MEMASUKI abad ke-XV tahun Hijrah, tak seorang pun menyangka
sesuatu yang sangat mengejutkan akan terjadi. Lebih dari 1000
tahun setelah serbuan Yazib bin Mu'awiyah ke Mekah (lihat
Mereka Pernah Menyerbu Bait Itu), kekerasan tiba-tiba meletup
di dekat tempat suci itu. Dan dunia gempar.
Subuh hari Selasa 20 November itu sisa-sisa jamaah haji, yang
baru selesai menyelesaikan ibadahnya, bersembahyang di Masjid
Suci. Bangunan itu mampu menampung 300.000 orang. Pagi itu tak
seluruhnya sesak hanya sekitar 100.000 yang hadir. Banyak jamaah
haji sudah pulang ke tanah air masing-masing. Dan begitu
sembahyang berakhir, tiba-tiba saja seorang anak muda berpakaian
gamis putih berdiri. Ia berada di baris (saf) depan, di dekat
Ka'bah. Ia memegang mike, dan berbicara dengan cepat dalam
bahasa Arab.
Beberapa menit kmudian mendadak listrik mati hingga suaranya
dari jauh tak terdengar . . .
Bersamaan munculnya orang di depan itu, dari sudut-sudut
sejumlah pemuda berpakaian gamis putih bersorban merah
kotak-kotak berlarian menyebar. Di kedua tangan mereka nampak
senjata api otomatis. Seorang jamaah Mesir yang pernah dilatih
dalam ketentaraan mengenali bahwa senjata para pemuda itu jenis
bikinan Rusia dengan hower bengkok. Para penyerbu juga
berselempang sabuk berpeluru.
Sementara itu, 64 buah pintu gerbang masjid yang besar-besar itu
telah ditutup -- dengan suara menggelegar bagaikan guruh, yang
menyebabkan beberapa jamaah haji dari Pakistan berseru "Allahu
Akbar!" karena menyangka hujan turun lagi seperti dua hari
sebelumnya. Ketika listrik mati, masjid jadi gelap. Jamaah mulai
gelisah. Terdengar tembakan berkali-kali. Dari dalam, belum
jelas ke arah mana peluru ditujukan. Tapi di sebuah pintu
seorang jamaah Indonesia melihat tubuh penjaga tergeletak,
berlumur darah.
Apakah yang sebenarnya terjadi?
Pertanyaan itu sampai awal pekan ini belum terjawab sepenuhnya.
Tapi Sementara seluruh dunia bertanya-tanya, beberapa jam saja
setelah peristiwa itu, Rabu siang nun jauh di Islamabad,
Pakistan, ribuan orang punya jawaban mereka sendiri.
MEREKA, entah dari desas-desus siapa, menuduh bahwa --
pemerintah Amerika Serikatlah yang di belakang penyerbuan di
Mekah itu. Gedung kedutaan besar AS dibakar, 100 orang Amerika
terkepung. Dan serbuan itu menyebabkan 6 orang tewas: dua
petugas militer Amerika, dua pegawai kedutataan orang Pakistan
dan dua mahasiswa yang menyerbu.
Orang-orang Pakistan, seraya berseru "Bunuh Anjing Amerika!",
juga membakar pusat kebudayaan Amerika di Rawalpindi dan Lahore.
Cabang Bank of America di Islamabad, kantor American Express di
Rawalpindi, juga perpustakaan British Council di kota ini,
dirusak. Demonstrasi anti-Amerika juga bergolak hampir bersamaan
di Karachi, Hyderabad dan kota-kota Pakistan lainnya.
Pasukan pemerintah Pakistan terlambat 5 jam sebelum bertindak
mencegah kerusuhan itu -- satu hal yang disesalkan orang
Amerika. Tapi Presiden Zia Ul Haq menelepon Presidn Carter
mengatakan maafnya. Ia kemudian berseru kepada bangsanya,
bahwa orang Muslim punya tugas suci menjaga kedutaan asing di
negerinya -- satu pernyataan yang berbeda dengan sikap Ayatullah
Khomeini yang mendukung penyanderaan diplomat Amerika di
Teheran.
Zia lalu bertindak lebih jauh. Penangkapan dilakukan. Kebanyakan
mahasiswa yang ditahan sebagai penggerak demonstrasi sebagian
besar adalah pengikut Partai Rakyat Pakistan, yang dulu dipimpin
almarhum Ali Bhutto -- tokoh yang sudah digantung Zia itu. Tak
jelas adakah dengan begitu Zia hanya hendak menghitamkan
musuh-musuhnya. Tapi banyak dugaan bahwa kejadian di Pakistan
itu juga merupakan percikan dari permusuhan politik di Pakistan
sendiri.
Tapi tak cuma di Pakistan. Dalam waktu yang berdekatan,
demonstrasi timbul di Izmir, kota pelabuhan Turki Barat. Mereka
juga menyerukan anti "imperialis Amerika". Di Dakka, Bangladesh,
500 pemuda Kamis siang mendatangi kedutaan besar AS dan malam
harinya 2000 berpawai di jalan raya Dakka dengan yel "hancurlah
imperialisme !"
Menakjubkan bagaimana dengan mudah gelombang massa digerakkan
--atas dasar suatu hal yang belum jelas. Presiden Zia sendiri,
seorang Islam yang mau menegakkan hukum Islam di negerinya,
menegaskan bahwa kejadian di Mekah itu "tak ada hubungannya
dengan negara-negara Barat." Pemerintah Arab Saudi juga
menandaskan, bahwa tidak benar Amerika Serikat terlibat dalam
kejadian di Masjidi Haram itu. Bahkan juga motif para penyerbu,
menurut jurubicara pemerintah di Ryadh, bukanlah politik.
Dari sini nampak pemerintah Saudi dengan tenang mengatasi
kejadian yang di negeri lain telah menimbulkan huruhara itu.
Berbeda dengan kebiasaan para pemimpin negara berkembang lain,
pemerintah Saudi tak cepat menuduh bahwa gerakan di Masjidil
Haram itu "ditunggangi". Informasi yang mereka peroleh dalam
keadaan penuh teka-teki dan berbahaya itu rupanya cermat, dan
mereka yakin akan bisa mengatasinya. Pangeran Fahd, putera
mahkota dan orang kuat di negeri itu, bahkan terus tinggal di
Tunis meneruskan konferensi Liga Arab -- sementara Raja Khaled
bermusyawarah dengan para ularna agar diizinkan menggunakan
kekerasan dalam usaha pemerintah membebaskan masjid.
Cara tenang itu banyak membantu. Meskipun demikian, karena
diputuskannya hubungan telekomunikasi dengan dunia luar, dugaan
macam-macam sempat terlontar. Demonstrasi di negara-negara Asia
Selatan adalah contohnya. Ayatullah Khomeini bahkan menggunakan
kejadian itu untuk meluaskan front permusuhannya terhadap AS. Ia
mengatakan bahwa "tak berlebihan untuk menduga bahwa tindakan
ini dilakukan oleh imperialisme Amerika . . . dan Zionisme
internasional."
Pemerintah AS dengan keras tentu saja membantah tuduhan itu, dan
begitu juga pemerintah Saudi. Tapi Iran sendiri tak lepas dari
tuduhan. Harian Kairo Al Akhbar sebelumnya melontarkan tuduhan
bahwa "gerombolan Khomeini" berada di belakang aksi di Ka'bah
itu.
Sebelumnya memang dikabarkan bahwa menjelang musim haji
orangorang Iran akan datang ke Mekah dengan pamflet-pamflet.
Bahkan September yang lalu pemerintah Bahrein sudah mencoba
menyingkirkan tanda-tanda pengaruh Khomeini dan revolusi Iran.
Wakil Khomeini di Bahrein, Hujjat - al-Islam Sayyed Hadi
al-Modaressi, terpaksa harus meninggalkan negeri itu.
Tapi usaha untuk mengaitkan Iran dengan kejadian di Mekah bukan
saja dibantah oleh Radio Teheran, tapi juga oleh pemerintah
Saudi sendiri. Mungkin sebab sejak di hari pertama kejadian,
sebab-sebabnya sudah gamblang.
Saksi utama dan sumber informasi penting ialah Imam Masjidil
Haram sendiri, Syekh Mohammad Ibn Sabil. Ia, yang ditodong oleh
para penyerbu bersenjata itu, mengenali pemimpin mereka. Namanya
Jahiman, meskipun sebuah sumber lain menyebut nama Mohammad
Abdullah Al Kharani, seorang bekas mahasiswa qiraat pada
Universitas Islam di Mekah. Rupanya tampang dan sikap mereka
sebelumnya sudah dikenal di Masjidil Haram itu, sebab kata Ibn
Sabil: "Mereka itu kaum fanatik agama yang sudah diketahui para
ulama dan para syekh di masjid ini."
Syekh Mohammad Ibn Sabil tidak diapa-apakan. Setidaknya ia
berhasil melepaskan tutup kepalanya dan menyamar sebagai jamaah
haji biasa. Ia menelepon yang berwajib. Dan pasukan pun datang,
meskipun baru hari Rabu -- mungkin setelah mendapatkan izin dari
para ulama -- serangan balasan yang gencar dilakukan ke arah
masjid.
Dari dalam masjid, terutama dari tingkat atas dan ke tujuh
menaranya, para pemuda fanatik itu menembaki pasukan yang
mengepung. Mereka rupanya sudah siap bertahan lama sejumlah
besar korma dan air sudah dipersiapkan untuk bertahan. Namun
Minggu pagi dikabarkan pasukan Saudi berhasil merebut kembali
Masjidil Haram seluruhnya. 50 orang dikabarkan tewas, termasuk
pemimpin gerombolan.
Apa sebenarnya yang mereka kehendaki, dengan membunuhi tentara
Saudi serta menduduki Masjid Suci selama lima hari? Syekh
Mohammad Ibn Sabil bercerita bagaimana gerombolan pemuda - yang
umurnya rata-rata tak melebihi 30 tahun itu -- ingin memaklumkan
bahwa pemimpin mereka adalah "Imam Mahdi", sang juru selamat.
Sebuah sumber juga menyebutkan tuntutan mereka untuk dihapusnya
TV, radio, sepakbola dan wanita dalam bisnis. Di negeri yang
bertahun-tahun ketat tradisinya, tapi kini dengan cepat
membangun diri lewat peralatan dan tingkah laku baru, bentrokan
semacam itu rupanya tak terelakkan. Manusia, juga orang Islam di
deka Ka'bah itu, berubah lingkungannya. Dan perubahan memang
selalu mencemaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini