Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kisruh politik berujung darurat militer yang terjadi di Korea Selatan (Korsel) turut menyeret Korea Utara (Korut). Presiden Korsel Yoon Suk Yeol saat membuat pengumuman pekan lalu mengisyaratkan bahwa Korut adalah alasan di balik tindakannya yang mengkhawatirkan itu. Kini Korut akhirnya buka suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari Reuters, media pemerintah Korea Utara, KCNA, pada Rabu, 11 Desember 2024, melaporkan untuk pertama kalinya ihwal kekacauan politik yang sedang berlangsung di Korsel sejak upaya darurat militer Presiden Yoon Suk Yeol. Setelah bungkam selama seminggu, KCNA menerbitkan artikel tentang “kerusuhan sosial” yang berkembang di Selatan karena krisis darurat militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KCNA menyindir darurat militer Korea Selatan sebagai tindakan gila yang mengingatkan pada kudeta selama berapa waktu sebelumnya. Media pemerintah Korea Utara ini menyebut krisis militer di negara tetangga itu telah menuai kecaman keras dari semua kalangan. Media ini juga menyinggung soal peluang pemakzulan Yoon.
“Tindakannya yang gila, yang mengingatkan kita pada kudeta selama kediktatoran militer beberapa dekade lalu, telah menuai kecaman keras dari semua lapisan masyarakat, termasuk partai oposisi, dan semakin mengeksplor semangat publik untuk pemakzulan,” tulis KCNA.
Sebelumnya, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol membuat langkah mengejutkan dengan mengumumkan darurat militer pada Selasa, 3 Desember 2024. Keputusan itu disampaikan melalui siaran langsung di televisi nasional pada tengah malam dan langsung memicu gelombang reaksi di seluruh negeri.
Presiden Yoon Suk Yeol mengklaim bahwa deklarasi darurat militer diperlukan untuk melindungi negara dari ancaman yang dia sebut berasal dari oposisi pro-Korea Utara. Dalam pidatonya, Yoon menuduh partai-partai oposisi menyandera proses legislatif dan mengancam stabilitas nasional.
“Saya menyatakan darurat militer untuk melindungi Republik Korea yang merdeka dari ancaman pasukan komunis Korea Utara, membasmi kekuatan anti-negara yang mencabut kebebasan rakyat, serta menjaga tatanan konstitusional kita,” ujar Yoon dalam pidato yang disiarkan stasiun televisi YTN.
Dikutip dari The Independent, ada kekhawatiran bahwa Pyongyang--pusat pemerintahan Korut--mungkin mencoba mengeksploitasi krisis politik dan memperburuk masalah bagi pemerintahan Yoon di tengah kekosongan kekuasaan di negara itu setelah menteri pertahanan ditangkap karena perannya dalam memberlakukan darurat militer.
Kilas Balik Perseteruan Korea Selatan dan Korea Utara
Konflik antara Korsel dan Korut telah berlangsung sejak lama. Seteru kedua negara di Semenanjung Korea ini bermula dari Perang Dunia II dan Perang Korea. Ketegangan kemudian berlanjut ke era pascaperang hingga masa sekarang.
1. Awal konflik (1945-1950)
Awal konflik antara Korsel dan Korut bermula setelah Jepang menyerah pada Perang Dunia II, di mana Korea lalu dibagi menjadi dua zona oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet, dengan garis paralel ke-38 sebagai batas.
Pada 1948, Korsel dan Korut lantas membentuk pemerintahan sendiri. Korsel yang menganut demokrasi dan kapitalisme dipimpin oleh Syngman Rhee. Sedangkan Korut yang berideologi komunisme dan totalitarianisme dipimpin oleh Kim Il-sung.
2. Perang Korea (1950-1953)
Ketegangan dua negara masih terasa kendati sudah berdiri sendiri sebagai negara. Buntutnya, Korut melancarkan serangan ke Korea Selatan pada 25 Juni 1950. Invasi ini disebut juga dengan Perang Korea.
Suasana kian runyam ketika Pasukan Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB yang dipimpin Amerika Serikat ikut membantu Korsel. Tiga tahun berselang, pada 1953, kedua belah pihak sepakat menandatangani gencatan senjata. Tapi tidak ada perjanjian perdamaian resmi.
3. Pasca-Perang (1953-1990)
Setelah perang, pembangunan ekonomi Korsel mengalami pertumbuhan ekonomi pesat, sedangkan Korut menutup diri dari dunia internasional. Di sisi lain, masih terjadi konflik berbatasan di mana terjadi insiden, termasuk pembunuhan diplomat Amerika Serikat di Korut pada 1976. Pada masa ini, sebenarnya telah dilakukan beberapa kali upaya perundingan antara Korsel dan Korut, tetapi tidak menghasilkan kesepakatan yang signifikan.
4. Era modern (1990-Sekarang)
Upaya memperbaiki hubungan Korsel dan Korut terus diupayakan. Salah satunya Kebijakan Matahari yang dipelopori Presiden Korsel Kim Dae-jung pada 1998. Selain itu, ada pula agenda pertemuan pemimpin Korsel dan Korut pada 2000 dan 2007.
Kendati upaya harmonisasi dilakukan, benih-benih ketegangan masih tumbuh subur, apalagi setelah Korut tak henti-hentinya menguji coba nuklir pada 2006, 2009, 2013, dan 2017. Tak hanya meningkatkan suhu hubungan dengan tetangga, internasional juga ikut berang.
Selain karena uji coba nuklir, ketegangan negara bersaudara ini juga sempat menguat setelah Korut menenggelamkan kapal perang Korsel “Cheonan” dan serangan negara itu terhadap pulau Yeonpyeong yang memicu krisis.
Pada 2018, sempat terjadi perundingan antara pemimpin Korsel Moon Jae-in dan pemimpin Korut Kim Jong-un. Keduanya melakukan pertemuan dan menandatangani perjanjian untuk mengurangi ketegangan. Namun, ketegangan masih berlanjut hingga kini, di antaranya dipicu isu program nuklir Korut, kekerasan perbatasan, pembebasan tahanan perang, hingga reunifikasi Korea
Michelle Gabriela, Ananda Ridho Sulistya, Rio Ari Seno, dan Dewi Rina Cahyani berkontribusi dalam penulisan artikel ini.