Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buud ogah-ogahan ?

Mensekneg, sudharmono memberi teguran kepada buud setelah menerima laporan jatuhnya harga beras. menurut manajer puskud jawa barat, kud terpaksa membeli gabah dengan murah karena membayar hutang. (nas)

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"BUUD tak boleh ogah-ogahan. Begitu melihat harga beras atau padi petani turun, harus segera beli,dengan harga lantai. Toh BUUD. diberi kredit untuk itu". Menteri Sudharmono melontarkan teguran itu awal minggu lalu. Soalnya, Presiden mendapat laporan hasil rapat pengadaan pangan di Yogya tanggal 3 Mei bahwa harga padi sudah anjlok di bawah harga lantai (floor price). "Tapi jatuhnya harga padi itu hanya di beberapa daerah kantong saja", Sudharmono menambahkan. Yakni di 4 kabupaten di Jawa Barat: Karawang, Indramayu, Subang dan Sumedang - di mana harga gabah jatuh sampai Rp 62/kg. Buat penduduk kota, khususnya bagi penghuni Ibukota, yang doyan nasi sih senang-senang saja. Sebab dengan jatuhnya harga padi di kantong-kantong produksi di Jawa Barat otomatis harga beras jadi lebih murah. Tapi buat petani, yah berabe. Itu sebabnya Bulog dan BRI telah buru-buru turun tangan, agar harga untuk petani naik lagi. BRI menyalurkan kreditnya pada pabrik beras dan huller-huller non-BUUD supaya segera membeli dari petani. Pengusaha-pengusaha swasta ini diikat dengan kontrak dengan Dolog, dan hanya yang betul-betul bonafid saja dapat kredit. Begitu diterangkan oleh Kepala Bulog Bustanil Arifin yang juga mengikuti rapat kordinasi pengadaan pangan di Yogya, bersama Menteri Pertanian, Bappenas & staf Menteri Keuangan. Kosong Melompong Tapi sebenarnya, apa sebab harga gabah di desa sampai jatuh di bawah harga lantai Rp 68,50 yang ditentukan pemerintah? Menurut Bustanil Arifin. sebabnya karena musim panen raya sedang mencapai puncaknya. Sehingga BUUD dan KUD ( Koperasi Unit Desa) yang jumlahnya 833 buah di Jawa Barat tak mampu mengabsorbirnya. Keterangan itu sungguh berbeda dengan apa yang diberitakan oleh koran Bandung Pikiran Rakyat 5 Mei yang lalu. "Banyak BUUD dan KUD di Jawa Barat tidak turun tangan sama sekali dalam mengatasi persoalan ini, sebab mereka masih terlibat dalam hutang kredit pengadaan pangan kepada BRI", kata seorang anggota Badan Pembina Bimas Jawa Barat kepada PR . Keterangan itu diperkuat oleh laporan pandangan mata wartawan koran itu, yang menyaksikan banyak gudang BUUD/KUD masih kosong melompong, karena banyak manajer BUUD/KUD yang sama sekali belum membeli gabah dari petani. Masih menunggak hutang pada Bank. 99% Menunggak! Masalah tunggakan BUUD/KUD di Jawa Barat tampaknya sudah umum. Akibatnya, kalau mereka toh masih mendapat kredit dari BRI, uang itu dipakai untuk menutup hutang tahun-tahun yang silam. Berapa banyak BUUD/KUD yang masih punya tunggakan hutang pada BRI? "Praktis 99% masih menunggak", sahut manajer Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Barat, Elyas pada TEMPO. "Dan itu sejak tahun 1973, ketika BUUD secara mendadak mulai dilibatkan dalam operasi pengadaan pangan untuk stok nasional". Menurut sumber BRI Jawa Barat, jumlah tunggakan yang terus menumpuk sejak 1973 itu s/d Mei 1975 sudah berjumlah Rp 1,39 milyar. Berarti rata-rata satu BUUI)/KUD masih berhutang Rp 3 juta pada BRI. Setelah operasi pengisian stok nasional dan pembelian umum tahun lalu, sekarang tuntutan itu sudah naik jadi Rp 1,8 Milyar. Begitu keterangan staf ahli Puskud Jawa Barat, ir Hanan Hardjasasmita. Tunggakan itu terjadi, karena setiap tahun BUUD/KUD tekor dalam operasi pengadaan pangannya. Ketekoran yang terus-menerus ditutup dengan pinjaman BRI. Tapi mengapa selalu mesti tekor! "Dengan sistim sekarang,hanya malaikat yang bisa untung", kata Elyas. KUD hanya dapat komisi sebanyak Rp 1 per kilo gabah yang disetor ke Sub-Dolog. Ini dinilai terlalu sedikit. Sebab risiko gabah yang susut sebelum sampai ke gudang Dolog saja sudah 2%, atau Rp 1,36 per kilo. Sementara itu uang harus disisihkan untuk membayar bunga, cicilan kredit gudang, dan lain-lain. "Jadi kalau membeli berdasarkan harga lantai, sudah pasti rugi. Kalau bisa membeli di bawah harga lantai, baru bisa sedikit-demi-sedikit mencicil hutang yang sudah bertumpuk sejak tahun 1973 itu. Tapi dilemanya, kalau membeli gabah dari petani berdasarkan harga umum yang di bawah harga lantai itu BUUD tidak lagi menjadi pelindung petani", tutur Elyas. Tapi itu adalah persoalan lama, sejak 1973.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus