggulan terhadap kaum pribumi. Namun, kini, lebih tepat dikatakan bahwa mereka pada dasarnya berada di dua simpang historis dominasi. Yaitu yang bersifat kolonial, melalui kuasa langsung atas nasib kaum terjajah, dan dominasi melalui pariwisata, yang kini merajalela, di mana orang asing ”mengkonsumsi” kebudayaan-kebudayaan yang diminatinya.
Adalah keniscayaan tak terelakkan, siapa pun orangnya pastilah terbawa di dalam dirinya suatu sistem dominasi yang akan berlaku semasa hidupnya. Maka, sulit mengharapkan dari pihak-pihak yang terkungkung dalam ”ketenteraman” akan adanya kesadaran yang mendahului zamannya. Namun, apa pun biasnya, buku seperti Island of Bali menandakan adanya upaya berkomunikasi dengan ”kelainan” kultural—sesuatu yang tidak lazim untuk zaman itu, tahun 1930-an, yang sarat dengan semangat ultra-nasionalis dan fasis itu.
Di antara hal yang dikupas oleh Covarrubias adalah kecemasannya akan masa depan Bali, dan akibat negatif pariwisata dan budaya asing. Memang, Covarrubias telah mengkhawatirkan hancurnya kebudayaan Bali di hadapan ”pembaratan” dan serbuan kaum turis. Di lain pihak, dia menyadari mustahilnya pulau ini bertahan sebagai museum hidup sebagaimana digagas kaum kolonial zaman itu. Kenyataannya, kini Bali tak seperti yang diprihatinkan oleh Covarrubias. Justru setelah Indonesia merdeka, Bali memperlihatkan kemampuan bertahan yang tak terduga. Orang Bali, dengan diakuinya agama mereka resmi oleh negara, dan kini dengan desentralisasi, telah menemukan perangkat institusional yang memungkinkan mereka mengekspresikan jatidirinya dalam kesatuan negara multikultural ala Indonesia. Kristenisasi yang dicemaskan oleh Covarrubias malahan tak terjadi.
Apakah optimisme masih layak? Dalam kurun tak lebih dari 30 tahun saja, sepanjang gerusan Orde Baru, Pulau Bali telah terkikis oleh modal raksasa, asing maupun nasional, yang telah merombak segenap tatanan perekonomian dan sosial dan menempatkan kebudayaan Bali yang dikaguminya itu tak lebih dari suatu unsur minor dari keseluruhan sistem sosial yang ada di Bali. Akibatnya, terbentuklah suatu alienasi yang tak jelas juntrungannya ini.
Sebagai orang asing pula, belakangan ini saya tergelitik pertanyaan. Sejauh manakah absahnya intervensi pribadi-pribadi asing dalam kebudayaan Bali khususnya dan Indonesia umumnya? Memang, adalah sungguh suatu paradoks meminta seorang penulis ”bule” seperti saya mengomentari citra ”bule” lainnya yang berhasil mencitrakan Bali sedemikian rupa sehingga begitu termasyhur. Tapi, siapa tahu ini adalah keniscayaan panggilan: citra yang dibangun orang bule patutlah dibongkar, terlebih oleh sesama bule. Bahkan dengan nada ironis: sementara dulu orang bule mendambakan surga Bali dengan citraan wanita tanpa busana, kini tidakkah justru sebagian elite Jakarta berduyun ke Bali karena memimpikan ”firdaus” ini dengan wanita bule telanjang—meski sebagian lainnya malahan menganggapnya sebagai sepotong tanah mesum belaka. Astaga!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo