MASUK minggu ke enam awal April kemarin. Kas Kopkamtib Sudomo
menilai kampanye sudah menjurus "tujuan menghalalkan cara". Itu
berarti melanggar "4 tidak boleh" yang disarikan dari PP 1/76:
tak boleh melakukan intimidasi, memecah persatuan, memfitnah,
meremehkan pemerintah. Makan siang bersama wartawan di ruang
Anggrek hotel Jakarta Hilton yang mewah itu, Kas Kopkamtib
mengakui adanya "percikan-percikan", tapi menyesal ada parpol
yang menyiarkannya kepada pers.
Tindakan demikian, menurut Sudomo, melanggar konsensus 15 Maret.
Ia merasa perlu menggaris-bawahi pelanggaran konsensus tersebut,
terutama setelah harian Pelita (1 & 2 April) menyebut kasus
Subang sebagai "teror" dan "perkosaan", katanya. Sebelumnya,
secara lisan, Sudomo telah dua kali memperingatkan Pelita (dan
sekali kepada Merdeka) sehubungan dengan kasus Situbondo. Tapi
kali ini, barangkali menyadari bahwa pers tidak terikat oleh itu
konsensus, Sudomo lantas memperingatkan PPP yang dianggap
sebagai sumber berita.
"Kalau konsensus tersebut masih dilanggar terus, maka terpaksa
saya akan mengambil sikap lain", Sudomo mengakhiri suratnya pada
DPP PPP. "Fihak kami, Laksusda, cukup mentaati konsensus".
Maksudnya tidak menyiarkan penyerangan-penyerangan terhadap
aparat pemerintah, seperti di Madura (Tanahmerah dan Kuanyar, 23
& 26 Maret) di mana Peltu Djiman, Koptu Naim, Serka Parlindungan
dilucuti massa PPP. "Bahkan ada yang menodongkan pisau di
leher", tambah Sudomo.
Contoh lain: 'penyerbuan' massa PDI atas Kodim 0735 Sala dan
'pendudukan' Kodim 0732 Sleman/Yogya oleh massa PPP selama 4
jam. Kasus Subang misalnya, menurut Sudomo, sudah diselesaikan
lewat Forum Kontak & Komunikasi. "Saya sudah berusaha. Kalau
balasannya begitu, baik", ucap Sudomo kesal. "Toleransi toh ada
batasnya". Tapi menurut Letkol Supoyo, Dan Dim 0732, pendudukan
oleh massa pawai PPP itu hanya berlangsung sekitar 20 menit tapi
mereka sempat duduk-duduk dan minum-minum dan berputar-putar di
halaman Kodim dengan sepeda motor. Ketika itu Kapten Gino yang
berada depan pintu sempat melarang. Pawai itu sendiri, pekan
lalu, berlangsung sejak pagi-pagi hingga larut malam.
Kapal Selam
Keterangan Astanuddin Panjaitan agak lain. Menurut bekas Dan
Lasykar Arief Margono yang memimpin pawai PPP itu, massa tak
tahu letak tempat kampanye. Di Medari, mereka berpapasan dengan
rombongan haji Syaiful Mujab (juru kampanye PPP) yang akan
bicara di lapangan Ngebon, kecamatan Tempel. Maka massa
bersepeda motor itu lalu berputar arah -- menggunakan halaman
Kodim sebagai tempat putaranù "Kodim adalah tempat wasit,
mestinya tak apa-apa kalau dimasuki", kata Panjaitan kepada
Zulkifly Lubis dari TEMPO yang mengunjungi Yogya. Tapi
buntutnya: tak kurang dari 10 peserta pawai asal Sleman
ditahan dengan tuduhan "oknum Komando Jihad".
Sehubungan dengan isyu yang dilontarkan Menpen Mashuri di
Ambrawa - dimuat Berita Buana, 5 April -- bahwa "komando jihad"
mendapat droping senjata dari kapal selam asing di panta Blitar
Selatan, dari hotel Hilton itu Sudomo membantahnya. Dan 3 hari
kemudian tak kurang dari KSAL Laksaman Soebyakto memperkuat
rekan se-AL- nya: "sampai sekarang droping senjata itu tak
pernah ada".
Para pelaku insiden, tentu saja bisa diadili "Tapi bagi saya
lebih baik diselesaikan secara musyawarah", Sudomo menegaskan.
Itulah sebabnya, sekali lagi, ia menekankan pentingnya Forum
Kontak & Komunikasi yang terdiri atas Muspida, Laksus dan 3
kontestan -- di pusat sampai daerah - untuk menyelesaikan
"percikan-percikan" yang diharap tidak disiarkan lebih dulu pada
pers.
Forum itu dibentuk sejak adanya konsensus 15 Maret. Yang pertama
ditangani adalah kasus Bondowoso, kemudian soal "daerah bebas
parpol" di Sulawesi Selatan. Di DKI, forum semacam itu pertama
kali diselenggarakan 6 April di Markas Kodam V Jaya, tapi tidak
ada acara menyelesaikan kasus-kasus. Hanya silaturahmi. Mayjen
GH Mantik tak menyebut-nyebut protes keras DPD PDI Jakarta
(TEMPO, 9 April). Pangdam V/Pangkopkamtibda Jaya itu bahkan
menyatakan, "selama 43 hari kampanye, di Jakarta tak terjadi
bentrokan fisik antar kontestan, juga tak ada kelompok
intimidasi dan teror".
Adanya forum itu sendiri, tampaknya belum dimanfaatkan. Malah
Cosmas Batubara, di kantor DPP Golkar jalan Majapahit, Jakarta,
mula-mula sampai pekan lalu "belum banyak tahu". "Ya, apa ada di
tingkat pusat?" tanyanya pada Said Muchsin dari TEMPO. "Forum
itu minimal dapat mengurangi kesalah-fahaman". Cuma meskipun
kurang faham mengenai mekanisme kerjanya, ia menganggapnya
penting "untuk mengingatkan kontestan agar tak melampaui batas",
kata Cosmas setelah diberi tahu seorang stafnya tentang adanya
forum itu.
Obyek
Bagi drs TAM Simatupang, forum belum berjalan sebagaimana
diharapkan. "Efektifitasnya diragukan", kata ketua DPD PDI
Jakarta itu. Memang ada musyawarah tentang kasus perusakan kapal
nelayan dan tanda gambar PDI di Bali, tapi "hari ini musyawarah,
besoknya diteror", tambahnya. Tak puas dengan forum, PDI telah
melaporkan kasus-kasusnya kepada Jaksa Agung. Tentang
pengadilan pemilu, menurutnya sudah dilaksanakan, misalnya di
Aceh dan Jatim. Kasusnya: penyobekan tanda gambar beringin .
"Tapi kasus penyobekan tanda gambar PDI belum ada yang diadili",
protesnya.
Sejauh ini, kata Simatupang, PDI mematuhi konsensus, kasus-kasus
di daerah dilaporkan pada Kopkamtib setiap minggu sejak 15
Maret. Dan jumlahnya puluhan. "Tapi saya belum tahu bagaimana
perkembangan penanganannya oleh Kopkamtib, hingga seolah-olah
forum itu tak ada gunanya", ujarnya lagi. "Kalau terus menunggu
begini, pemilu sudah usai, kasusnya tak pernah selesai".
Simatupang juga mengeluh: seminggu setelah forum dibentuk,
polisi Pekalongan menolak ia kampanye di sana, karena katanya
belum terima instruksi Kopkamtib.
Tak lupa Simatupang juga menyesalkan "wasit-wasit yang tidak
jujur". Dengan tandas ia katakan, "kalau mereka melanggar
peraturan, diberhentikan saja". Dia lalu menunjuk beberapa
menteri yang cuti lalu kampanye di daerahdaerah dengan biaya
departemen. "Menteri seperti itu harus diperiksa", tukasnya.
Bahkan dalam diskusi di Graha Pancasila di Bandung yang
diselenggarakan oleh DM UNPAD, 9 April, Simatupang seakan
mengancam "kalau pelanggaran-pelanggaran masih terjadi, PDI
memutuskan tidak ikut pemilu". Tentang konsensus 15 Maret,
setelah 20 hari kampanye, "apakah hal itu bukan untuk membatasi
parpol? Sebab kalau pak Sudomo konsekwen, harus ditindak pula
lurah-lurah, camat, bupati dan gubernur yang sebagai wasit
terang-terangan ikut main", katanya.
Di IKIP Jakarta, pada hari yang sama juga ada "kuliah umum"
(dari PPP & PDI) - tapi tak ada hal-hal baru. Yang menarik
adalah kuliah Nurcholish Madjid di IAIN "Sunan Ampel" Surabaya.
Di sana, Nurcholish Madjid yang mengaku bukan orang PPP dan
bukan anggota DPR menyatakan, "saya kampanye untuk PPP sebab
partai ini masih punya keberanian moril menyatakan pendapat
dalam posisi yang lemah". Tapi kalau PPP menang, Nurcholish
menganggapnya "berbahaya, sebab tak punya teknokrat. Semua
teknokrat sudah diborong Golkar".
Yakin Golkar akan menang, tokoh muda Islam itu mengharap
kemenangan itu tidak mutlak, sebab kemutlakan cenderung ke arah
kesewenang-wenangan. Ia menganggap perlunya keseimbangan
politik. "Tiadanya kekuatan berimbang akan menimbulkan kesulitan
melakukan kontrol yang justru diperlukan dalam kehidupan
demokrasi yang sehat", ujarnya. Mengajak mahasiswa menjadi
kekuatan independen, ia menegaskan, "kekuatan politik berimbang
boleh dikata sudah menjadi ideologi saya".
Menurut VB da Costa, wakil sekjen DPP PDI, sampai kini baru satu
kasus (bebas parpol di Sulsel) yang ditangani forum tingkat
pusat, sementara di tingkat daerah, sudah banyak. "Sebetulnya
forum bisa efektif kalau Kopkamtib mau menggerakkan sampai
bawah", ujarnya. Seperti halnya Simatupang, ia juga bilang:
"Kalau beringin yang dirusak, beberapa hari sudah diadili. Tapi
kasus di Bali misalnya, sampai sekarang berita acaranya saja
belum dibuat. Lha kalau begini namanya apa?".
Seperti halnya PDI, Chalid Mawardi dari DPP PPP meragukan fungsi
iorum. Dan karenanya juga bermaksud menemui Jaksa Agung. Setali
tiga uang, Nuddin Lubis ketua DPP PPP, menyatakan manfaat forum
"kecil sekali". Meski Kopkamtib sudah memperlihatkan beberapa
ketentuan tentang forum kepada pers di hotel Hilton dengan
slide, Nuddin Lubis menyatakan, ketentuan tertulis mengenai
forum itu belum ada. Tak tahu berapa kasus yang ditangani oleh
forum "dalam masa kampanye ini tak jelas bagaimana status
lembaga itu".
Sepuluh hari setelah konsensus, Komisi II DPR sebenarnya sudah
berusaha bersidang untuk membicarakan beberapa insiden - meski
DPR masih reses. Tapi sidang yang diusahakan sampai 5 kali itu
(sejak Sabtu 26 Maret) -- gagal. Tentu saja PPP dan PDI
menyesalkannya. Kenapa? Ka Humas DPR drs Dudung Kamaluddin
mengemukakan alasan: banyak para anggota kampanye di daerah,
tiada biaya transpor dan ada yang sakit. Tapi Chalik Ali dari
PPP tegas-tegas menuding Fraksi Karya sebagai penyebab kegagalan
sidang, hingga korum (separoh tambah satu) tak tercapai.
Katanya, dari 23 anggota Fraksi Karya Pembangunan yang hadir
cuma 5 sampai 8 orang dari 7 Fraksi ABRI yang hadir cuma 1 atau
2 dari 9 Fraksi Persatuan yang hadir 5 atau 8 dan dari 3 Fraksi
Demokrasi hadir 1 atau 2.
"Kalau Amirmachmud mau menyuruh anggota FKP hadir, mereka akan
hadir". kata Chalik kepada TEMPO. Karundung (PDI), wakil ketua
Komisi II, menyesalkan tak hadirnya Mendagri dalam sidang Komisi
II. "Masa ia lebih mementingkan peresmian pasar loak di
Surabaya?" katanya. Menurut catatan Karundeng, kasus-kasus dari
daerah sudah bertumpuk. "Apa ini yang namanya demokrasi
Pancasila", tambahnya kesal.
Baik J. Sinaga maupun Warsito Puspoyo, ketua dan wakil ketua
Komisi II, sama-sama menyesal atas kegagalan sidang tersebut.
Meski begitu, toh MB Samosir sekjen DPP PDI masih bisa "maklum".
Katanya,"tak perlu cari-cari alasan mengapa sidang gagal".
Tentang kegagalan sidang itu, tak kurang dari Jenderal Nasution,
bekas ketua MPRS, sempat menanggapinya. "Memalukan. Kegagalan
sidang itu bukan satu pendidikan politk yang baik buat rakyat",
katanya pada Klarawijaya dari TEMPO. "Kalau saya jadi pimpinan
DPR, akan saya paksa Komisi bersidang".
Menurut Nasution, kegagalan sidang itu bisa mengakibatkan
terganggunya stabilitas nasional di masa depan. "Luka hati
seseorang susah diobati. Kalaupun sembuh, meminta waktu lama.
Dengan gagalnya sidang Komisi itu, saya khawatir di masa depan
akan timbul gangguan terhadap stabilitas nasional", katanya.
Mudah-mudahan sih tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini