Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenggot rupanya bisa menjadi simbol apa saja. Di ujung abad ke-17 di Rusia, jenggot adalah lambang keterbelakangan—paling tidak di mata Tsar Peter yang muda dan baru pulang dari lawatannya ke London, Den Haag, dan Wina. Terpesona pada kota-kota modern itu, seraya membandingkan dengan Rusia yang kolot, lalu muncullah gagasan membabat kekolotan itu dengan mencukuri jenggot, yang jadi kehormatan laki-laki Rusia.
Jenggot kembali menjadi persoalan nasional ketika pemerintah Tajikistan khawatir pada radikalisasi melalui rumah-rumah ibadah, sekolah, dan media sosial. Hingga Juni tahun lalu, tercatat 1.500-5.000 orang dari Asia Tengah—termasuk Tajikistan—bergabung untuk berjihad bersama kelompok radikal di Suriah. Menampik radikalisasi sebagai budaya impor dari Timur Tengah yang tidak sejalan dengan tradisi Tajik, pemerintah pusat memulai segalanya dari pemberantasan jenggot.
"Mereka menyebut saya penganut Salafi, radikal, musuh masyarakat," kata Djovid Akramov kepada BBC pekan lalu. Ia mengaku diseret ke kantor polisi terdekat ketika tengah berjalan-jalan dengan putranya yang berusia tujuh tahun. Senin pekan lalu, di Provinsi Khatlon, polisi menangkap 13 ribu laki-laki Tajik dan menyuruh mereka memilih: ke kantor polisi atau tukang cukur.
Program deradikalisasi di Tajikistan dijalankan tanpa banyak bicara dan kompromi. Diperkirakan, tak lama lagi Presiden Emomali Rahmon—ia berkuasa sejak 1994—menyetujui rancangan yang mengkampanyekan nilai-nilai sekuler. Termasuk larangan memberi nama "bernada" Arab—yang asing bagi tradisi Tajik. Kendati 99 persen penduduk negeri ini beragama Islam, pengaruh ateisme dan sekularisme, warisan dari masa Uni Soviet dulu, masih berpengaruh kuat.
Sebenarnya konstitusi menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga Tajikistan. Namun pemerintah yang sekuler tidak banyak memberi angin kepada penduduk yang cenderung memperlihatkan identitas religiusnya.
Deradikalisasi ditandai oleh putusan Mahkamah Agung melarang satu-satunya partai Islam di Tajikistan—bahkan di Asia Tengah—yaitu Partai Islam Renaisans. Pemerintah Presiden Emomali Rahmon menempuh jalan drastis untuk memerangi radikalisme setelah serangan kaum radikal yang menewaskan 27 orang pada Agustus tahun lalu. Rangkaian serangan bom yang awalnya ditujukan ke kantor polisi di dekat Ibu Kota Dushanbe ini makan banyak korban. Menurut investigasi kepolisian, Deputi Menteri Pertahanan Abdulhalim Nazarzoda berada di balik kekerasan ini.
Nazarzoda adalah bekas komandan pemberontak yang memerangi pemerintah pusat di Dushanbe. Setelah perang saudara Tajikistan berakhir dan perdamaian ditandatangani, ia menduduki posisi Deputi Menteri Pertahanan. Namun rekonsiliasi gaya Presiden Rahmon ini tak begitu berhasil. Nazarzoda kemudian juga menjadi anggota Partai Renaisans Islam, yang lalu dilarang.
Teror yang mengejutkan itu berbuntut panjang. Pemerintah tak hanya melarang jenggot, tapi juga jilbab hitam. Jilbab hitam dinilai mewakili ajaran Salafi. Perempuan Tajik dianjurkan mengenakan jilbab berwarna cerah, sesuai dengan warna nasional bangsa Tajik. Sebelumnya, pemerintah melarang perempuan berjilbab berada di dalam institusi pemerintah. Tahun ini, menurut rencana, pemerintah juga akan mengurangi jumlah jemaah haji asal Tajikistan. Para analis memperkirakan Presiden Emomali Rahmon sibuk menggunakan kesempatan ini untuk menyudutkan lawan politik sekaligus mengkonsolidasi kekuasaannya.
Idrus F. Shahab (Al Jazeera, BBC, Dawn)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo