RRT yang masyhur dengan disiplin yang ketat ternyata juga tidak
bebas dari demonstrasi dan pengrusakan. 5 April, terjadi
huru-hara di Tien An Min dengan korban sejumlah kendaraan
terbakar dan bangunan dirusak oleh demonstran yang masih
bersimpati kepada Chou En-lai. Akibat kejadian ini Teng Hsio
Ping --yang memang sejak lama jadi sasaran kampanye - langsung
saja dipecat untuk digantikan oleh Hua Kuo-feng. 24 hari
kemudian, 29 April kedutaan Uni Soviet di Peking rusak akibat
serangan bom. Tiga penjaga tewas, sejumlah luka-luka, dan gardu
jaga hancur, meskipun personil Rusia tidak ada yang cedera.
Kejadian terakhir ini masih dalam penyelidikan, dan tentu saja
berbagai dugaan dan spekulasi memenuhi permukaan politik Cina
yang memang selalu dipenuhi misteri itu.
Apa pun spekulasi itu, siapa pun yang dicurigai, yang jelas bom
yang merusak kantor perwakilan Uni Soviet itu telah menempatkan
Hua Kuo-feng dalam posisi yang sulit. Bom itu bisa saja datang
dari pengikut dan simpatisan Teng Hsio-ping, yang kabarnya masih
banyak terdapat dalam tubuh Tentara Pembebasan Cina. Tapi -
mengingat kedudukan Hua Kuo-feng yang konon tidak akrab dengan
grup radikal Shanghai - bisa juga bom itu merupakan "kiriman
dari Shanghai" untuk mempersulit kedudukan sang perdana menteri.
Dari suatu sumber pengamat di Hongkong pekan silam, muncul pula
analisa yang mencurigai pelempar bom itu sebagai "penduduk biasa
yang sudah bosan dengan permainan politik yang tidak malah makin
memperbaiki kwalitas hidup". Kalau dugaan yang terakhir ini
benar adanya, tidak sulit mendapatkan bahan peledak, sebab di
berbagai proyek pembangunan RRT selalu tersedia dinamit. Bukan
tidak mungkin bom yang meledak di perwakilan Soviet itu adalah
bom buatan sendiri, dengan dinamit sebagai bahan peledaknya.
Sementara berita teror itu masih merupakan bahan spekulasi yang
penuh misteri, muncul pula dua berita penting dari Peking.
Pertama mengenai diri Mao Tse-tung. Pembatasan waktu yang makin
singkat yang disediakan oleh Mao terhadap tamu-tamu asingnya,
menimbulkan kecurigaan terhadap kesehatan pemimpin Cina yang
memang sudah amat tua itu. Spekulasi mengenai memburuknya
kesehatan Mao itu kemudian lebih mendapatkan kepastian oleh
pernyataan Robert Muldoon, Perdana Menteri Selandia Baru, yang
bertemu dengan pemimpin tua itu tanggal 30 April yang lalu. Dari
pertemuannya selama lebih kurang 10 menit itulah Muldoon
berkesimpulan bahwa kesehatan Mao sekarang ini memburuk.
Sehari setelah pertemuan Muldoon --Mao itu, tersiar pula berita
penting lain dari Peking. Berita penting kedua ini tidak mudah
dipisahkan dengan kesehatan Mao. Dari Peking, kantor berita
Inggeris, Reuter, menyiarkan berita peringatan 1 Mei di RRT
sebagai berikut: "Isteri Mao Tse-tung, Chiang Ching, hari ini
memegang peranan penting pada peringatan 1 Mei di Cina. Kejadian
ini memperkuat spekulasi bahwa Chiang memperoleh tambahan
kekuasaan dalam kepemimpinan Cina". Menurut catatan Reuter,
tahun silam Chiang Ching tidak berada di panggung kehormatan
pada peringatan yang sama. Munculnya Chiang di panggung
kehormatan awal bulan ini telah merupakan berita besar yang
menarik perhatian para pengamat di berbagai penjuru dunia. Dari
Paris, kolumnis terkemuka harian Amerika, The New York Time, CL.
Sulzberger, memperkuat dugaan bahwa Chiang memang makin mendekat
pada pusat kekuasaan Cina. CL. Sulzberger antara lain menulis:
Menarik bahwa Cina baru saja menyiarkan susunan dari para
pewaris kekuasaan Mao sejak pemecatan Teng Hsio Nng. Dari
susunan ini nampak bahwa golongan radikal telah berhasil
menempel pada kekuasaan. Selain sebagai pengganti Teng, Perdana
Menteri Hua Kuo-feng masih secara luas dianggap sebagai pilihan
kompromi yang tidak dekat pada golongan radikal mau pun moderat.
Dan di antara mereka yang dianggap berjasa memanfaatkan
kekacauan di Peking dua hari sebelum pemecatan Teng, termasuklah
Wang Huwen, tokoh radikal Shanghai yang masih muda, dan kini
orang kedua setelah Hua- Chan Chun-chiao orang yang sekarang
dikenal sebagai "anti kanan": Chiang Ching, isteri Mao dan Yao
Wenyuan, salah seorang pendukung Chiang Ching. Dari 4 tokoh ini,
yang paling dekat dan barangkali juga paling berpengaruh
terhadap Mao adalah isterinya itulah.
Malrux
5 Desember 1966, Andre Malraux dikenal di RRT sebagai utusan De
Gaulle pada tahun 1965--menekankan pada saya betapa pentingnya
penunjukan Chiang Ching sebagai konsultan kebudayaan pada
departemen politik Angkatan Darat. Ketua Mao dulu punya tiga
isteri. yang pertama ia ceraikan, yang kedua dihukum mati oleh
Chiang Kai Sek. Chiang Ching adalah isteri ketiga, bintang film
terkemuka ketika bergabung dengan Mao di Timur Laut Cina. Dan
pengangkatan Chiang Ching itu dianggap penting oleh Malraux oleh
karena ia yakih bahwa Mao ingin tetap mengontrol Angkatan Darat
secara langsung. Sebulan setelah penjelasan Malraux pada saya
itu, pers pun mulai memperhatikan Chiang, perempuan yang
sebelumnya menghindar diri dari perhatian orang banyak sejak
kawin dengan Mao. Chiang Ching memang konon pertama kali muncul
di muka umum waktu menyarnbut Presiden Soekarno - yang datang ke
Peking dengan ny. Hartini.
Surat kabar-London, Sunday Telegraph pernah menulis:
"Kedudukannya sebagai wakil pimpinan Revolusi Kebudayaan telah
mengakibatkan bertumpuknya kekuasaan pada tangannya". Dan Chiimg
pasti terus menjadi kepercayaan suaminya. Wartawan Inggeris,
David Bonavia, dalam laporannya dari Peking untuk koran The
Times, beberapa hari yang lalu menulis:"jelas sekali bahwa Mao
yang sakitan itu secara tidak malu-malu memanipulir kekuasaan
untuk kepentingan isterinya". Cerita paling seru datang dari
pusat-pusat pembedtaan Uni Soviet. Di antaranya ny. Mao, yang
dikecam hebat oleh Kremlin, dikisahkan sebagai bekas pemain film
untuk para kapitalis di Shanghai sebelum revolusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini