Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Khomeini & Orang Islam Di Washington

Khatib abdul rahman osman, wakil direktur islamic centre dituduh masyarakat islam di washington memberi senjata kepada musuh & memihak as. umat islam amerika menghendaki sandera dibebaskan. (ln)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sesuatu yang tak biasa setelah sembahyang Jumat di Masjid Washington, Amerika Serikat, pertengahan November yang lalu. Begitu Imam selesai mengucapkan salam tanda akhir sembahyang, seorang hitam tinggi besar berdiri. Dengan Qur'an di tangan, ia berseru: "Brother, brother, saya minta perhatian sebentar. Kita tadi telah mendengar khotbah yang baik dari khatib yang baru saja jadi imam kita juga. Tadi malam kita lihat juga khatib ini berkhotbah di gereja . . . Marilah kita minta dia memberi penjelasan mengapa ia di sana dan apa yang ia katakan." Sang khatib, Abdul Rahman Osman, wakil direktur Islamic Centre yang berpusat di masjid itu, berdiri. Ia pun memberi penjelasan tentang kunungannya ke gereja besar Washington, Kamis 15 November. Hari itu ada upacara doa bersama antar-agama yang dihadiri Presiden Carter, Wakil Presiden Mondale, Menlu Cyrus Vance dan para keluarga orang Amerika yang disandera di Teheran. Di samping wakil agama Kristen dan Yahudi, Abdul Rahman Osman mewakili umat Islam mendoakan keselamatan para sandera. Dalam upacara itu Osman antara lain mengatakan bahwa Islam tak membenarkan penyanderaan. Ia menunjukkan ayat tentang orang Muslim yang tak boleh memasuki rumah orang tanpa izin yang empunya. "Islam juga mengajarkan kasih, mengajarkan pengampunan," kata Osman yang memulai pidatonya dengan ucapan Bismillah. Dalam keadaan normal, tindakan Osman mungkin akan dipuji banyak orang Islam. Tapi dalam situasi permusuhan antara AS dan Iran kini, reaksi tak urung timbul. Ia dituduh oleh sebagian masyarakat Islam di Washington sebagai "memberi senjata" kepada "musuh". Ia dituduh memihak Amerika, dan Osman, seorang Mesir, juga dituduh meletakkan diri segaris pemerintah Mesir. Presiden Sadat memang mengecam Khomeini dengan kasar, dan seorang ahli hukum Islam di Universitas Al Azhar di Kairo juga menyebut tuntutan Khomeini, agar bekas Syah yang sakit dikirim kembali ke Iran, sebagai "bukan Islam". Sebab "Islam memperlakukan orang sakit atau yang hampir mati dengan sangat ramah." Osman membantah bahwa ia menyerang Khomeini. Ia hanya mendoakan keselamatan dan segera dibebaskannya para sandera. Tapi ia dikecam juga karena ia tak menyebut bahwa Islam juga "menentang orang yang melindungi pembunuh dan perampok harta negara." Dan di luar masjid, selebaran pun menuduh bahwa Islamic Centre dikendalikan CIA. Dalam kenyataannya, Pusat Islam itu dikendalikan oleh kedutaan besar negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Tapi emosi memang sedang naik di AS. Pusat Islam yang terletak di deretan gedung kedutaan itu selama beberapa hari secara tak langsung jadi sasaran demonstrasi anak muda AS yang murah kepada Iran. Mereka membawa poster-poster yang antara lain meminta agar mobil yang lalu-lalang di situ membunyikan klakson jika mereka setuju dengan demonstrasi anti Iran. Hampir tiap mobil rupanya akur, dan suara klakson pun mendobret-dobret - tak peduli dalam masjid sedang ada sembahyang atau khotbah. Memang letak masjid itu hanya kira-kira lima rumah dari kedutaan Iran. Dan menurut peraturan setempat, demonstrasi tak boleh dilakukan lebih dekat dari 200 meter dari kedutaan. Karena itu anak-anak muda itu berhenti di depan masjid. Sebenarnya mereka bisa juga berhenti di ujung jalan lainnya, jauh dari masjid. Tapi baik bagi orang-orangnya Khomeini maupun bagi orang Amerika yang anti Khomeini, pencampur-adukan rupanya telah terjadi antara "Iran-Khomeini" dengan "Islam". Seakan-akan, apa saja yang dilakukan Khomeini adalah "Islam". Dalam keadaan itu sikap anti-penyanderaan cenderung disebut sebagai sikap "anti-lslam". Sebuah selebaran dari "The Muslim Students of District of Columbia" menyebut tindakan Osman dalam doa bersama dengan Carter sebagai "pelanggaran terhadap solidaritas Islam". Mereka menuntut kepada Dewan Direktur Islamic Centre, yang terdiri dari para wakil kedutaan besar negeri Muslim, agar menunjuk pengurus yang disetujui umat Islam setempat. Belum diketahui langkah yang akan diambil Dewan Direktur. Sementara ini mereka melarang staf Islamic Centre memberikan wawancara atau melakukan kegiatan yang "mengandung politik". Kata seorang anggota Dewan Direktur: "Biarlah Centre ini tetap jadi pusat kebudayaan." Bagaimana dengan sikap orang Amerika Islam? Kareem Abdul Jabbar dan Jamal Wilkes, dua pemain basketball Amerika Muslim yang namanya bagi orang Amerika seperti nama Rudy Hartono bagi orang Indonesia, boleh dikata mencerminkan sikap umat Islam Amerika pada umumnya mereka menghendaki agar sandera dibebaskan, tapi tentang Syah Iran mereka berdiri di belakang Khomeini. "Orang-orang Amerika di Iran itu menderita oleh suatu perbuatan yang bukan perbuatan mereka," kata Kareem. Tapi "Syah sebaiknya dikembalikan ke Iran, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus