HELIKOPTER itu mendarat di propinsi Chanthaburi setelah
menghindarkan diri dari kejaran pesawat-pesawat Khmer Merah.
Dari perut heli Huey buatan Amerika dengan simbol merah Khmer
Merah di tubuhnya, muncul Letnan Bin Lee Lim Kuan. Ia tegap,
berambut pendek, 31 tahun. Pendaratan di dalam wilayah Muangthai
itu terjadi hari Jumat dua pekan silam, dan pihak tuan rumah
tentu saja segera disergap oleh kesibukan .
Dari hasil pemeriksaan pendahuluan diperoleh keterangan penting
ini: pilot Kamboja ini melarikan diri dari lapangan terbang
Pochentong, tempat ia bertugas sebagai pelatih. Ia bekerja di
lapangan terbang di pinggiran kota Phnompenh itu sejak rezim Lon
Nol jatuh. Bin Lee Lim Kuan sudah menggabung pada Khmer Merah
jauh sebelum jatuhnya Phnompenh, yakni pada saat ia baru saja
melakukan serangan pemboman pada istana Lon Nol (tapi tidak
berhasil menewaskan presiden tersebut). Kepada pihak tuan rumah,
Bin Lee mengakui ketidakbetahannya hidup di bawah rezim Khmer
Merah. Saya akan minta asilum dari pemerintah Perancis",
katanya.
Beberapa hari setelah dengan aman berada di Muangthai, pilot
pelarian Lee Lim Kuan menyediakan diri untuk sebuah wawancara
dengan watawan Bangkok Post, Veera Prateepchaikul. Kisahnya
memperkuat laporan para pelarian lain yang kini banyak disiarkan
pers Barat (TEMPO, 8 Mei). Berikut ini laporan wartawan
tersebut.
Komunis Muangthai Dan Teknisi Cina
Sebuah delegasi Partai Komunis Muangthai melakukan pembicaraan
dengan pemimpin Khmer Merah di Phnompenh beberapa saat sebelum
Wakil Perdana Menteri lang Sary melakukan kunjungan ke Bangkok
bulan Oktober tahun silam. Lee Lim menggambarkan pimpinan Partai
Komunis Muangthai itu sebagai seorang dengan umur 50 tahun.
rambut beruban, kecil dan kurus serta berbahasa Thai dengan
aksen yang amat sempurna. Tapi ia tak tahu siapa. Partai Komunis
itu bergerak di bawah tanah di Muangthai.
Lee Lim mendapat tugas dari pemerintahan Khmer Merah untuk
mengantar delegasi Komunis Muang Thai itu ke lapangan
terbang-Pochentong melihat pesawat-pesawat buatan Amerika sitaan
dari rezim lama. Dari lapangan terbang itu pula, 19 Nopember
1973, Lee Lim -- sbagai penerbang rezim Lon Nol-menerbangkan
pesawat T-28 untuk menjatuhkan 4 bom di istana presiden sebelum
melarikan diri ke Kratie, markas Khmer Merah. Tiga orang mati,
sembilan luka-luka pada pemboman itu, tapi Lon Nol sendiri
selamat.
Pilot pelarian ini juga bercerita mengenai adanya seribu orang
teknisi Cina di Phnompenh, Battambang, Kompong Som dan di
berbagai tempat lainnya. Mereka itu membantu Khmer Merah di
pabrik-pabrik, instalasi radar (li lapangan terbang, melatih
pilot serta memperbaiki jaringan-jaringan kereta api.
Orang-orang Cina itu sering memasukkan amunisi dan beras ke
Kamboja lewat pelabuhan Kompong Som.
Mengenai hubungan lamboja dengan Vietnam Utara, dikisahkan oleh
Lee sebagai buruk, meskipun di ibu kota Kamboja ada perwakilan
Vietnam Utara maupun Selatan. Sering terjadi bentrokan
perbatasan dengan pihak Vietnam Utara. "Tidak ada seorang Rusia
pun di Kamboja, sebab pemerintah sekarang menganggap Uni Soviet
sebagai musuh rakyat lantaran sikap mereka yang dulu memihak Lon
Nol", kata Lee.
Pelarian Khmer Merah ini mengaku melihat mayat-mayat
bergelimpangan di jalan-jalan. Tapi dia sendiri tidak pernah
menyaksikan pembunuhan. Teman-temannya orang Khmer
Merah--mengisahkan padanya mengenai pembunuhan massal terhadap
perwira-perwira bekas rezim Lon Nol, serdadu-serdadu mereka
serta seluruh keluarga. Pembunuhan massal dilakukan dengan
menggunakan dinamit dalam sebuah pertemuan yang diatur oleh
Khmer Merah. Kadang-kadang juga pembunuhan dilakukan dengan
senapan mesin, atau bahkan dengan siksaan yang berlangsung lebih
lama. Rezim baru ini tidak punya niat untuk memberi kesempatan
hidup kepada bekas-bekas pengikut Lon Nol dan keluarga mereka.
"Banyak di antara mereka yang bersembunyi atau sekedar mengganti
identitas mereka", kata Lim.
Dikisahkan pula mengenai matinya sejumlah penduduk lantaran
kekurangan makan dan penyakit menular beberapa saat setelah
perang perebutan berakhir. "Penduduk harus makan pisang dan
kentang" katanya. Tapi diakuinya bahwa keadaan sekarang sudah
lebih baik. "Penduduk sekarang mendapat catu beras yang
jumlahnya sesuai dengan hasil panen. Di daerah-daerah tertentu,
tukang masak menyediakan makanan untuk orang banyak, sehingga
catu beras ditiadakan", tambah pelarian itu pula.
Akan halnya mereka yang berada di pedalaman yang jauh dari
perbatasan kesibukan kerja keras mereka menghilangkan kesempatan
untuk melarikan diri, meskipun tidak ada penjagaan ketat dari
serdadu Khmer Merah. Di perbatasan dengan Muangthai, tentara
membantu pertanian, namun sekaligus juga bertugas sebagai
penjaga untuk mencegah pelarian.
Nama Baru
Lee menggambarkan Phnompenh sebagai kota yang amat sepi yang
hanya dihuni oleh sejumlah serdadu Khmer Merah dan
pekerja-pekerja pada beberapa pabrik. "Perintah-perintah dari
atas diberikan secara lisan, tidak pernah jelas, dan diteruskan
ke bawah lewat cara lisan pula. Dan setiap orang harus
menggunakan nama baru - supaya tidak saling mengenal - agar
tidak mudah melakukan hubungan satu dengan lainnya. Laki dan
perempuan dipisahkan, dan hanya punya kesempatan kumpul yang
amat terbatas, itu pun setelah mendapat izin dari penguasa",
begitu cerita Lee.
Mengenai struktur politik dari pemerinthan baru. beginilah
gambaran pelarian ini: "Pemerintahan baru itu hanya nama saja,
dan Kamboja diperintah oleh 5 orang di bawah pimpinan sekjen
Partai Komunis, Saloth Sar. Khieu Samphan, Ketua Presidium
Negara orang yang dianggap paling berkuasa di Kamboja, serta
Perdana Menteri Pol Pat, sama sekali. tidak tergolong pimpinan
yang menentukan".
Atas pertanyaan, pelarian itu menjelaskan lima orang yang
dianggapnya menguasai Kamboja sekarang. Selain Saloth Sar.
disebut pula nama Nhunlang Sary, Son Sen, serta seorang yang
hanya dikenal sebagai Yan. "Nhun dan Yan telah ganti nama. Sejak
perang berakhir banyak orang Khmer Merah berganti nama. Ada yang
kembali menggunakan nama asli - yang dulu mereka hindari agar
tidak mudah ditangkap atau sama sekali memakai nama baru" kata
Lee. Lima orang itulah yang menguasai organisasi--disebut Angka
oleh penduduk Kamboja - yang misterius itu.
Bekas kepala negara, Pangeran Sihanouk yang "mengundurkan diri"
tanggal 4 April yang lalu, masih tetap beda di bekas istana
kerajaan. "Khmer Merah tidak akan pernah mengizinkannya
meninggalkan Kamboja. Ia dianggap musuh nomor satu", kata Lee
Membicarakan pemilihan umum yang berlangsung tanggal 20 Maret
yang lalu Lee menjelaskan: "Tidak ada pemilihan yang sebenarnya.
Tidak ada kampanye. dan cuma pengikut Khmer Merah yang boleh
memilih".
Mengenai laporan yang tersiar di pers Barat yang menyebut
sekitar setengah juta penduduk Kamboja disembelih olel Khmer
Merah, Lee hanya berkomentar "barangkali". Ceritanya
selanjutnya: "Ketika saya memasuki Phnompenh tanggal 30 April
1975, di jalan-jalan berserakan mayat". Penduduk Phnompenh
merosot menjadi hanya 20 ribu akibat tindakan Khmer Merah yang
memaksa penduduk meninggalkan kota "Tidak ada toko atau pun
restoran yang buka di Phnompenh. Semua sekolah masih tertutup
dan hanya sebuah rumah sakit yang bekerja. Tidak bakal ada
restoran atau toko yang buka, sebab uang memang tidak ada. Semua
pekerja dibayar dengan beras".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini