Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Keserempet Torpedo Pronk

Tni-AL menambah armada lautnya dengan dua kapal selam dan Fregat, masing-masing dari Jerman Barat dan Belanda. Komite Indonesia di belanda protes.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARMADA kapal selam TNI-AL, akan bertambah dua buah lagi tahun 1980. Kontrak pembuatan kedua kapal selam tipe 209 itu, ditandatangani 2 April lalu oleh KSAL Laksamana Subyakto dengan wakil direktur Howaldtswerke Deutsche Werf, Dr. Klaus von Menges. Perusahaan negara Jerman Barat itulah yang diserahi order membangun kedua kapal selam $AS 100 juta itu, yang dibiayai dengan kredit pemerintah Jerman Batat. Kalau kedua kapal selam itu rampung 34 tahun lagi, TNI-AL tidak perlu semata-mata tergantung pada ketiga kapal selam warisan Uni Soviet yang kabarnya kurang sesuai untuk laut tropis. Sehubungan dengan usaha membangun kembali armada TNI-AL praktis dari nol lagi -- KRI Irian.misalnya, sudah dibesi-tuakan ke Jepang - ada laporan dari Negeri Belanda. Di sana TNI-AL juga sedang membangun 3 kapal fregat, yang dipesau dua tahun lalu. Bunga Tulip Kapal-kapal TNI-AL yang ada, banyak yang karatan dan reot. Maka timbullah niat untuk menambah kekuatan armada. Bukan hanya dengan menerima kapal-kapal usang pemberian tetangga (Australia - Red) dan kawan-kawan yang bermurah hati (misalnya LST eks Armada ke-7 AS - Red). Tapi juga dengan membeli kapal-kapal baru, yang modern dan lebih ampuh. Di antara kapal baru yang ingin dibeli itu, terbilang tiga buah korvet (fregat). Pilihan jatuh pada maket yang diusulkan perusahaan galangan kapal Wilton-Feyenoord. Kantornya dekat Rotterdam. termasuk perusahaan kelas gajah Rijn Schelde, Verolmeconcern (RSV). Pemerintah Belanda yang dipimpin Perdana Menteri Den Uyl pun bersedia melapangkan jalan, dan memberi izin ekspor. Maklumlah. ekspor barang yang bisa dipakai buat perang memang tidak semudah ekspor bunga tulip. Dan wanti-wanti, untuk menghindari kerecokan para pembayar pajak Belanda, maka Lubbers, menteri ekonomi, menasehatkan agar harga ketiga korvet itu dibayar kontan saja, tidak pakai kredit-kredit segala. Karena TNI-AL lagi perlu kapal, sedang koceknya juga sedang dilayanglayangkan angin, dicarilah jalan: kredit ke Amerika. Di sana konon ada sebuah konsortium yang bersedia meminjamkan uang, asal pemerintah Indonsia bersedia memberikan sekedar timbal-jasa berbentuk penyediaan minyak bumi untuk pasaran Amerika. Dan minyak kita punya. Makanya 21 Maret tahun lalu berlangsunglah upacara penandatanganan kontrak pembelian ketiga korvet itu di Jakarta antara Laksamana Subyakto dan Dubes Belanda Paul Jalink. Ketika berita itu disiarkan pers Belanda keesokan harinya, opini umum Belanda senyum senyum saja. Maklumlan, harga ketiga kapal itu lumayan juga: setengah milyar gulden Belanda (lebih kurang Rp 80 milyar - Red.). Termasuk harga perlengkapan elektronik ultra-modern yang akan dibuat perusahaan Holland Signaal, anak perusahaan Philips. Pesanan itu juga berarti menjamin kerja 1000 buruh Belanda selama 3« tahun. Dalam situasi di mana galangan kapal Belanda kepepet disaingi galangan Jepang, angka itu lebih dari lumayan artinya. Wertheim Namun negeri Belanda bukan hanya negeri yang ditumbuhi bunga tulip melulu. Tapi juga ratusan komite ini dan itu, yaulg kerjanya sering mengkritik politik pemerintah Belanda. Anehnya, untuk kerja yang sering bikin pusing pemerintah itu mereka sering diberi uang untuk ongkos telepon dan beli kertas. Namanya juga demokrasi. Di antara beratus komite itu ada yang berrlama Komite Indonesia. Ketua komite ini namanya rada beken juga di Indonesia: W.F. Wertheim. Berbeda dengan pembaca koran rata-rata, para anggota KOmite-Indonesia berkerut keningnya membaca berita kontrak TNI-AL itu. Soalnya mereka tidak selalu bermesra hati kepada para penguasa di Indonesia karena beranggapan peemerintah negeri ini sering lupa menjaga dihormatinya hak-hak asasi manusia. Kerut jidat bertambah-tambah, mengingat apa yang mereka dengar tentang Timor Timur. Maka berembuklah mereka mencari daya untuk mengeritik kontrak itu. Salah seorang anggota komite itu - yang belum medapat subsidi dari pemerintahnya - teringat akan sebuah nota yang dibuat Sekretaris Negara Kooymans, yang bernaung di bawah Kementerian Luar Negeri. Dalam Ontwapeningsnota (Nota pengurangan persenjataan) itu antara lain tertulis: "Negeri Belanda melaksanakan ekspor peralatan perang yang selektif . . . dan akan menolak mengirim alat perang ke negeri yang terlibat dalam peperangan atau negara yangmungkin akan mempergunakan senjata untuk menindas rakyatnya sendiri". Jadi, demikian anggapan mereka, pengiriman korvet ke Indonesia bertentangan dengan nota ini. Kebetulan ada yang mendengar, bahwa 21 Juni berikutnya Rijnmondraad (Dewan Daerah Muara Sungai Rijn) akan bersidang soal izin bangunan kantor dan penginapan perwira-perwira TNI-AL yang akan mengawasi pembangunan ketiga korvet tersebut. Maka Komite-Indonesia pun melayangkan sepucuk surat kepada para anggota Rijnmondraad - mengingatkan mereka akan resolusi PBB tentang Timor Timur dan Ontwapeningsnota tersebut. Surat itu mendapat tanggapan dan B. Kalmda dan Nyonya H. Elzez-van Loon, masing-masing anggota PSP (Pacifistiche Socialistiche Partij - Partai Sosialis Pasifis) dan PvdA (Partij van den Arbeid - Partai Buruh). Bersama sama mereka mengajukan misi minta agar izin ekspor itu dicabut kembali. Tapi mosi itu hanya didukung oleh 10 suara, dengan 53 suara menentang. Alasan penolakan: "soal izin ekspor itu wewenang Pemerintah Pusat di Den Haag. Bukan urusan Rijnmondraad". Concorde Lama juga soal korvet ini hanya menjadi buah selutukan anggota Komite Indonesie dan kelompok-kelompok diskusi Indonesia yang bertebaran di kota-kota universitas Belanda. Tapi suara-suara itu mirip teriakan orang yang berada di bawah pesawat Concorde yang sedang memanaskan mesinnya sebelum tinggal-landas: tak sampai ke telinga orang yang berada di ruang tunggu pelabuhan udara, yang mengagumi keindahan pesawat kongsi Inggeris dan Perancis itu. Lama kemudian baru suara dari mulut yang tak kapok-kapoknya melebar itu sampai juga ke telinga orang di kejauhan. Terbawa oleh kampanye pemilu, yang di negeri Jan Pieter Pronk akan dilangsungkan 25 Mei nanti. Soalnya timbul lantaran program pemilu PvdA menggerahkan Pronk, yang selama ini menjadi penyokong ulet bantuan kepada 'sahabat-sahabat politiknya' di Indonesia. Diapun mau pasang kuda-kuda untuk menghadapi perubahan angin politik di negerinya. Demikianlah, dalam rangka meraba pendapat orang di kiri dan di kanan - terutama di kiri - Pronk menerima tantangan berdebat soal bantuan ekonomi kepada Indonesia dengan Wertheim di markas de Populier, sebuah perkumpulan di Amsterdam, 13 Pebruari lalu. Di dalam ruangan mungil yang pengap menampung lebih dari 100 pemuda dan intelektuil - dari yang berdasi rapi hingga yang gondrong - berlangsunglah perdebatan itu. Entah karena Jan Pronk lagi kewalahan, entah karena memang disengaja, diapun nyerocos: "Akan saya veto penyerahan korvet itu". Mingguan de Groene Amsterdammer terbitan 23 Pebruari lalu, kontan menyediakan sehalaman penuh berisi perdebatan itu dengan judul 'Pronk akan mentorpedo penyerahan korvet'. Karuan saja Van der Stoel, menlu Belanda yang konon kabarnya sobat kental Adam Malik, memanggil Jan Pronk -- dan menjewernya. Tapi yang membuat situasi tambah ruwet, adalah laporan Jim Dunn, bekas konsul Australia di Dili yang baru saja menginterviu pelarianpelarian Timor Timur di Portugal. Laporannya seram juga. Celakanya, KBRI tidak membantah berita yang dimuat sebagian besar koran-koran besar di Eropa, sehingga opini umum Belanda berkesimpulan bahwa ceritanya beralasan. Tak ayal, beberapa anggota Tweede Kamer (Parlemen Belanda - Red) dengan dipelopori Van der Spek, anggota PSP juga, menggaet ucapan Pronk dan mengajukan usul interpelasi. Debatnya dilangsungkan 3 Maret lalu. Usul interpelasi di Tweede Kamer banyak jumlahnya, dan sebagian besar lewat begitu saja di depan atau di samping perhatian umum. Celakanya, seminggu sebelum perdebatan dimulai, tokoh Fretilin Jose Ramos Horta sedang berada di Jenewa. Dia pun diminta menghadiri perdebatan itu oleh Komite Indonesia. Ramos Horta bukan hanya diam-diam menunggu perdebatan. Tapi dia beberkan guntingan koran Australia dari dalam tasnya kepada wartawan Belanda. Juga dibagi-bagikannya cuplikan laporan Dunn. Koran-koran nasional dan lokal setta merta mengutip beberan Ramos Horta. Televisi pun tak henti-hentinya menyiarkan omongannya. Sampai bulu roma anggota Tweede Kamer -- termasuk bulu-bulunya anggota CDA, aliansi Kristen Demokrat yang tak bersimpati kepada Horta - banyak yang berdiri. Setelah perdebatan dibuka jam 10.30 pagi, diawali mini demonstrasi anak-anak Maluku Selatan yang sempat menyelinap masuk halaman Binnenhof (gedung parlemen Belanda), akhirnya Van der Stoel mengajukan usul kompromi: "Lantaran saya tidak mempunyai keterangan lengkap dewasa ini, dan mengingat bahwa penarikan izin ekspor ini soal yang serius, bagaimana kalau kita tunggu hingga korvet pertama selesai dalam dua tahun ini. Baru pada saat itu kita lihat apakah cukup alasan untuk menyetop penyerahannya" (TEMPO, 6 Maret). Mayoritas setuju dan rapatpun usai sekitar jam 1. Torpedo Jan Pronk sempat menyerempet korvet TNI-AL, yang hanya sempat leng. Akan sampaikan korvet ini akhirnya ke Indonesia? Tergantung pada cuaca menjelang 1979. Cuaca di negeri Belanda, dan barangkali juga cuaca di sekitar Timor Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus