Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan anggota parlemen Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) bersorak ketika Perdana Menteri Recep Tayyip Erdoan menyebut nama Abdullah Gül sebagai kandidat presiden, Rabu pekan lalu. ”Setelah semua kami teliti dan diskusikan untuk presiden ke-11, Menteri Luar Negeri Abdullah Gül diajukan untuk jabatan presiden,” ujar Erdoan. Hari itu terjawablah semua tanda tanya soal dugaan pencalonan Erdoan sebagai presiden yang ditolak mentah-mentah oleh kalangan sekuler, termasuk militer dan Presiden Turki yang sekarang.
Sebagai ketua partai, Erdoan sebenarnya orang nomor satu yang berhak maju sebagai calon presiden dari partainya yang merupakan mayoritas di parlemen. Namun, di mata kaum sekuler ia dicurigai menyembunyikan aspirasi Islam. Ketika Erdoan terpilih sebagai perdana menteri pada 2002, ia berjanji akan mencabut larangan berjilbab. Kini, jika Erdoan terpilih sebagai presiden, istrinya adalah ibu negara pertama yang mengenakan kerudung di istana. Ini mimpi buruk bagi kaum sekuler.
Penguasa sekuler Turki, militer, presiden, dan lembaga kehakiman buru-buru memperingatkan dugaan gelombang fundamentalisme. Menurut Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Yasar Buyukanit, setiap lapis tertinggi pemerintahan sedang meredefinisi sekularisme pada setiap kesempatan. ”Ada ancaman dari kekuatan reaksioner di sini dan setiap tindakan harus diambil untuk melawannya,” katanya.
Retorika semacam itu semakin kencang saat pemilihan presiden semakin dekat. Maka, keputusan Erdoan untuk tidak mencalonkan diri sebagai presiden diduga pengamat sebagai hasil kompromi dengan elite politik sekuler, termasuk presiden dan para jenderal yang berperan sebagai penjaga pilar sekularisme Turki yang dikukuhkan pendiri Republik Turki, Mustafa Kemal Atatürk, pada 1923.
Menurut analis politik, kubu militer jelas memilih Gül tinimbang Erdogan. ”Erdogan telah memutuskan tak akan memicu ketegangan lagi. Apalagi Gül memahami masalah dunia lebih baik dan dapat bekerja dengan elite sekuler. Ia mendengarkan nasihat birokrat,” ujar Suat Kiniklioglu, direktur lembaga pemikir di Ankara.
Penunjukan Abdullah Gül diharapkan mengendurkan tekanan kelompok sekuler. Sebagai Menteri Luar Negeri, Gül mewakili wajah Turki yang kini sedang berusaha keras menjadi anggota Uni Eropa. ”Partai ini (AKP) telah memodernisasi Turki lebih dari yang bisa dilakukan partai sekuler dalam beberapa tahun,” ujar Joos Lagendijk, anggota parlemen Eropa. Selain itu, Gül menjauh dari konfrontasi terbuka dengan penguasa sekuler tentang isu yang gampang meledak seperti larangan berkerudung.
Busana muslim mulai dihambat pemakaiannya sejak era presiden pertama Mustafa Kemal Atatürk yang mengadopsi modernisasi Barat pada 1930-an. Larangan mengenakan kerudung di kantor pemerintah dan kampus digalakkan sejak 1980-an di bawah komando militer Turki. Perempuan yang mengenakan kerudung tidak masuk daftar tamu resepsi Hari Ulang Tahun Republik di istana kepresidenan di Ankara. Aturan ini juga berlaku untuk istri Perdana Menteri Erdoan dan istri Menteri Luar Negeri Gül yang berkerudung. Hebatnya, para jenderal pernah mengancam tak akan menginjakkan kaki mereka jika ada perempuan berkerudung tinggal di istana.
Korban berjatuhan. Perempuan berkerudung merasa diperlakukan secara tidak adil dan diskriminatif di dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perempuan berkerudung pun mulai berani memprotes seperti demonstrasi yang digelar Senin pekan lalu. ”Saya mengenakan kerudung sejak saya berusia 14 tahun. Ini cara saya mengekspresikan diri,” ujar Leyla Shahin, yang dikeluarkan dari sekolah kedokteran karena menolak melepas kerudungnya.
Pernah ada yang mencoba melawan, seperti Hayrünisa, istri calon presiden Abdullah Gül. Ia bersama puluhan perempuan berkerudung lainnya yang ditolak mendaftarkan diri ke universitas mengadukan tindakan diskriminatif itu ke Pengadilan Hak Asasi Eropa. Hayrünisa mencabut gugatan itu ketika suaminya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam kabinet Erdoan pada 2002.
Masalahnya tak selesai di situ karena larangan mengenakan kerudung tak jua dicabut meski pemerintah dan parlemen dikuasai partai yang punya akar Islam. Bahkan, ironisnya, Perdana Menteri Erdoan terpaksa menyekolahkan anak perempuannya ke Amerika agar tetap bisa mengenakan kerudung. Sedangkan anak perempuan Abdullah Gül, Kübra, agar tidak didepak dari Universitas Bilkent, Ankara, harus bertahan dengan cara paling konyol: mengenakan kerudung di luar kampus, tapi ketika masuk kampus ia menutup kepalanya dengan rambut palsu.
Rintangan tak hanya ada di universitas, sektor swasta juga menolak mempekerjakan perempuan berkerudung. Pandangan sekilas di sekitar kawasan bisnis di Istanbul menunjukkan hal ini. ”Hanya beberapa perusahaan mempekerjakan perempuan berkerudung. Me-reka kira citra mereka terlihat bejat (jika mempekerjakan perempuan berkerudung),” ujar Fatma Disli, kolumnis koran Zaman yang mengenakan kerudung.
Perempuan Turki merupakan angkat-an kerja yang rendah tingkat partisipasinya, di ranah politik apalagi. Partai politik sekuler hanya memberi jatah empat persen kursi di parlemen dan tentu semuanya tak mengenakan kerudung. Padahal, berdasarkan suatu survei, kini 63 persen perempuan Turki mengenakan kerudung. Pengacara Fatma Benli yang mengenakan kerudung terpaksa mengoper kasus hukum yang ia tangani ke saudara laki-lakinya karena perempuan dilarang berkerudung di gedung pengadilan.
Kaum sekuler cenderung melihat kerudung sebagai ancaman reformasi modernisasi Kemal Ataturk, yang melempar agama dari kehidupan publik ketika ia membangun Turki dari puing-puing Kerajaan Ottoman. Mereka mengatakan, setiap pengenduran larangan dapat secepatnya membalik Turki menja-di Iran yang lain.
Tak mengherankan jika masalah kerudung menjadi sangat kontroversial dan dipolitisasi. Bahkan kedua belah pihak tak sepakat dengan namanya. Kaum sekuler cenderung menyebutnya turban ketika mereka mempertimbangkan aspek politik, dan basortusu atau penutup kepala yang berarti nenek mereka atau perempuan desa mengenakan pakaian itu. Sebaliknya, perempuan yang mengenakan kerudung menolak kedua istilah itu.
Sekularisme sudah mendarah-daging, khususnya di kalangan menengah-atas. Seniman Bedri Baykam, misalnya. Ia lebih menyukai sekularisme dan menentang larangan berkerudung dicabut. Kebenciannya terhadap kerudung menjungkirbalikkan prinsip demokrasi yang ia yakini. Baykam tak ingin kudeta militer sebagaimana yang dilakukan militer Turki beberapa kali karena akan membawa Turki mundur 30 tahun. Namun, ia juga tak ingin ”kudeta” Islam, karena hal itu akan membawa Turki 1.000 tahun ke belakang. ”Di antara 1.000 tahun dan 30 tahun, saya lebih suka 30 tahun,” katanya.
Menurut Profesor Halil Berktay, sejarawan, inilah hasil peran militer menjaga pilar sekularisme, lebih daripada menjaga demokrasi. ”Militer punya misi semikolonial dalam masyarakat. Mereka tak pernah berhenti percaya secara antusias bahwa mereka elite paling beradab di Turki. ”Mereka mengatakan, kamilah yang menjaga kotak Pandora agar tetap tertutup dan menangkal munculnya iblis keterbelakangan, takhayul, fundamentalisme agama, separatisme Kurdi, dan nasionalisme Armenia. Inilah rasa satu peradaban dan misi melindungi yang mendorong mereka.”
Di Jalan Istiklal, Istanbul, dua gadis tak menghiraukan hiruk-pikuk perdebatan soal kerudung. Mereka berjalan berangkulan. Yang satu mengenakan busana panjang dan kerudung sedangkan yang lain memakai pakaian ketat dengan rambut tergerai bebas. Itulah gaung pernyataan calon Presiden Turki. ”Perbedaan kita adalah kekayaan kita,” kata Abdullah Gül.
Raihul Fadjri (Turkish Daily News, BBC, Guardian, AFP)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo