Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari sudah turun perlahan pada sebuah Sabtu di Manila. Tanggal 22 Februari 1986 belum selesai. Kardinal Sin akhirnya sudah tetap pada keputusannya. Dia akan berseru kepada penduduk Manila. Dia mengangkat telepon, "Hubungi radio Veritas."
Maka, para bapak tergopoh melaksanakan permintaan yang disampaikan dengan suara yang serius itu. Untuk Sin, seorang bapak bagi umat Katolik di Filipina yang terkenal ramah dan penuh guyon, kalimat stakato, pendek, dan penuh tekanan itu memiliki arti penting. Sudah waktunya untuk bergerak. "Tolong udarakan, saya ingin menyampaikan sesuatu."
"Yang Mulia, silakan...."
Sang Kardinal mengambil napas dan menyampaikan seruannyayang kelak kemudian menjadi sejarah bukan hanya di Filipina, tetapi di dunia"Saya berseru kepada semua anak-anak Tuhan di Manila..., keluarlah dan pergi ke EDSA."
Manila senyap demi mendengar suara sang Bapak. Ini imbauan politik, bukan lagi misa pagi.
"Kawan-kawan kita, Jenderal Fidel Ramos dan Menteri Juan Ponce Enrile sudah ada di markas Aguinaldo. Tank-tank dan truk berisi tentara yang bersenjata tengah bergerak bersama mereka. Kita harus bergandengan bersama kekuatan ini. Kita harus membuat keseimbangan dari kaum sipil agar tidak terjadi kekerasan dan pertumpahan darah. Kita harus melakukan ini untuk mencegah pertikaian senjata. Saya mengimbau seluruh anak-anak Tuhan di Manila, pergilah ke EDSA!!"
Dua juta warga Manila berbondong-bondong ke EDSA, sebuah jalan terbesar dan terpanjang di Manila yang kemudian menjadi bagian dari sejarah perubahan negara itu. EDSA penuh oleh mahasiswa, tentara, pastor, biarawati, pengacara, eksekutif, buruh, ibu rumah tangga, pembantu, dan kaum jompo. Seluruh Manila plek-tumplek meminta Presiden Ferdinand Marcos mengundurkan diri. Mereka melakukannya bukan dengan gedoran senjata, melainkan dengan butiran rosario, salib, patung kecil Bunda Maria, kaus dengan gambar Corazon Aquinojanda politisi Benigno Aquino yang ditembak mati saat mendarat di Maniladan bendera Filipina. Memang itu lebih seperti sebuah karnaval.
Tetapi "karnaval" inilah yang kemudian menyetop serangkaian tank, truk-truk berisi tentara bersenjata, artileri, dan helikopter. Bisa dikatakan, inilah revolusi pertama yang "didorong" oleh suara dari radio. Sebuah revolusi yang disaksikan secara langsung melalui televisi di New York, Paris, London, Roma, Rio de Janeiro, Melbourne, Beijing.
Di kemudian hari, para pengamat politik tentu saja membuat ulasan, ini adalah sebuah momen yang sudah mencapai titik didih di mana elemen militer, sipil, dan Gereja sudah sama-sama merasa: sudah waktunya untuk bergerak. Imbauan Kardinal Sin "hanyalah" sebuah restu seorang bapak, bukan berfungsi seperti tongkat konduktor dalam sebuah orkestra. Yang harus diingat saat itu, meski Filipina saat itu sudah mencapai titik didih atas situasi korupsi dan kezaliman Presiden Marcos dan keluarganya, suara Kardinal Sin mempunyai pengaruh yang penting bagi warga Filipina yang dikenal sebagai umat Katolik yang kuat. Siapa pun presiden yang terpilih atau calon presiden yang populer, warga Filipina tetap akan mendengarkan titah sang Bapak.
Sang Bapak baru saja pergi. Dia meninggal dunia Selasa pagi pekan silam waktu Filipina pada usia 76 tahun, setelah bertahun digerogoti diabetes dan gangguan ginjal. Filipina, terutama generasi yang mengalami Revolusi EDSA, terdiam. Kardinal Sin bukan hanya seorang bapak biasa yang akan meluncurkan kata-kata bijak. Dia percaya pada peran Gereja yang jauh dalam menjalankan pemerintahan. Mereka yang tak nyaman akan menyebutnya "intervensi Gereja", mereka yang percaya pada tangannya akan menyebutnya "perhatian moral". Kardinal Sin tak pernah pusing dengan sebutan apa pun. Dengan gaya yang nyeleneh, penuh humor, Kardinal Sin akan mempersilakan wartawan yang mewawancarainya dengan kalimatnya yang terkenal, "Welcome to the House of Sin ."
Lahir 31 Agustus 1928 dari ayah keturunan Cina, Jaime Sin adalah putra ke-14 dari 16 bersaudara. Sin diangkat menjadi kardinal pada usia 47 tahun dan, meski dia dikenal sebagai seorang kardinal yang lincah, penuh humor, dan "liberal" dalam pandangan politiknya, dia tetap seorang bapak yang sangat konservatif dalam agama. Aborsi, perceraian, dan kontrasepsi tetap larangan keras bagi dia, tanpa tawar-menawar.
Pada masa pemerintahan Ferdinand Marcos yang begitu panjang, lama, dan diktatorial, sang Kardinal beberapa kali menyindir dengan gayanya yang humoris. Saat Presiden Marcos memuji pemilihan umum di AS yang berjalan dengan singkat, Kardinal Sin menjawab dengan sarkastik bahwa seharusnya Marcos mengagumi pemilu di Filipina di mana hasilnya sudah diketahui jauh sebelum pemilu berlangsung.
Setelah Presiden Ferdinand Marcos akhirnya "tersingkir" ke Hawaiitentu saja setelah pembicaraan bersejarah antara Presiden AS Ronald Reagan dan Marcos melalui teleponSin kemudian menjadi semacam "penasihat spiritual" tak resmi Presiden Corazon Aquino. Setiap saat, setiap kali sang Ibu mengalami guncanganingat dia digoyang tujuh kali oleh percobaan kudeta selama pemerintahannyaadalah Kardinal Sin yang selalu menasihatinya dan mengajaknya berdoa. Hampir setiap wartawan Tempo yang berkunjung ke Manila, setelah jungkir-balik mewawancarai berbagai tokoh, pastilah wajib sowan ke permukimannya yang putih bersih itu sembari dipersilakan duduk di "the House of Sin".
"Waktunya akan datang untuk Indonesia," kata Kardinal Sin saat saya mewawancarainya tahun 1989. Saat itu Indonesia masih jauh dari reformasi. Dan tanpa dibahas, Kardinal Sin sangat paham akan kerinduan masyarakat Indonesia untuk "perubahan". Dia mengatakan bahwa Filipina sangat bangga negaranya bisa mengadakan perubahan tanpa menitikkan darah. Dan sebutan "people power" tampaknya akan menjadi sebuah model yang dirindukanjika tidak digunakan dan dipraktekkansebagai kekuatan untuk mengadakan perubahan pemerintahan (tanpa ingin menyebutnya sebagai "kudeta").
Presiden berikutnya setelah dua kali pemerintahan Corazon Aquino adalah Fidel Ramos, seorang jenderal beragama Protestan yang kemudian "diterima" oleh Kardinal Sin dengan hati gundah-gulana. Bukan karena dia beragama Protestan, melainkan karena gosip yang beredar tentang kekasih simpanan sang Jenderal. Ingat, meski soal politik, seks, dan bisnis hiburan di Filipina saling berkaitan dengan mesra, sang Kardinal sungguh tak nyaman dengan kisah seperti ini. Apa boleh buat, sobat Cory Aquino sudah mengumumkan calon presiden pilihannya pada saat kampanye. Dengan saingan enam orang kandidat, antara lain Miriam Defensor Santiago, Imelda Marcos, dan seterusnya, sang Jenderal melenggang dengan mulus pada tahun 1992. Pada masa pemerintahan Ramos, tentu saja hubungan keduanya tak selalu mulus, terutama karena Ramos percaya pada hak penggunaan kontrasepsi, sementara sang Kardinal tetap bersikeras pada larangan penggunaannya. Ramos kemudian memberi sebutan "Divine Commander-in-Chief" kepada Kardinal Sin, pimpinan umat Katolik yang mau tak mau harus digandengnya itu.
Peran Kardinal Sin mengalami pasang naik lagi ketika Filipina dipimpin oleh mantan aktor Joseph Estrada. Presiden yang dianggap sebagai "pembela rakyat kecil" ini juga kurang mendapat tempat di hati Kardinal Sin, bukan karena tuduhan korupsi yang luar biasa, melainkan juga lantaran para istri dan kekasih serta anak-anak di luar nikahnya yang tersebar di setiap pelosok Filipina. Itu semua diakui dengan santai oleh sang Presiden. Maka, pada tahun 2001, sang Kardinal beserta para bapak dan pengikutnya lagi-lagi melakukan "people power part 2". Dia mengimbau rakyat supaya ikut menyingkirkan Estrada dan menaikkan Wakil Presiden Gloria Arroyo untuk menggantikan Estrada. Sin berhasil.
Tiga tahun kemudian, dia meletakkan jabatannya sebagai pemimpin umat Katolik di Filipina, namun toh dia tetap dianggap sebagai bapak yang paling berpengaruh di Asia Tenggara. "Kewajiban saya adalah meletakkan Yesus di dalam politik," katanya dalam upacara perpisahannya.
Sang Bapak kemudian benar-benar pergi. Ia digantikan oleh Sin Gaudencia Rosales, yang berasal dari Cebu. Jenazah Sin disemayamkan di Gereja Katedral Manila. Menurut laporan Wicaksono dari Tempo, yang saat itu berada di Manila, pada malam kepergiannya, warga Manila memadati Gereja Katedral Manila untuk berdoa atau sekadar melihat jasad Sin yang diletakkan dalam sebuah peti kayu bertutup kaca tembus pandang. Sebuah buku tamu diletakkan di depan gerbang. Ada ratusan nama yang sudah mengungkapkan rasa simpati untuk Sin di buku itu. Di antara nama-nama itu, paling tidak terdapat dua orang warga Indonesia.
Presiden Gloria Arroyo mengeluarkan Proclamation No. 863, yang berisi pernyataan pekan berkabung nasional untuk menghormati Kardinal Sin yang akan dimakamkan Selasa pekan ini di ruang bawah tanah Gereja Katedral Manila. Sepanjang hari seluruh media cetak dan televisi memberitakan kepergiannya, biografinya, dan tentu saja perannya dalam EDSA I (1986) dan EDSA II (2001).
Dengan kepergian Sin, Filipina kehilangan seorang "Divine Commander-in-Chief" yang tak ragu turun ke arena politik dengan rosario, dengan menggunakan moral dan senjata kata-kata dan keyakinan. Tetapi, seperti dikatakan Pater Socrates Villegas, yang menjadi asistennya selama 18 tahun, kepergiannya harus digunakan masyarakat dan pemerintah Filipina untuk tidak lagi terpecah belah.
Kepergian seorang bapak sering menjadi momen bagi anak-anaknya, yang selalu bertikai, untuk bersatu. Inilah momen yang tak sempat disaksikan Kardinal Sin selama hidupnya.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo