Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WANITA tua itu gagal pulang ke negerinya, Bangladesh. Pesawat British Airways yang seharusnya memboyongnya pulang kampung telah menolaknya.
Syeikh Hasina Wajed, wanita yang pernah sangat berkuasa: ia Perdana Menteri Bangladesh sepanjang 1996–2001. Dan hari itu, 27 April, pemerintah militer membisiki semua maskapai penerbangan untuk menutup semua pintu baginya. Maka, terbakarlah hati wanita pimpinan Partai Liga Awami itu. Di bandara internasional London, ia menantang pemerintah militer: siap menanggung risiko apa pun di pengadilan kelak. Ya, pemerintah militer di Dhaka kerap mendengungkan bahwa ia bertanggung jawab atas kematian lima aktivis lawan politiknya.
Entah karena tekanan internasional atau atas pertimbangan lain, pemerintah militer melonggarkan tekanannya. ”Mereka (pemerintah militer—Red.) berubah, dan ini tidak menunjukkan kelemahan, melainkan kekuatan,” ungkap Mainul Husein, penasihat pemerintah dalam urusan hukum. Perubahan yang cukup berarti.
Pemerintah militer memang tidak pernah menyembunyikan hasratnya untuk menyingkirkan dua orang wanita berpengaruh dari Bangladesh: Syeikh Hasina Wajed dan Begum Khalida Zia. Zia pemimpin Partai Nasionalis Bangladesh (BNP), pernah menjadi perdana menteri hingga 2006. Sampai dua minggu yang lalu, pemerintah telah menekan Khalida Zia agar cepat-cepat keluar da-ri negerinya. Zia menghadapi persoalan berat. Dokter menyatakan ia menderita tekanan darah rendah dan penyakit encok yang parah. Tapi bukan itu yang ditakutkannya.
Zia yang dalam minggu-minggu belakangan ini berstatus tahanan rumah sangat mencemaskan nasib dua putranya. Keduanya tersangkut kasus korupsi. Putra sulungnya, Tareque Rahman, kini dalam penjara. Dan pemerintah sangat gemar menunjukkan bahwa keberadaan Tareque dalam bui merupakan contoh sukses pemerintah militer dalam memerangi korupsi. Hingga dua pekan lalu, Khalida Zia menyerah: ia bersedia cepat angkat kaki dari tanah airnya, asalkan pemerintah mau membebaskan putra kesayangannya.
Tapi dalam perkembangannya, segalanya berubah dalam seminggu. Menyaksikan perlawanan Hasina Wajed, semangatnya bangkit. Ia menolak diasingkan dan siap menghadapi tuntutan pengadilan. Pemerintah pun mempersiapkan diri dengan aneka kesaksian. Satu untuk membuktikan Hasina Wajed bersalah atas kasus pembunuhan dan pemerasan; satu lagi untuk keterlibatan Khalida Zia dan keluarganya dalam korupsi. Rabu pekan lalu, bank sentral Bangladesh mulai mengusut rincian rekening dari keluarga dua wanita itu.
Memang, politik telah bergerak ke arah tak terduga. Dua wanita, yang satu dari Partai Liga Awami, dan satu lagi dari BNP, telah menjadi rival tak berkesudahan. Bertarung sepanjang 17 tahun, sekarang mereka menghadapi musuh bersama: pemerintah militer. Pemerintah yang mengambil alih kekuasaan setelah pertikaian panjang antara pendukung Hasina Wajed dan Khalida Zia. Bentrokan hebat di antara massa pendukung dua kekuatan politik itu mengakibatkan 45 orang tewas.
Hasina memang memilih keluar dari Bangladesh setelah meletakkan jabatan perdana menterinya. Ia kalah dalam pemilihan umum 2001. Khaleda Zia, pemimpin partai BNP, menempati kursi perdana menteri. Namun, Zia rupanya tidak membawa angin baru bagi rakyat Bangladesh. Malah aksi kerusuhan dan kekerasan melanda Bangladesh. Tuduhan korupsi pun diarahkan ke arah Zia dan para menterinya, termasuk korupsi berjamaah di kalangan politisi di BNP. Tahun lalu, Transparency Internasio-nal, satu lembaga internasional yang bermarkas di Belgia, menempatkan Bangladesh negara terkorup di dunia.
Akumulasi masalah dalam negeri membuat Zia tak mampu bertahan sampai pemilu tahun berikutnya. Ia pun terpaksa lengser dari kursinya. Pemerintahan sementara yang didukung kekuatan militer menjalankan roda pemerintahan selanjutnya pada Oktober tahun lalu. Fakhruddin Ahmed lalu ditunjuk sebagai kepala pemerintahan yang mengendalikan roda pemerintahan.
Agenda utama pemerintahan caretaker dimulai dari pemberantasan korupsi. Presiden memaklumkan pembentukan pemerintahan caretaker dan negara dinyatakan dalam keadaan darurat pada 11 Januari lalu. Sedikitnya 150 politisi senior ditangkap atas tuduhan korupsi. Nama Zia dan putra sulungnya termasuk di dalamnya. Ke mana demokrasi Bangladesh bergerak? Yang pasti, pemerintahan baru ini telah mengeluarkan larangan siaran terhadap 10 saluran televisi asing. Alasannya: merusak hukum dan moral masyarakat. Media-media lokal dilarang menyiarkan informasi apa pun dari 10 saluran televisi asing itu. Apa boleh buat, rentetan represi ini mengingatkan orang akan Bangladesh 20–30 tahun silam.
”Mestinya militer tidak hanya menunjuk jarinya ke arah politisi. Kenapa kita tidak bicara tentang korupsi di militer?” kata Farida Akhter, seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat setempat. Sejauh ini, pengejaran terhadap pelaku korupsi tak satu pun mengarah ke para petinggi militer. Semuanya mengarah ke pejabat-pejabat sipil, terutama ke kalangan politisi dari dua partai terbesar di Bangladesh, Awami League dan BNP. Sedangkan Anand Kumar dari South Asia Analysis Group menilai langkah pemerintahan sementara dalam pemberantasan korupsi ini hanyalah upaya demoralisasi kekuatan politik sipil. Memang, seperti yang terjadi di mana-mana, kegagalan sipil telah membuka peluang bagi militer untuk berkuasa.
Dua minggu lalu, pemerintah militer berusaha mengasingkan Hasina dan Zia. Jika berhasil, kevakuman kepemimpinan akan melanda dua partai besar di negeri itu, BNP dan Liga Awami. Kita pun tahu, keadaan itu akan mengurangi kontrol terhadap pemerintahan militer.
Tiga dasawarsa silam, militer berkuasa. Waktu itu, ayahanda Syeikh Hasina Wajed, pendiri negara modern Bangladesh, Syeikh Mujibur Rahman, dibunuh dalam sebuah kudeta militer pada 1975. Ibu dan tiga kakaknya juga dibunuh kala itu. Kekuatan orang sipil kemudian memang muncul dan demokrasi pun ditegakkan di negeri itu pada 1991. Sejak itu politik Bangladesh didominasi oleh pertikaian panjang dua wanita itu: Syeikh Hasina Wajed dan Khalida Zia.
Maria Rita (BBC, Guardian, The Daily Star)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo