Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Serbuan Dekat Kaabah

Masjidil haram diserbu oleh gerombolan pemuda fanatik, akibat perubahan sosial budaya. umur mereka rata-rata tak lebih 30 tahun & dipimpin "imam mahdi". madinah, mekah dan ka'bah dulu pernah diserang.(ag)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI abad ke-XV tahun Hijrah, tak seorang pun menyangka sesuatu yang sangat mengejutkan akan terjadi. Lebih dari 1000 tahun setelah serbuan Yazib bin Mu'awiyah ke Mekah (lihat Mereka Pernah Menyerbu Bait Itu), kekerasan tiba-tiba meletup di dekat tempat suci itu. Dan dunia gempar. Subuh hari Selasa 20 November itu sisa-sisa jamaah haji, yang baru selesai menyelesaikan ibadahnya, bersembahyang di Masjid Suci. Bangunan itu mampu menampung 300.000 orang. Pagi itu tak seluruhnya sesak hanya sekitar 100.000 yang hadir. Banyak jamaah haji sudah pulang ke tanah air masing-masing. Dan begitu sembahyang berakhir, tiba-tiba saja seorang anak muda berpakaian gamis putih berdiri. Ia berada di baris (saf) depan, di dekat Ka'bah. Ia memegang mike, dan berbicara dengan cepat dalam bahasa Arab. Beberapa menit kmudian mendadak listrik mati hingga suaranya dari jauh tak terdengar . . . Bersamaan munculnya orang di depan itu, dari sudut-sudut sejumlah pemuda berpakaian gamis putih bersorban merah kotak-kotak berlarian menyebar. Di kedua tangan mereka nampak senjata api otomatis. Seorang jamaah Mesir yang pernah dilatih dalam ketentaraan mengenali bahwa senjata para pemuda itu jenis bikinan Rusia dengan hower bengkok. Para penyerbu juga berselempang sabuk berpeluru. Sementara itu, 64 buah pintu gerbang masjid yang besar-besar itu telah ditutup -- dengan suara menggelegar bagaikan guruh, yang menyebabkan beberapa jamaah haji dari Pakistan berseru "Allahu Akbar!" karena menyangka hujan turun lagi seperti dua hari sebelumnya. Ketika listrik mati, masjid jadi gelap. Jamaah mulai gelisah. Terdengar tembakan berkali-kali. Dari dalam, belum jelas ke arah mana peluru ditujukan. Tapi di sebuah pintu seorang jamaah Indonesia melihat tubuh penjaga tergeletak, berlumur darah. Apakah yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan itu sampai awal pekan ini belum terjawab sepenuhnya. Tapi Sementara seluruh dunia bertanya-tanya, beberapa jam saja setelah peristiwa itu, Rabu siang nun jauh di Islamabad, Pakistan, ribuan orang punya jawaban mereka sendiri. MEREKA, entah dari desas-desus siapa, menuduh bahwa -- pemerintah Amerika Serikatlah yang di belakang penyerbuan di Mekah itu. Gedung kedutaan besar AS dibakar, 100 orang Amerika terkepung. Dan serbuan itu menyebabkan 6 orang tewas: dua petugas militer Amerika, dua pegawai kedutataan orang Pakistan dan dua mahasiswa yang menyerbu. Orang-orang Pakistan, seraya berseru "Bunuh Anjing Amerika!", juga membakar pusat kebudayaan Amerika di Rawalpindi dan Lahore. Cabang Bank of America di Islamabad, kantor American Express di Rawalpindi, juga perpustakaan British Council di kota ini, dirusak. Demonstrasi anti-Amerika juga bergolak hampir bersamaan di Karachi, Hyderabad dan kota-kota Pakistan lainnya. Pasukan pemerintah Pakistan terlambat 5 jam sebelum bertindak mencegah kerusuhan itu -- satu hal yang disesalkan orang Amerika. Tapi Presiden Zia Ul Haq menelepon Presidn Carter mengatakan maafnya. Ia kemudian berseru kepada bangsanya, bahwa orang Muslim punya tugas suci menjaga kedutaan asing di negerinya -- satu pernyataan yang berbeda dengan sikap Ayatullah Khomeini yang mendukung penyanderaan diplomat Amerika di Teheran. Zia lalu bertindak lebih jauh. Penangkapan dilakukan. Kebanyakan mahasiswa yang ditahan sebagai penggerak demonstrasi sebagian besar adalah pengikut Partai Rakyat Pakistan, yang dulu dipimpin almarhum Ali Bhutto -- tokoh yang sudah digantung Zia itu. Tak jelas adakah dengan begitu Zia hanya hendak menghitamkan musuh-musuhnya. Tapi banyak dugaan bahwa kejadian di Pakistan itu juga merupakan percikan dari permusuhan politik di Pakistan sendiri. Tapi tak cuma di Pakistan. Dalam waktu yang berdekatan, demonstrasi timbul di Izmir, kota pelabuhan Turki Barat. Mereka juga menyerukan anti "imperialis Amerika". Di Dakka, Bangladesh, 500 pemuda Kamis siang mendatangi kedutaan besar AS dan malam harinya 2000 berpawai di jalan raya Dakka dengan yel "hancurlah imperialisme !" Menakjubkan bagaimana dengan mudah gelombang massa digerakkan --atas dasar suatu hal yang belum jelas. Presiden Zia sendiri, seorang Islam yang mau menegakkan hukum Islam di negerinya, menegaskan bahwa kejadian di Mekah itu "tak ada hubungannya dengan negara-negara Barat." Pemerintah Arab Saudi juga menandaskan, bahwa tidak benar Amerika Serikat terlibat dalam kejadian di Masjidi Haram itu. Bahkan juga motif para penyerbu, menurut jurubicara pemerintah di Ryadh, bukanlah politik. Dari sini nampak pemerintah Saudi dengan tenang mengatasi kejadian yang di negeri lain telah menimbulkan huruhara itu. Berbeda dengan kebiasaan para pemimpin negara berkembang lain, pemerintah Saudi tak cepat menuduh bahwa gerakan di Masjidil Haram itu "ditunggangi". Informasi yang mereka peroleh dalam keadaan penuh teka-teki dan berbahaya itu rupanya cermat, dan mereka yakin akan bisa mengatasinya. Pangeran Fahd, putera mahkota dan orang kuat di negeri itu, bahkan terus tinggal di Tunis meneruskan konferensi Liga Arab -- sementara Raja Khaled bermusyawarah dengan para ularna agar diizinkan menggunakan kekerasan dalam usaha pemerintah membebaskan masjid. Cara tenang itu banyak membantu. Meskipun demikian, karena diputuskannya hubungan telekomunikasi dengan dunia luar, dugaan macam-macam sempat terlontar. Demonstrasi di negara-negara Asia Selatan adalah contohnya. Ayatullah Khomeini bahkan menggunakan kejadian itu untuk meluaskan front permusuhannya terhadap AS. Ia mengatakan bahwa "tak berlebihan untuk menduga bahwa tindakan ini dilakukan oleh imperialisme Amerika . . . dan Zionisme internasional." Pemerintah AS dengan keras tentu saja membantah tuduhan itu, dan begitu juga pemerintah Saudi. Tapi Iran sendiri tak lepas dari tuduhan. Harian Kairo Al Akhbar sebelumnya melontarkan tuduhan bahwa "gerombolan Khomeini" berada di belakang aksi di Ka'bah itu. Sebelumnya memang dikabarkan bahwa menjelang musim haji orangorang Iran akan datang ke Mekah dengan pamflet-pamflet. Bahkan September yang lalu pemerintah Bahrein sudah mencoba menyingkirkan tanda-tanda pengaruh Khomeini dan revolusi Iran. Wakil Khomeini di Bahrein, Hujjat - al-Islam Sayyed Hadi al-Modaressi, terpaksa harus meninggalkan negeri itu. Tapi usaha untuk mengaitkan Iran dengan kejadian di Mekah bukan saja dibantah oleh Radio Teheran, tapi juga oleh pemerintah Saudi sendiri. Mungkin sebab sejak di hari pertama kejadian, sebab-sebabnya sudah gamblang. Saksi utama dan sumber informasi penting ialah Imam Masjidil Haram sendiri, Syekh Mohammad Ibn Sabil. Ia, yang ditodong oleh para penyerbu bersenjata itu, mengenali pemimpin mereka. Namanya Jahiman, meskipun sebuah sumber lain menyebut nama Mohammad Abdullah Al Kharani, seorang bekas mahasiswa qiraat pada Universitas Islam di Mekah. Rupanya tampang dan sikap mereka sebelumnya sudah dikenal di Masjidil Haram itu, sebab kata Ibn Sabil: "Mereka itu kaum fanatik agama yang sudah diketahui para ulama dan para syekh di masjid ini." Syekh Mohammad Ibn Sabil tidak diapa-apakan. Setidaknya ia berhasil melepaskan tutup kepalanya dan menyamar sebagai jamaah haji biasa. Ia menelepon yang berwajib. Dan pasukan pun datang, meskipun baru hari Rabu -- mungkin setelah mendapatkan izin dari para ulama -- serangan balasan yang gencar dilakukan ke arah masjid. Dari dalam masjid, terutama dari tingkat atas dan ke tujuh menaranya, para pemuda fanatik itu menembaki pasukan yang mengepung. Mereka rupanya sudah siap bertahan lama sejumlah besar korma dan air sudah dipersiapkan untuk bertahan. Namun Minggu pagi dikabarkan pasukan Saudi berhasil merebut kembali Masjidil Haram seluruhnya. 50 orang dikabarkan tewas, termasuk pemimpin gerombolan. Apa sebenarnya yang mereka kehendaki, dengan membunuhi tentara Saudi serta menduduki Masjid Suci selama lima hari? Syekh Mohammad Ibn Sabil bercerita bagaimana gerombolan pemuda - yang umurnya rata-rata tak melebihi 30 tahun itu -- ingin memaklumkan bahwa pemimpin mereka adalah "Imam Mahdi", sang juru selamat. Sebuah sumber juga menyebutkan tuntutan mereka untuk dihapusnya TV, radio, sepakbola dan wanita dalam bisnis. Di negeri yang bertahun-tahun ketat tradisinya, tapi kini dengan cepat membangun diri lewat peralatan dan tingkah laku baru, bentrokan semacam itu rupanya tak terelakkan. Manusia, juga orang Islam di deka Ka'bah itu, berubah lingkungannya. Dan perubahan memang selalu mencemaskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus