Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Beda Nasib di Berkas Sama

Lewat putusan peninjauan kembali, Mahkamah Agung membebaskan Misbakhun dalam perkara letter of credit Bank Century. Ketua majelis hakim, Artidjo Alkostar, melakukan dissenting opinion.

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUKHAMAD Misbakhun seperti mendapat panggung. Sudah sepekan ini tak henti-hentinya ia menyuarakan diri sebagai korban kriminalisasi pemerintah di berbagai forum diskusi. Rabu pekan lalu, misalnya, bersama Petisi 28, ia menggagas perlawanan terhadap yang disebutnya kriminalisasi pemerintah itu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. "Saya akan mengadu ke lembaga hak asasi manusia internasional," kata bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera ini.

Perlawanan Misbakhun itu memang ber­kaitan dengan putusan peninjau­an kembali (PK) Mahkamah Agung atas kasus yang membelitnya.­ Pada 5 Juli lalu, majelis­ ha­kim yang diketuai Artidjo Alkostar,­ dengan anggota Mansur Kertayasa dan Zaharuddin Utama, mengabulkan permohonan peninjauan kembali Misbakhun. Putusan ini menganulir putusan kasasi yang menghukum Misbakhun dua tahun penjara.

Dalam putusan peninjauan kembali, hakim menilai Misbakhun tak terbukti bersalah membuat pencatatan palsu usance letter of credit atau fasilitas pembiayaan ekspor-impor dari Bank Century—kini Bank Mutiara—untuk PT Selalang Prima Internasional senilai US$ 22,5 juta. Sebagai komisaris perusahaan, menurut hakim, Misbakhun tak bertanggung jawab atas upaya pemalsuan itu.

Tak seperti bosnya, permohonan peninjauan kembali Franky Ongkowardojo, Direktur Selalang, justru ditolak Mahkamah Agung. Padahal permohonan peninjauan kembali keduanya dibuat dalam satu berkas dan dengan hakim yang sama pula. Putusan itu menguatkan putusan kasasi yang menghukum Franky satu tahun penjara.

Perkara ini berawal dari temuan tim pemeriksa Bank Century dari Bank Indonesia. Pada Maret 2009, tim itu melaporkan adanya L/C bermasalah di Bank Century ke Markas Besar Kepolisian. Dari penelusuran polisi, perusahaan Misbakhun, Selalang, masuk daftar penerima L/C bermasalah itu. Nama Misbakhun terseret setelah anggota staf khusus presiden, Andi Arief, membeberkan perannya dalam pencairan L/C itu. Pada awal Maret 2010, Andi melaporkan Misbakhun ke polisi.

Sebulan kemudian Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menetapkan Misbakhun sebagai tersangka. Dia menyebut penetapannya ini sarat kepentingan politik. Melalui Andi Arief, ujar Misbakhun, Presiden tengah mengkriminalkan dirinya lantaran dia getol mengusung angket Century di DPR.

Syahdan, pada akhir Oktober 2009, Selalang mengajukan kredit US$ 22,5 juta ke Bank Century untuk impor kondensat Bintulu—produk turunan minyak bumi. Permohonan itu dianggap bermasalah. Menurut catatan polisi, kesalahan itu, misalnya, tidak adanya data calon importir dan jaminan depositonya hanya 20 persen atau senilai US$ 4,5 juta dari nilai kredit. Padahal, menurut ketentuan, jaminan itu harus 100 persen.

Belakangan, dalam kesaksiannya di pengadilan, Linda Wangsa, pemimpin kantor pusat Century, menyatakan diminta Robert Tantular, pemegang saham Century, mengabulkan L/C Selalang kendati syaratnya tak terpenuhi. Audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2010 juga menyebut kan Selalang mendapat perlakuan istimewa dalam pemberian L/C itu.

Pada hari yang sama dengan pengajuan kredit, Bank Century membuat persetujuan tanpa dilengkapi dokumen administrasi. Akta perjanjian L/C diteken pada 22 November 2009. Hari itu Selalang menyerahkan surat gadai deposito US$ 4,5 juta sebagai jaminan. Belakangan, melalui dokumen pembukaan deposito pada 22 November, hanya ada dana US$ 1,8 juta. Jaminan baru terkumpul lima hari kemudian. Kendati jaminan belum penuh, pada 22 November itu sudah diterbitkan surat gadai yang diteken Misbakhun, Franky, dan pejabat Bank Century.

Nah, soal pembuatan surat gadai itulah yang dijeratkan sebagai delik pidana untuk Misbakhun. Sebab, dengan surat itu, seakan-akan pada 22 November jaminan US$ 4,5 juta sudah ada, sehingga kredit cair lima hari kemudian. Setelah diinvestasikan ke Kellet Investment—perusahaan investasi Hong Kong—kredit itu macet karena Kellet terimbas krisis.

Polisi menjerat Misbakhun dengan pasal 49 Undang-Undang Perbankan, pasal pemalsuan surat otentik, atau pasal pemalsuan dokumen KUHP. Di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hanya pasal pemalsuan dokumen yang terbukti. Dari tuntutan jaksa delapan tahun penjara, hakim hanya menghukum Misbakhun satu tahun penjara. Di tingkat banding—dan kemudian kasasi—hukumannya bertambah menjadi dua tahun.

Pada pertengahan September 2011, Misbakhun mengajukan permohonan peninjauan kembali. Menurut pengacara Misbakhun, Batara Simbolon, selain novum (bukti baru), adanya kekeliruan hakim dalam putusan sebelumnya merupakan alasan pengajuan permohonan peninjauan kembali tersebut. Alasan serupa dipakai Batara saat mengajukan upaya serupa untuk Franky.

Novum itu adalah bukti pencairan gadai nomor VB.0222598 atas nama Selalang sebesar US$ 4,5 juta tertanggal 19 November 2008 yang dikeluarkan Bank Century. Dengan bukti ini, menurut Batara, surat gadai deposito dan surat kuasa pencairan deposito yang ditandatangani Misbakhun dan Franky tidak palsu. "Jika palsu, tak mungkin bisa dipakai untuk mencairkan deposito," kata Batara.

Adapun kekeliruan hakim dalam putus­an sebelumnya, menurut Batara, adalah pandangan hakim yang menyatakan perjanjian kredit Selalang masuk wilayah hukum perdata. Sedangkan, ujar dia, di sisi lain hakim juga berpendapat bahwa permasalahan perkara ini bukan perjanjian kreditnya, melainkan pemberian keterangan yang diduga tak benar atau palsu dalam surat gadai deposito dan surat kuasa pencairan deposito. "Padahal ini satu kesatuan," kata Batara.

Menurut sumber Tempo, dalam pertimbangannya, hakim menyebutkan ada bukti pencatatan palsu penerbitan surat gadai itu. Menurut hakim, seharusnya, ketika surat gadai diteken, jaminan deposito yang diminta harus sudah ada, bukan terkumpul lima hari kemudian. Namun tuduhan pencatatan palsu ini dianggap hakim bukan tanggung jawab komisaris, melainkan melekat pada direksi.

Karena itulah, kendati dalam satu berkas perkara, dua terdakwa tersebut diputus berbeda. Misbakhun dinilai hakim tak terbukti bersalah, sedangkan Franky dianggap terbukti membuat pencatatan palsu dan dihukum satu tahun penjara. Tapi putusan ini tak bulat. Ketua majelis Arti­djo Alkostar tetap menyatakan Misbakhun bertanggung jawab dalam pencatatan palsu pencairan L/C kredit itu. "Tak ada alasan hukum untuk mengabulkan peninjauan kembali Misbakhun," kata Artidjo.

Adanya dissenting opinion oleh Artidjo dan ditolaknya peninjauan kembali Franky inilah yang dinilai Indonesia Corruption Watch sebagai kejanggalan. Menurut anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, jika tudingannya sama, semestinya putusan keduanya juga sama. "Ini jelas tidak wajar," katanya.

Dalam catatan Tempo, dua hakim pembebas Misbakhun juga bagian dari majelis yang membebaskan tiga terdakwa Sistem Administrasi Badan Hukum. Mansur adalah bekas Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, dan sejak 12 Juli lalu pensiun. Adapun Zaharuddin Utama pernah menjadi bagian dari majelis yang mendiskon hukuman Artalyta Suryani dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan.

Komisi Yudisial mengaku telah menerima laporan pengaduan tentang para hakim yang membebaskan Misbakhun itu. "Akan kami telaah dulu," kata Ketua Komisi Yudisial Erman Suparman. Andi Arief, pelapor kasus ini, tetap yakin Misbakhun bersalah. Menurut dia, Misbakhun adalah "boneka" Selalang yang dimanfaatkan Robert untuk membobol Century. "Misbakhun harus berkata jujur soal perannya itu," kata Andi.

Misbakhun tak begitu ambil pusing terhadap tudingan putusan peninjauan kembalinya yang disebut janggal itu. Selain tengah berkonsentrasi menyiapkan gugatan balik ke pemerintah, kini ia berancang-ancang kembali ke panggung politik, dunia yang sudah dua tahun dia tinggalkan.

Anton Aprianto, Febriana Firdaus, Ira Guslina Sufa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus