Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam sudah lima menit beringsut dari angka satu tengah malam. Desa Gumulung Tonggoh, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tak juga tidur. Truk-truk masih saja berseliweran membuat gaduh, menerbangkan debu-debu yang dihamburkan oleh gesekan roda dan jalan tanah.
"Sudah beberapa kali katanya Bupati (Cirebon) bilang lokasi ini ditutup, tapi tetap saja truk-truk pengangkut pasir beroperasi," kata Nasirudin, pemilik bengkel yang tak jauh dari wilayah desa itu, sambil mencoba melirik jam yang ada di tangan Tempo.
Penambangan pasir di Astanajapura seluas 176 hektare sudah berlangsung sejak 1982. Saat itu penggalian dilakukan secara sederhana dengan peralatan tradisional yang dimiliki penduduk. Pemasarannya pun dilakukan sekadar untuk memenuhi permintaan pembelian dari beberapa warga di sekitar Cirebon saja.
Beberapa pengusaha pada 1999, yang kebanyakan berasal dari luar wilayah Cirebon, mulai melakukan penggalian pasir dengan menggunakan peralatan berat seperti beko. Dan sejak itulah eksploitasi secara besar-besaran di Gumulung Tonggoh dilakukan untuk pembangunan berbagai fasilitas di sejumlah kota lain.
Penggalian pasir oleh para pengusaha tersebut disinyalir tidak disertai izin resmi dari pemerintah daerah. Penggalian yang dilakukan dengan serampangan dan tanpa disertai reklamasi membuat lokasi penggalian berubah menjadi kubangan-kubangan selebar 0,5 hektare sampai 1 hektare dengan kedalaman melebihi 50 meter. Kubangan sebesar itu tersebar di hampir semua titik penggalian di Gumulung Tonggoh. Pada musim hujan, genangan air membuat bekas galian tersebut berubah menjadi waduk.
Joni, salah satu pengusaha yang mendapat izin penggalian seluas 4,5 hektare di Astanajapura, mengatakan usahanya juga membantu perekonomian masyarakat sekitar. "Mereka mendapat upah Rp 30 ribu per hari. Kami juga memberikan uang untuk reklamasi," katanya.
Mengenai uang reklamasi ini diakui oleh Kepala Bagian Perekonomian Pemerintah Kabupaten Cirebon, M. Sofyan, SH. Ia mengatakan pemerintah Kabupaten Cirebon menerima dana Rp 200 juta untuk perbaikan jalan yang rusak karena truk-truk pasir. "Selain itu, juga ada sumbangan Rp 850 juta untuk reklamasi," tuturnya.
Sejak pekan lalu, pemerintah Kabupaten Cirebon memang menghentikan sementara aktivitas sembilan pengusaha di lokasi tersebut. Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertambangan Kabupaten Cirebon, Ir Aan Setiawan, mengatakan beberapa lokasi penggalian akan ditutup total karena area penggalian hanya berjarak 400 meter dari lingkungan tempat tinggal warga.
Aktivitas penambang selama ini diperkirakan sudah menggasak ribuan kubik pasir. Mulanya, tiap pengusaha diizinkan menggali pasir maksimum seluas 5 hektare dengan kedalaman tidak lebih dari 10 meter. Jadi, 5 hektare (50.000 m2) x10 meter = 500.000 m3 atau 500 ton. Ini berarti setiap pengusaha hanya bisa mendapatkan 500 ton untuk setiap lokasi penggalian milik mereka.
Namun, hasil penelitian yang dilakukan Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Cirebon, bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran pada tahun 2003, menemukan rata-rata pengusaha membawa 15 truk pasir setiap harinya dengan tonase 12 ton. Artinya, rata-rata perusahaan mengeruk pasir 180 ton per hari atau 5.400 ton tiap bulannya.
Ratusan truk yang hilir-mudik di Gumulung Tonggoh membuat partikel-partikel pasir beterbangan di udara. Kepala Seksi Informasi dan Sengketa Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertambangan Kabupaten Cirebon, Wahyu Agus Suprayogi SH, mengatakan hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan volume debu yang terkandung dalam udara di jalan masuk menuju lokasi galian C di Desa Buntet mencapai angka 6.180 mu gram per m3. "Ini jauh di atas batas toleransi kandungan debu di udara yang hanya 230 mu gram per m3," katanya.
Tak hanya itu, penambangan pasir yang ceroboh tersebut juga mempengaruhi permukaan air tanah di lingkungan sekitar lokasi, seperti di Pesantren Buntet. Kini lingkungan pondok pesantren sering mengalami kekurangan air.
Aan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Cirebon, mengatakan para penambang sebenarnya sudah menandatangani kesepakatan yang isinya antara lain pengerukan pasir harus jauh dari saluran air serta jalan umum. Selain itu, teknis penggalian pun harus dilakukan secara terasering dan tidak boleh melewati 50 meter, serta dilakukan reklamasi secara bertahap.
Ia mengatakan pengaturan mengenai penambangan pasir sudah dilakukan pemerintah Kabupaten Cirebon. Di antaranya melalui Peraturan Daerah Nomor 81 Tahun 2005 tentang lokasi dan luas penggalian yang diperbolehkan. Lokasi terdapat di delapan kecamatan dengan luas total 550 hektare (lihat boks).
Hal yang mengkhawatirkan, menurut Ketua Yayasan Buruh dan Lingkungan Hidup (YLBH) Yoyon Suharyono, penambangan di Cikalahang, Kecamatan Dukupantang, kian hari kian mendekati perbukitan dekat Telaga Remis di Kabupaten Kuningan. "Kerusakan lingkungannya sudah sangat parah."
Selain di Kabupaten Cirebon, lokasi galian C juga terdapat di Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Di lokasi ini kerusakan lingkungan juga sama parahnya. Para penambang pasir menggerus perbukitan, dan lubang-lubang yang ditinggalkan bisa mencapai kedalaman 70 meter dengan lebar hingga 1 hektare.
Sekalipun telah dikeluarkan Perda Nomor 16 Tahun 2004 yang menyatakan lokasi Argasunya dilarang untuk ditambang terhitung 28 Juni 2004, toh penggalian tetap saja terjadi. Pengusaha, dengan membawa beko, masuk ke lokasi penggalian seusai waktu isya dan baru keluar membawa beko setelah subuh menjelang tepat di depan mata Nasirudin.
Raju Febrian, Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo