Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah padang bunga di Jalalabad tak menyebarkan semerbak sebuah musim. Bukan karena Afganistan tak percaya pada puisi atau keindahan, melainkan karena padang bunga itu bernama poppy, setangkai bunga dengan getah kelopak yang mematikan.
Nun di Jalalabad dan seluruh Afganistan, yang mencoba membangun negara yang runtuh oleh perang yang tak berkesudahan, ada perang lain yang harus mereka hadapi: opium. Syahdan, seorang petani dari sebuah desa di Distrik Rohdat, Jalalabad, tengah bersikukuh bahwa di ladangnya hanya ada gandum dan bawang. Namun, jelas tanaman yang berserakan di ladangnya itu bekas panenan opium. "Semua petani di distrik ini menanam opium. Hanya orang bodoh yang tidak mau menanamnya," ujar seorang guru, tetangga Sowab.
Kebohongan ini adalah teknik biasa sejak PBB dan pemerintah Afganistan beberapa pekan silam menyalak. Mereka tidak hanya mengancam akan menangkapi petani seperti Sowab, tapi juga mengancam akan membumi-hanguskan ladang opium dengan semprotan udara. Cara ini dikenal efektif saat dipakai di Kolombia membasmi ladang kokain. "Kami memang akan membasmi ladang opium dari udara," ujar Presiden Afganistan, Hamid Karzai, dua pekan lalu.
Maka, dua pekan silam zat pelumat tanaman itu benar-benar disemprotkan dari udara. Pesawat-pesawat berseliweran di wilayah pedesaan, termasuk di Desa Sowab, memuntahkan butiran serupa salju. Alih-alih semprotan itu membasmi ladang opium, berbondong-bondong penduduk di utara menderita akibat sesak napas dan pingsan karena semprotan. "Di klinik saya saja ada 30 petani yang saya rawat setelah ladangnya disemprot," ujar Mohammed Rafi Safi, dokter di sebuah desa di Provinsi Nangarhar.
Betapa berangnya Karzai mendengar laporan ini. Pasalnya, dia mengaku belum mengeluarkan perintah penyemprotan. "Masalah ini jadi serius tidak cuma karena merusak tanaman lain, tapi juga mengancam integritas nasional lantaran dampaknya banyak melukai petani," ujar juru bicara Karzai, Jawed Ludin.
Parahnya, siapa pembawa pesawat itu masih misteri. "Tak ada yang mengaku. Yang pasti, Angkatan Udara Afganistan sendiri masih di bawah kontrol Amerika," ujar Gubernur Nangarhar, Din Mohammed. Karzai pun mempertanyakan hal ini secara resmi pada pihak Amerika. "Tentara AS tidak terlibat sama sekali," ujar juru bicara militer AS di Afgan, Mayor Mark McCann.
Apa pun itu, panen raya opium ini memang menakutkan banyak pihak. Tidak hanya ladang Sowab yang ditanami opium, tapi di seantero Afganistan, 15 ribu hektare ladang di 32 provinsinya, juga ditanami opium. Tanaman yang getah bunganya (poppy) menjadi bahan mentah morfin dan heroin ini juga ditanam oleh lebih dari 2,3 juta petani di sana.
Menurut laporan resmi PBB, produksi opium Afganistan memang melonjak dua pertiga kali tahun 2003, sebanding dengan heroin 4,2 juta kilogram. "Afganistan memecahkan dua rekor tahun ini, produksi opium terbanyak dalam sejarah Afganistan dan menjadi pemasok terbesar dunia saat ini," ujar Antonio Maria Costa, Direktur Eksekutif Narkotik dan Kriminal PBB, saat mengungkapkan laporannya dua pekan lalu. Tahun ini memang Afganistan menjadi pemasok opium terbesar (87 persen) dunia, melebihi produksi negara golden triangle Laos, Burma, dan Thailand.
"Kekhawatiran Afganistan akan menjadi negara narkotik seperti Kolombia (kokain) akan menjadi kenyataan, apalagi didukung pemerintahan yang ko-rup," Costa menambahkan. Tidak bisa disangkal, hasil penjualan opium yang tahun ini saja yang mencapai US$ 2,8 miliar kini telah menjadi mesin penggerak utama ekonomi Afganistan, setara dengan 60 persen GDP (gross domestic product) Afganistan tahun lalu.
Kekhawatiran Costa masuk akal. Opiumdi Indonesia dikenal salah satunya sebagai bahan shabu-shabumemang tumbuh subur di daratan Afganistan. Opium sendiri bukan barang baru di Afganistan. Sebelum Taliban tumbang tiga tahun lalu, opium bahkan telah menjadi komoditas primadona. Masa transisi, setelah Taliban tumbang, membuat pengawasan melemah. Ini menjadikan siapa saja bisa menanam opium.
Apalagi, menurut penelitian PBB, opium kini telah menjadi kultur yang bahkan rantai bisnisnya sulit diputus. Mulai dari petani sekelas Sowab Khan hingga para baron (warlord), bahkan pejabat pemerintah sendiri, "terbius" bisnis opium ini.
Sowab, misalnya. Dengan hasil jual opium yang harganya bisa mencapai 10 kali harga gandum, dia bisa menghidupi keluarganya. "Saya tidak mau kembali ke kamp pengungsian di Pakistan. Dengan opium, saya bisa bertahan hidup di atas tanah saya sendiri," ujar Sowab.
Sejak kembali dari kamp pengungsi tiga tahun lalu, Sowab meminjam sejumlah modal dari baron setempat. Uang itu dipakainya membeli bibit dan memulai budidaya opium. Dengan harga jual opium $ 92 per kilogram, dia bisa melunasi utang sekaligus menghidupi keluarganya.
Yang paling diuntungkan tentu saja para baron. Mereka, selain menerima piutang, juga menarik pajak 10 persen dari para petani, 15 persen dari pemilik laboratorium opium, dan 18 persen dari distributor atau pengekspor. Belum terhitung termasuk pejabat pemerintah. "Merekalah yang justru secara resmi setiap tahun mengimpor 10 ribu ton bahan kimia pengolah opium menjadi heroin," ujar seorang anggota lembaga swadaya masyarakat.
Menurut Costa, dari total produksi opium, tiga perempatnya diolah di Afganistan dan diekspor dalam bentuk heroin. Rute ekspor gelap utamanya adalah melalui perbatasan Iran dan Turki. "Saya pernah menyaksikan iringan 64 truk pembawa heroin dan opium dalam kawalan tentara baron setempat," ujar seorang intel negara Iran kepada PBB.
Dari sana, heroin dan opium mentah dibawa ke pusat distribusinya di Istanbul dan Kota Tirana di Albania. Rute lain yang biasa diambil adalah melalui Pakistan dan menyeberangi perbatasan Tajikistan, atau Turkmenistan, lalu ke Kirgizstan dan Rusia. Semua bermuara di Belanda dan pusat distribusi utama heroin di Eropa. Dan ini tidak bisa dihindari karena, ironisnya, semakin dilarang, harga opium malah makin mendaki. Berita penyemprotan opium, misalnya, kini mendongkrak lima kali lipat harga opium di tingkat petani.
Endah W.S. (Reuters, AP, AFP, Belfast Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo