Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 26) Alok Sharma menantikan langkah yang lebih ambisius dari Indonesia untuk mencapai emisi nol (net zero emission). Hal tersebut merespon kurang tegasnya sikap Indonesia untuk mencapai target tersebut ketika mengikuti Leader Summit on Climate 2021 pada April lalu.
Dalam event tersebut, Presiden Joko Widodo menyampaikan tiga pokok pikiran, namun tidak satupun soal target waktu mencapai emisi nol. Hal tersebut kontras dibandingkan negara-negara tetangga. Amerika, misalnya, menaikkan target pengurangan emisi dua kali lipat dari komitmen sebelumnya, 26-28 persen jadi 50-52 persen per 2005-2030.
"Pesan kami konsisten, kami menginginkan target nol emisi yang ambisius. Kami menginginkan nol emisi dicapai pada pertengahan abad ini. Bersamaan dengan itu, kami juga menginginkan implementasi NDC yang ambisius juga," ujar Sharma ketika diwawancarai di Hotel Mandarin Oriental, Selasa, 1 Juni 2021.
Sharma tidak menyangkal bahwa Indonesia sudah berupaya untuk mencapai nol emisi secepat mungkin. Namun, ia menyakini Indonesia bisa lebih baik perihal pencapaiannya. Oleh karenanya, ia berharap Indonesia hadir pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 26) di Glasgow pada November nanti dengan rencana dan target yang lebih spesifik.
Sharma menegaskan bahwa dia tidak pilih kasih dalam hal ini. Rencana dan target nol emisi yang lebih ambisius juga ia tagih pada negara-negara peserta COP 26 lainnya. Per berita ini ditulis, Indonesia adalah negara ke-22 yang dihadiri Sharma sebagai persiapan menuju COP 26.
"Kebijakan, strategi jangka panjang untuk mencapai target , untuk mengubah komitmen menjadi ambisi kemudian menjadi langkah, adalah hal vital (dalam mencapai nol emisi)," ujar Sharma menegaskan.Seorang wanita membawa poster saat melakukan aksi protes perubahan iklim di Melbourne, Australia, 20 September 2019. Aksi protes ini menjelang KTT Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 23 September mendatang REUTERS/Melanie Burton
Sharma melanjutkan bahwa transisi ke energi baru terbarukan adalah langkah integral untuk mendukung pencapaian nol emisi abad ini. Ia mengaku senang ketika mendengar Indonesia memiliki rencana transisi ke energi panas matahari, angin, dan air yang lebih maju dari yang sebelumnya bergantung pada energi berbasis fosil. Namun, ia ingin melihat realisasinya, terutama pengurangan penggunaan batu bara.
Menurut Sharma, pengurangan penggunaan batu bara bukan hal yang muluk. Tren terbaru, klaim ia, investor mulai skeptis untuk berinvestasi di batu bara karena makin murahnya energi baru terbarukan. Di sisi lain, untuk bisa balik modal dalam investasi pembangkit tenaga batu bara, diperlukan 15-20 tahun. Melihat tren, Sharma berkata pembangkit batu bara berpotensi usang dan terbengkalai sebelum balik modal tercapai.
"Di Inggris, porsi energi dari pembangkit tenaga batu bara sempat mencapi 40 persen pada 2012. Sekarang, kurang dari 2 persen. Per 2024, kami yakin sudah nol. Hal itu karena kami mengandalkan pembangkit tenaga angin lepas laut. Kami mendorong investor berinvestasi di sana."
"Saya paham bahwa setiap negara memiliki titik mulai yang berbeda-beda soal bauran energinya dan hal itu saya maklumi. Namun, tidak boleh dikesampingkan bahwa potensi energi baru terbarukan itu begitu tinggi sekarang," ujar Sharma yang berharap negara anggota G20, salah satunya Indonesia, bisa mengikuti langkah G7 menghentikan pendanaan internasional proyek batu bara dan energi bebasis fossil.Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperhatikan turbin kincir angin saat meresmikan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Desa Mattirotasi, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Senin, 2 Juli 2018. Jokowi meresmikan PLTB Sidrap, yang memiliki kapasitas 75 megawatt. Foto: Biro Pers Setpres
Senin kemarin, Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya menyatakan bahwa Indonesia berupaya keras untuk mencapai nol emisi. Namun, target tiap sektor akan berbeda-beda di mana menyesuaikan pada komitmen masing-masing. Sektor kehutanan, misalnya, diproyeksikan mencapai nol emisi pada 2030.
Sektor paling berat diakui oleh Siti adalah sektor energi. Tantangannya banyak walaupun sudah ada target nol emisi dan pembangkit energi baru terbarukan pada 2050. Ia berkata, teknologi dan finansial akan menjadi kunci.
"Pak Presiden (Joko Widodo) sudah memerintahkan untuk membuat peta jalan bagaimana mengurangi PLTU-PLTU yang didukung batu bara. Masalah utamanya memang ada di batu bara kalau teknologi dan finansialnya buruk," ujar Siti.
Dalam analisis KLHK beberapa waktu lalu, semua sektor harus makin menurunkan emisi gas rumah kaca menuju 2050. Pada tahun itu, proyeksi KLHK, diperkirakan bauran batu bara mencapai 39 persen, gas 12 persen, minyak bumi 17 persen, dan energi baru terbarukan 32 persen.
Kondisi itu menurut KLHK bisa dicapai asal ada transformasi sistem energi, pengurangan konsumsi batu bara, dan penerapan teknologi yang berdampak signifikan pada pengurangan emisi. Jika lancar, KLHK memproyeksikan nol emisi dicapai paling lamban 2070 yang dianggap berbagai pakar terlalu lama.
Baca juga: Kelompok G7 Sepakat Hentikan Pendanaan Batu Bara untuk Atasi Perubahan Iklim
ISTMAN MP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini