MESIR, Selasa pekan lalu, diguncang kerusuhan. Hotel-hotel berbintang lima di sekitar Piramid Gaza, Kairo, habis dibakar massa, dan kini tinggal puing-puing hitam. Maka, jam malam terpaksa diberlakukan di ibu kota Mesir itu. Kerusuhan itu disebut didalangi oleh 2.500 anggota Wajib Polisi, yang menolak perpanjangan masa dinas mereka dari empat menjadi lima tahun. Selang beberapa hari kemudian pasukan pengaman yang diperkuat dengan satuan-satuan lapis baja mulai ditarik ke barak-barak mereka. Jalan-jalan di kota berpenduduk 12 juta jiwa itu mulai ramai lagi. Bagi kebanyakan rakyat Mesir, tulis pembantu TEMPO di Kairo, Dja'far Bushiri, kejadian tersebut bagaikan sebuah mimpi. Sebab, peristiwa berdarah itu sendiri harus dibayar dengan jatuhnya 37 orang tewas -- termasuk seorang nenek berusia 77 tahun, warga negara Denmark, yang tidak sempat menyelamatkan diri ketika para pemberontak membakar hotel tempat ia menginap. Buntut aksi polisi itu juga menyenggol Menteri Dalam Negeri Ahmed Rushdi, yang harus menyerahkan jabatannya kepada Mayor Jenderal Zaki Badr. Ahmed Rushdi dianggap lalai menjalankan tugas. Dan Presiden Husni Mubarak sudah menugasi Zaki Badr untuk membersihkan aparat-aparat yang mengakibatkan meletusnya kerusuhan itu. Akibat bencana tersebut, kerugian yang ditimbulkan senilai US$ 105 juta. "Belum termasuk biaya membangun kembali hotel-hotel dan bangunan lainnya itu," ucap Menteri Negara Urusan Administrasi Pembangunan Dr. Atif Abid. Hingga awal pekan ini sudah 2.000 anggota Wajib Polisi itu diringkus. Pemeriksaan terhadap mereka telah dilakukan secara maraton, tapi motif dan latar belakang kerusuhan tersebut masih belum terungkap. Satuan Wajib Polisi itu dibentuk menjelang penutup 1960-an. Baik kekuatan maupun persenjataan mereka meningkat di kala Presiden Anwar Sadat berkuasa. Satuan wajib militer inilah yang ditugasi pemerintahan Mubarak mengobrak-abrik kubu-kubu Islam fundamentalis tidak lama setelah Sadat dibunuh. Umumnya, anggota satuan Wajib Polisi yang ditempatkan di kota-kota besar ini berasal dari keluarga miskin di pedesaan. Melihat latar belakang itu banyak pihak tidak percaya bahwa mereka bisa mendalangi sebuah kerusuhan. Lalu, penyebabnya? Semula diperkirakan, karena solidaritas para Wajib Polisi itu kepada rekan mereka Soleiman Khatir, jebolan Fakultas Hukum, yang divonis hukuman seumur hidup plus kerja paksa. Soleiman dipersalahkan membunuh tujuh wisatawan Israel di Sinai, Oktober tahun lalu. Belakangan ia ditemukan tewas menggantung diri di selnya. Kematian Soleiman itu sempat menjadi api penyulut demonstrasi di kampus-kampus Mesir, awal tahun ini. Waktu itu, muncul pamflet yang berbunyi: "Kepergian Khatir Berarti Hilangnya sang Hero". Selain itu, ada dugaan lain yang menghubungkan kerusuhan tersebut dengan kaum fundamentalis. Namun, itu agak sulit dipercaya, karena sejak kematian Sadat, aktivitas kelompok tersebut makin dibatasi dengan ketat. Dan pemerintah belum memberikan penjelasan resmi penyebab kerusuhan itu. Yang menjadi pertanyaan, mengapa mereka justru menghancurkan tempat-tempat mewah. Juga belum ditemukan jawabannya. Diduga ini mengacu kepada masalah perekonomian. Selain berasal dari kalangan bawah, pendapatan mereka pun hanya sekitar US$ 5 per bulan. Bagaimana mereka tak dongkol melihat orang-orang kaya bermewah-mewah di hotel-hotel berbintang lima. Tidak bisa dipungkiri, memang, bahwa Mubarak dihadapkan pada kenyataan perekonomiannya yang parah. Negara-negara kaya minyak di Timur Tengah, yang biasa mengimpor tenaga kerja dari Mesir, sudah menutup pintu mereka. Dan menurunnya harga minyak menyebabkan Mubarak akan kehilangan dana US$ 700 juta. Semula hal itu akan dicoba ditutupi Mesir dengan pengembangan sektor pariwisata. Untuk tahun ini, Mesir berharap pemasukan US$ 600 juta dari sektor tersebut. Namun, setelah pembajakan kapal Achille Lauro dan penyergapan pesawat Egypt Air, banyak wisatawan asing mengubah tujuan mereka dari Mesir. Di balik peristiwa itu semua, kerusuhan tersebut mempunyai akibat lain. Yaitu munculnya kembali kekuatan militer. Tidak bisa disangkal bahwa kerusuhan satuan Wajib Polisi itu bisa dipadamkan berkat tangan dingin Menteri Pertahanan Marsekal Abdel Halim Abu Ghazala dengan 300.000 tentara yang dikerahkan. Padahal, selama ini, Mubarak justru mencoba menjaga keseimbangan antara kaum oposan dan militer. Kini, bahkan ada yang meramalkan tidak tertutup kemungkinan militer akan mendongkel Mubarak. James R. Lapian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini