ARMADA kapal selam TNI-AL, akan bertambah dua buah lagi tahun
1980. Kontrak pembuatan kedua kapal selam tipe 209 itu,
ditandatangani 2 April lalu oleh KSAL Laksamana Subyakto dengan
wakil direktur Howaldtswerke Deutsche Werf, Dr. Klaus von
Menges. Perusahaan negara Jerman Barat itulah yang diserahi
order membangun kedua kapal selam $AS 100 juta itu, yang
dibiayai dengan kredit pemerintah Jerman Batat. Kalau kedua
kapal selam itu rampung 34 tahun lagi, TNI-AL tidak perlu
semata-mata tergantung pada ketiga kapal selam warisan Uni
Soviet yang kabarnya kurang sesuai untuk laut tropis.
Sehubungan dengan usaha membangun kembali armada TNI-AL praktis
dari nol lagi -- KRI Irian.misalnya, sudah dibesi-tuakan ke
Jepang - ada laporan dari Negeri Belanda. Di sana TNI-AL juga
sedang membangun 3 kapal fregat, yang dipesau dua tahun lalu.
Bunga Tulip
Kapal-kapal TNI-AL yang ada, banyak yang karatan dan reot. Maka
timbullah niat untuk menambah kekuatan armada. Bukan hanya
dengan menerima kapal-kapal usang pemberian tetangga (Australia
- Red) dan kawan-kawan yang bermurah hati (misalnya LST eks
Armada ke-7 AS - Red). Tapi juga dengan membeli kapal-kapal
baru, yang modern dan lebih ampuh. Di antara kapal baru yang
ingin dibeli itu, terbilang tiga buah korvet (fregat). Pilihan
jatuh pada maket yang diusulkan perusahaan galangan kapal
Wilton-Feyenoord. Kantornya dekat Rotterdam. termasuk perusahaan
kelas gajah Rijn Schelde, Verolmeconcern (RSV).
Pemerintah Belanda yang dipimpin Perdana Menteri Den Uyl pun
bersedia melapangkan jalan, dan memberi izin ekspor. Maklumlah.
ekspor barang yang bisa dipakai buat perang memang tidak semudah
ekspor bunga tulip. Dan wanti-wanti, untuk menghindari kerecokan
para pembayar pajak Belanda, maka Lubbers, menteri ekonomi,
menasehatkan agar harga ketiga korvet itu dibayar kontan saja,
tidak pakai kredit-kredit segala.
Karena TNI-AL lagi perlu kapal, sedang koceknya juga sedang
dilayanglayangkan angin, dicarilah jalan: kredit ke Amerika. Di
sana konon ada sebuah konsortium yang bersedia meminjamkan
uang, asal pemerintah Indonsia bersedia memberikan sekedar
timbal-jasa berbentuk penyediaan minyak bumi untuk pasaran
Amerika. Dan minyak kita punya. Makanya 21 Maret tahun lalu
berlangsunglah upacara penandatanganan kontrak pembelian ketiga
korvet itu di Jakarta antara Laksamana Subyakto dan Dubes
Belanda Paul Jalink.
Ketika berita itu disiarkan pers Belanda keesokan harinya, opini
umum Belanda senyum senyum saja. Maklumlan, harga ketiga kapal
itu lumayan juga: setengah milyar gulden Belanda (lebih kurang
Rp 80 milyar - Red.). Termasuk harga perlengkapan elektronik
ultra-modern yang akan dibuat perusahaan Holland Signaal, anak
perusahaan Philips. Pesanan itu juga berarti menjamin kerja 1000
buruh Belanda selama 3« tahun. Dalam situasi di mana galangan
kapal Belanda kepepet disaingi galangan Jepang, angka itu lebih
dari lumayan artinya.
Wertheim
Namun negeri Belanda bukan hanya negeri yang ditumbuhi bunga
tulip melulu. Tapi juga ratusan komite ini dan itu, yaulg
kerjanya sering mengkritik politik pemerintah Belanda. Anehnya,
untuk kerja yang sering bikin pusing pemerintah itu mereka
sering diberi uang untuk ongkos telepon dan beli kertas. Namanya
juga demokrasi.
Di antara beratus komite itu ada yang berrlama Komite Indonesia.
Ketua komite ini namanya rada beken juga di Indonesia: W.F.
Wertheim. Berbeda dengan pembaca koran rata-rata, para
anggota KOmite-Indonesia berkerut keningnya membaca berita
kontrak TNI-AL itu. Soalnya mereka tidak selalu bermesra
hati kepada para penguasa di Indonesia karena beranggapan
peemerintah negeri ini sering lupa menjaga dihormatinya hak-hak
asasi manusia.
Kerut jidat bertambah-tambah, mengingat apa yang mereka dengar
tentang Timor Timur. Maka berembuklah mereka mencari daya untuk
mengeritik kontrak itu. Salah seorang anggota komite itu - yang
belum medapat subsidi dari pemerintahnya - teringat akan sebuah
nota yang dibuat Sekretaris Negara Kooymans, yang bernaung di
bawah Kementerian Luar Negeri. Dalam Ontwapeningsnota (Nota
pengurangan persenjataan) itu antara lain tertulis: "Negeri
Belanda melaksanakan ekspor peralatan perang yang selektif . . .
dan akan menolak mengirim alat perang ke negeri yang terlibat
dalam peperangan atau negara yangmungkin akan mempergunakan
senjata untuk menindas rakyatnya sendiri".
Jadi, demikian anggapan mereka, pengiriman korvet ke Indonesia
bertentangan dengan nota ini. Kebetulan ada yang mendengar,
bahwa 21 Juni berikutnya Rijnmondraad (Dewan Daerah Muara
Sungai Rijn) akan bersidang soal izin bangunan kantor dan
penginapan perwira-perwira TNI-AL yang akan mengawasi
pembangunan ketiga korvet tersebut. Maka Komite-Indonesia pun
melayangkan sepucuk surat kepada para anggota Rijnmondraad -
mengingatkan mereka akan resolusi PBB tentang Timor Timur dan
Ontwapeningsnota tersebut.
Surat itu mendapat tanggapan dan B. Kalmda dan Nyonya H.
Elzez-van Loon, masing-masing anggota PSP (Pacifistiche
Socialistiche Partij - Partai Sosialis Pasifis) dan PvdA (Partij
van den Arbeid - Partai Buruh). Bersama sama mereka mengajukan
misi minta agar izin ekspor itu dicabut kembali. Tapi mosi itu
hanya didukung oleh 10 suara, dengan 53 suara menentang. Alasan
penolakan: "soal izin ekspor itu wewenang Pemerintah Pusat di
Den Haag. Bukan urusan Rijnmondraad".
Concorde
Lama juga soal korvet ini hanya menjadi buah selutukan anggota
Komite Indonesie dan kelompok-kelompok diskusi Indonesia yang
bertebaran di kota-kota universitas Belanda. Tapi suara-suara
itu mirip teriakan orang yang berada di bawah pesawat Concorde
yang sedang memanaskan mesinnya sebelum tinggal-landas: tak
sampai ke telinga orang yang berada di ruang tunggu pelabuhan
udara, yang mengagumi keindahan pesawat kongsi Inggeris dan
Perancis itu. Lama kemudian baru suara dari mulut yang tak
kapok-kapoknya melebar itu sampai juga ke telinga orang di
kejauhan. Terbawa oleh kampanye pemilu, yang di negeri Jan
Pieter Pronk akan dilangsungkan 25 Mei nanti.
Soalnya timbul lantaran program pemilu PvdA menggerahkan Pronk,
yang selama ini menjadi penyokong ulet bantuan kepada
'sahabat-sahabat politiknya' di Indonesia. Diapun mau pasang
kuda-kuda untuk menghadapi perubahan angin politik di negerinya.
Demikianlah, dalam rangka meraba pendapat orang di kiri dan di
kanan - terutama di kiri - Pronk menerima tantangan berdebat
soal bantuan ekonomi kepada Indonesia dengan Wertheim di markas
de Populier, sebuah perkumpulan di Amsterdam, 13 Pebruari lalu.
Di dalam ruangan mungil yang pengap menampung lebih dari 100
pemuda dan intelektuil - dari yang berdasi rapi hingga yang
gondrong - berlangsunglah perdebatan itu. Entah karena Jan Pronk
lagi kewalahan, entah karena memang disengaja, diapun nyerocos:
"Akan saya veto penyerahan korvet itu".
Mingguan de Groene Amsterdammer terbitan 23 Pebruari lalu,
kontan menyediakan sehalaman penuh berisi perdebatan itu dengan
judul 'Pronk akan mentorpedo penyerahan korvet'. Karuan saja Van
der Stoel, menlu Belanda yang konon kabarnya sobat kental Adam
Malik, memanggil Jan Pronk -- dan menjewernya. Tapi yang membuat
situasi tambah ruwet, adalah laporan Jim Dunn, bekas konsul
Australia di Dili yang baru saja menginterviu pelarianpelarian
Timor Timur di Portugal. Laporannya seram juga. Celakanya, KBRI
tidak membantah berita yang dimuat sebagian besar koran-koran
besar di Eropa, sehingga opini umum Belanda berkesimpulan bahwa
ceritanya beralasan.
Tak ayal, beberapa anggota Tweede Kamer (Parlemen Belanda - Red)
dengan dipelopori Van der Spek, anggota PSP juga, menggaet
ucapan Pronk dan mengajukan usul interpelasi. Debatnya
dilangsungkan 3 Maret lalu. Usul interpelasi di Tweede Kamer
banyak jumlahnya, dan sebagian besar lewat begitu saja di depan
atau di samping perhatian umum. Celakanya, seminggu sebelum
perdebatan dimulai, tokoh Fretilin Jose Ramos Horta sedang
berada di Jenewa. Dia pun diminta menghadiri perdebatan itu oleh
Komite Indonesia.
Ramos Horta bukan hanya diam-diam menunggu perdebatan. Tapi dia
beberkan guntingan koran Australia dari dalam tasnya kepada
wartawan Belanda. Juga dibagi-bagikannya cuplikan laporan Dunn.
Koran-koran nasional dan lokal setta merta mengutip beberan
Ramos Horta. Televisi pun tak henti-hentinya menyiarkan
omongannya. Sampai bulu roma anggota Tweede Kamer -- termasuk
bulu-bulunya anggota CDA, aliansi Kristen Demokrat yang tak
bersimpati kepada Horta - banyak yang berdiri.
Setelah perdebatan dibuka jam 10.30 pagi, diawali mini
demonstrasi anak-anak Maluku Selatan yang sempat menyelinap
masuk halaman Binnenhof (gedung parlemen Belanda), akhirnya Van
der Stoel mengajukan usul kompromi: "Lantaran saya tidak
mempunyai keterangan lengkap dewasa ini, dan mengingat bahwa
penarikan izin ekspor ini soal yang serius, bagaimana kalau kita
tunggu hingga korvet pertama selesai dalam dua tahun ini. Baru
pada saat itu kita lihat apakah cukup alasan untuk menyetop
penyerahannya" (TEMPO, 6 Maret). Mayoritas setuju dan rapatpun
usai sekitar jam 1.
Torpedo Jan Pronk sempat menyerempet korvet TNI-AL, yang hanya
sempat leng. Akan sampaikan korvet ini akhirnya ke Indonesia?
Tergantung pada cuaca menjelang 1979. Cuaca di negeri Belanda,
dan barangkali juga cuaca di sekitar Timor Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini