Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kredibiltas Alexandr Kogan, profesor psikologi di University of Cambridge, Inggris, kini dipertaruhkan karena kasus "pencurian" data pribadi lebih dari 50 juta pengguna Facebook. Informasi yang dihimpun pria kelahiran Maladewa itu melalui aplikasi kepribadian bikinannya ternyata dipakai firma konsultan politik Cambridge Analytica untuk mempengaruhi calon pemilih pada pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 yang dimenangi Donald J. Trump.
Facebook menuduh Kogan melanggar syarat layanan platform karena memberikan data ke pihak ketiga. Sedangkan Cambridge Analityca menyatakan Koganlah yang mendekati mereka dengan membawa gagasannya yang manipulatif tersebut.
Irendra Radjawali, pengamat data digital dari lembaga swadaya masyarakat Kemitraan, menyebut Kogan, Cambridge Analytica, maupun Facebook sama-sama bersalah. "Facebook lalai karena memberikan data pengguna ke Kogan tanpa memeriksa lagi penggunaannya padahal Facebook seharusnya melindungi informasi penggunanya," kata pria 41 tahun yang disapa Radja itu.
Adapun Pratama D. Persadha, pemimpin Communication & Information System Security Research Center, menganggap Facebook melakukan kesalahan besar dengan memberi akses servernya kepada Kogan. "Bagaimana mungkin Facebook yang dipercaya orang menyimpan privasinya dengan mudah memberikan akses terhadap informasi itu kepada orang atau organisasi tertentu," ujarnya.
Facebook punya mesin yang belajar (learning machine) berupa aplikasi MyPersonality yang dikembangkan Michal Kosinski dari Stanford University dan David Stillwell dari Psychometrics Center University of Cambridge. Mesin itu dapat mengetahui profil orang berdasarkan algoritma OCEAN (openness, conscientiousness, extroversion, agreeableness, neuroticism). "Hanya dengan 70 like apa saja, mesin dapat mengetahui perilaku pengguna tersebut," tutur Radja. Dalam laporan Kosinski dan Stillwell di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, seperti dikutip The New York Times, diberikan contoh: pengguna yang suka Bjork cenderung lebih terbuka dengan hal baru ketimbang orang yang menyukai Cheryl Cole.
Sebenarnya, Cambridge Analytica ingin memakai mesin tersebut. Tapi Psychometrics Center menampiknya. Cambridge Analytica lalu beralih ke Kogan, yang mengembangkan aplikasi mirip bernama This is My Digital Life. Sebanyak 270 ribu pengguna Facebook mengunduh This is My Digital Life. Setiap peserta kuis di aplikasi itu dibayar sehingga ongkosnya mencapai US$ 800 ribu (sekitar Rp 10 miliar).
Aplikasi itu tidak hanya mengambil data pengguna, tapi juga teman mereka. Kalau setiap pengguna memiliki beberapa ratus teman, aplikasi itu dapat memanen hingga lebih dari 50 juta data pengguna. "Di sinilah big data bertemu dengan ilmu tentang perilaku dan microtargeting. Setelah mendapat skor masing-masing sifat ke-50 juta pengguna itu, disiapkanlah meme untuk tiap orang," ujar Radja. Meme yang menguatkan untuk orang yang pasti memilih Trump dan meme yang menggoyahkan bagi pemilih Clinton.
Penguasaan data oleh korporasi seperti Facebook harus dipecahkan bersama. Menurut dia, data itu juga harus dapat diakses oleh semua orang, bukan hanya oleh privat dan pemerintah. "Tidak hanya mengakses, masyarakat juga punya hak untuk membuat dan menghimpun datanya sendiri," ucapnya.
Pratama menekankan pentingnya aturan untuk melindungi data pribadi diperdagangkan sebagai komoditas. Pemerintah, kata Pratama, harus mulai menyatakan perlunya mengamankan informasi yang kita miliki. "Perintahkan setiap pusat data informasi di semua instansi mengamankan datanya. Lalu instruksikan Menteri Pendidikan membuat kurikulum sekolah yang mengatur bagaimana berperilaku di kehidupan dunia maya."
Dody Hidayat (the New York Times, The Independent)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo