Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Konsensus 15 Maret: Siapa Yang Puas?

Konsensus 15 Maret, menurut Sudomo, telah dilanggar Parpol. PDI dan PPP balik menuding, bahwa konsensus itu kecil sekali manfaatnya hanya untuk Golkar.

16 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASUK minggu ke enam awal April kemarin. Kas Kopkamtib Sudomo menilai kampanye sudah menjurus "tujuan menghalalkan cara". Itu berarti melanggar "4 tidak boleh" yang disarikan dari PP 1/76: tak boleh melakukan intimidasi, memecah persatuan, memfitnah, meremehkan pemerintah. Makan siang bersama wartawan di ruang Anggrek hotel Jakarta Hilton yang mewah itu, Kas Kopkamtib mengakui adanya "percikan-percikan", tapi menyesal ada parpol yang menyiarkannya kepada pers. Tindakan demikian, menurut Sudomo, melanggar konsensus 15 Maret. Ia merasa perlu menggaris-bawahi pelanggaran konsensus tersebut, terutama setelah harian Pelita (1 & 2 April) menyebut kasus Subang sebagai "teror" dan "perkosaan", katanya. Sebelumnya, secara lisan, Sudomo telah dua kali memperingatkan Pelita (dan sekali kepada Merdeka) sehubungan dengan kasus Situbondo. Tapi kali ini, barangkali menyadari bahwa pers tidak terikat oleh itu konsensus, Sudomo lantas memperingatkan PPP yang dianggap sebagai sumber berita. "Kalau konsensus tersebut masih dilanggar terus, maka terpaksa saya akan mengambil sikap lain", Sudomo mengakhiri suratnya pada DPP PPP. "Fihak kami, Laksusda, cukup mentaati konsensus". Maksudnya tidak menyiarkan penyerangan-penyerangan terhadap aparat pemerintah, seperti di Madura (Tanahmerah dan Kuanyar, 23 & 26 Maret) di mana Peltu Djiman, Koptu Naim, Serka Parlindungan dilucuti massa PPP. "Bahkan ada yang menodongkan pisau di leher", tambah Sudomo. Contoh lain: 'penyerbuan' massa PDI atas Kodim 0735 Sala dan 'pendudukan' Kodim 0732 Sleman/Yogya oleh massa PPP selama 4 jam. Kasus Subang misalnya, menurut Sudomo, sudah diselesaikan lewat Forum Kontak & Komunikasi. "Saya sudah berusaha. Kalau balasannya begitu, baik", ucap Sudomo kesal. "Toleransi toh ada batasnya". Tapi menurut Letkol Supoyo, Dan Dim 0732, pendudukan oleh massa pawai PPP itu hanya berlangsung sekitar 20 menit tapi mereka sempat duduk-duduk dan minum-minum dan berputar-putar di halaman Kodim dengan sepeda motor. Ketika itu Kapten Gino yang berada depan pintu sempat melarang. Pawai itu sendiri, pekan lalu, berlangsung sejak pagi-pagi hingga larut malam. Kapal Selam Keterangan Astanuddin Panjaitan agak lain. Menurut bekas Dan Lasykar Arief Margono yang memimpin pawai PPP itu, massa tak tahu letak tempat kampanye. Di Medari, mereka berpapasan dengan rombongan haji Syaiful Mujab (juru kampanye PPP) yang akan bicara di lapangan Ngebon, kecamatan Tempel. Maka massa bersepeda motor itu lalu berputar arah -- menggunakan halaman Kodim sebagai tempat putaranù "Kodim adalah tempat wasit, mestinya tak apa-apa kalau dimasuki", kata Panjaitan kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO yang mengunjungi Yogya. Tapi buntutnya: tak kurang dari 10 peserta pawai asal Sleman ditahan dengan tuduhan "oknum Komando Jihad". Sehubungan dengan isyu yang dilontarkan Menpen Mashuri di Ambrawa - dimuat Berita Buana, 5 April -- bahwa "komando jihad" mendapat droping senjata dari kapal selam asing di panta Blitar Selatan, dari hotel Hilton itu Sudomo membantahnya. Dan 3 hari kemudian tak kurang dari KSAL Laksaman Soebyakto memperkuat rekan se-AL- nya: "sampai sekarang droping senjata itu tak pernah ada". Para pelaku insiden, tentu saja bisa diadili "Tapi bagi saya lebih baik diselesaikan secara musyawarah", Sudomo menegaskan. Itulah sebabnya, sekali lagi, ia menekankan pentingnya Forum Kontak & Komunikasi yang terdiri atas Muspida, Laksus dan 3 kontestan -- di pusat sampai daerah - untuk menyelesaikan "percikan-percikan" yang diharap tidak disiarkan lebih dulu pada pers. Forum itu dibentuk sejak adanya konsensus 15 Maret. Yang pertama ditangani adalah kasus Bondowoso, kemudian soal "daerah bebas parpol" di Sulawesi Selatan. Di DKI, forum semacam itu pertama kali diselenggarakan 6 April di Markas Kodam V Jaya, tapi tidak ada acara menyelesaikan kasus-kasus. Hanya silaturahmi. Mayjen GH Mantik tak menyebut-nyebut protes keras DPD PDI Jakarta (TEMPO, 9 April). Pangdam V/Pangkopkamtibda Jaya itu bahkan menyatakan, "selama 43 hari kampanye, di Jakarta tak terjadi bentrokan fisik antar kontestan, juga tak ada kelompok intimidasi dan teror". Adanya forum itu sendiri, tampaknya belum dimanfaatkan. Malah Cosmas Batubara, di kantor DPP Golkar jalan Majapahit, Jakarta, mula-mula sampai pekan lalu "belum banyak tahu". "Ya, apa ada di tingkat pusat?" tanyanya pada Said Muchsin dari TEMPO. "Forum itu minimal dapat mengurangi kesalah-fahaman". Cuma meskipun kurang faham mengenai mekanisme kerjanya, ia menganggapnya penting "untuk mengingatkan kontestan agar tak melampaui batas", kata Cosmas setelah diberi tahu seorang stafnya tentang adanya forum itu. Obyek Bagi drs TAM Simatupang, forum belum berjalan sebagaimana diharapkan. "Efektifitasnya diragukan", kata ketua DPD PDI Jakarta itu. Memang ada musyawarah tentang kasus perusakan kapal nelayan dan tanda gambar PDI di Bali, tapi "hari ini musyawarah, besoknya diteror", tambahnya. Tak puas dengan forum, PDI telah melaporkan kasus-kasusnya kepada Jaksa Agung. Tentang pengadilan pemilu, menurutnya sudah dilaksanakan, misalnya di Aceh dan Jatim. Kasusnya: penyobekan tanda gambar beringin . "Tapi kasus penyobekan tanda gambar PDI belum ada yang diadili", protesnya. Sejauh ini, kata Simatupang, PDI mematuhi konsensus, kasus-kasus di daerah dilaporkan pada Kopkamtib setiap minggu sejak 15 Maret. Dan jumlahnya puluhan. "Tapi saya belum tahu bagaimana perkembangan penanganannya oleh Kopkamtib, hingga seolah-olah forum itu tak ada gunanya", ujarnya lagi. "Kalau terus menunggu begini, pemilu sudah usai, kasusnya tak pernah selesai". Simatupang juga mengeluh: seminggu setelah forum dibentuk, polisi Pekalongan menolak ia kampanye di sana, karena katanya belum terima instruksi Kopkamtib. Tak lupa Simatupang juga menyesalkan "wasit-wasit yang tidak jujur". Dengan tandas ia katakan, "kalau mereka melanggar peraturan, diberhentikan saja". Dia lalu menunjuk beberapa menteri yang cuti lalu kampanye di daerahdaerah dengan biaya departemen. "Menteri seperti itu harus diperiksa", tukasnya. Bahkan dalam diskusi di Graha Pancasila di Bandung yang diselenggarakan oleh DM UNPAD, 9 April, Simatupang seakan mengancam "kalau pelanggaran-pelanggaran masih terjadi, PDI memutuskan tidak ikut pemilu". Tentang konsensus 15 Maret, setelah 20 hari kampanye, "apakah hal itu bukan untuk membatasi parpol? Sebab kalau pak Sudomo konsekwen, harus ditindak pula lurah-lurah, camat, bupati dan gubernur yang sebagai wasit terang-terangan ikut main", katanya. Di IKIP Jakarta, pada hari yang sama juga ada "kuliah umum" (dari PPP & PDI) - tapi tak ada hal-hal baru. Yang menarik adalah kuliah Nurcholish Madjid di IAIN "Sunan Ampel" Surabaya. Di sana, Nurcholish Madjid yang mengaku bukan orang PPP dan bukan anggota DPR menyatakan, "saya kampanye untuk PPP sebab partai ini masih punya keberanian moril menyatakan pendapat dalam posisi yang lemah". Tapi kalau PPP menang, Nurcholish menganggapnya "berbahaya, sebab tak punya teknokrat. Semua teknokrat sudah diborong Golkar". Yakin Golkar akan menang, tokoh muda Islam itu mengharap kemenangan itu tidak mutlak, sebab kemutlakan cenderung ke arah kesewenang-wenangan. Ia menganggap perlunya keseimbangan politik. "Tiadanya kekuatan berimbang akan menimbulkan kesulitan melakukan kontrol yang justru diperlukan dalam kehidupan demokrasi yang sehat", ujarnya. Mengajak mahasiswa menjadi kekuatan independen, ia menegaskan, "kekuatan politik berimbang boleh dikata sudah menjadi ideologi saya". Menurut VB da Costa, wakil sekjen DPP PDI, sampai kini baru satu kasus (bebas parpol di Sulsel) yang ditangani forum tingkat pusat, sementara di tingkat daerah, sudah banyak. "Sebetulnya forum bisa efektif kalau Kopkamtib mau menggerakkan sampai bawah", ujarnya. Seperti halnya Simatupang, ia juga bilang: "Kalau beringin yang dirusak, beberapa hari sudah diadili. Tapi kasus di Bali misalnya, sampai sekarang berita acaranya saja belum dibuat. Lha kalau begini namanya apa?". Seperti halnya PDI, Chalid Mawardi dari DPP PPP meragukan fungsi iorum. Dan karenanya juga bermaksud menemui Jaksa Agung. Setali tiga uang, Nuddin Lubis ketua DPP PPP, menyatakan manfaat forum "kecil sekali". Meski Kopkamtib sudah memperlihatkan beberapa ketentuan tentang forum kepada pers di hotel Hilton dengan slide, Nuddin Lubis menyatakan, ketentuan tertulis mengenai forum itu belum ada. Tak tahu berapa kasus yang ditangani oleh forum "dalam masa kampanye ini tak jelas bagaimana status lembaga itu". Sepuluh hari setelah konsensus, Komisi II DPR sebenarnya sudah berusaha bersidang untuk membicarakan beberapa insiden - meski DPR masih reses. Tapi sidang yang diusahakan sampai 5 kali itu (sejak Sabtu 26 Maret) -- gagal. Tentu saja PPP dan PDI menyesalkannya. Kenapa? Ka Humas DPR drs Dudung Kamaluddin mengemukakan alasan: banyak para anggota kampanye di daerah, tiada biaya transpor dan ada yang sakit. Tapi Chalik Ali dari PPP tegas-tegas menuding Fraksi Karya sebagai penyebab kegagalan sidang, hingga korum (separoh tambah satu) tak tercapai. Katanya, dari 23 anggota Fraksi Karya Pembangunan yang hadir cuma 5 sampai 8 orang dari 7 Fraksi ABRI yang hadir cuma 1 atau 2 dari 9 Fraksi Persatuan yang hadir 5 atau 8 dan dari 3 Fraksi Demokrasi hadir 1 atau 2. "Kalau Amirmachmud mau menyuruh anggota FKP hadir, mereka akan hadir". kata Chalik kepada TEMPO. Karundung (PDI), wakil ketua Komisi II, menyesalkan tak hadirnya Mendagri dalam sidang Komisi II. "Masa ia lebih mementingkan peresmian pasar loak di Surabaya?" katanya. Menurut catatan Karundeng, kasus-kasus dari daerah sudah bertumpuk. "Apa ini yang namanya demokrasi Pancasila", tambahnya kesal. Baik J. Sinaga maupun Warsito Puspoyo, ketua dan wakil ketua Komisi II, sama-sama menyesal atas kegagalan sidang tersebut. Meski begitu, toh MB Samosir sekjen DPP PDI masih bisa "maklum". Katanya,"tak perlu cari-cari alasan mengapa sidang gagal". Tentang kegagalan sidang itu, tak kurang dari Jenderal Nasution, bekas ketua MPRS, sempat menanggapinya. "Memalukan. Kegagalan sidang itu bukan satu pendidikan politk yang baik buat rakyat", katanya pada Klarawijaya dari TEMPO. "Kalau saya jadi pimpinan DPR, akan saya paksa Komisi bersidang". Menurut Nasution, kegagalan sidang itu bisa mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional di masa depan. "Luka hati seseorang susah diobati. Kalaupun sembuh, meminta waktu lama. Dengan gagalnya sidang Komisi itu, saya khawatir di masa depan akan timbul gangguan terhadap stabilitas nasional", katanya. Mudah-mudahan sih tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus